Ilustrasi: Rizky Setiawan/LPM Kentingan

RAHWANA DAN JIWA YANG TERSISIHKAN

1

Banyak orang mengatakan bahwa “sabar itu ada batasnya”. Hmmm.. sebenarnya aku tidak setuju dengan pernyataan tersebut yang sudah menempel bertahun-tahun di kepala setiap manusia. Bagiku tidak seperti itu, sabar itu tiada batasnya. Namun, ada hal sebelum kesabaran itu yang memiliki sebuah batasan atau daya tahan dari setiap orang. Lalu apakah itu?

Tiga bulan terakhir, aku merasakan pengalaman yang sesungguhnya baru aku rasakan selama 19 tahun tumbuh menjadi seorang manusia yang entah nanti mau dibawa kemana. Ya, aku menemukan banyak sekali lika-liku dan tentunya masalah dalam hal kesabaran. Pertengahan 2019 aku memang pernah mengalami stress yang begitu berat sampai pada akhirnya aku pernah diindikasikan mempunyai masalah dengan urusan emosional. Aku mencoba beberapa cara agar tak terbelenggu dengan emosionalku sendiri dan beberapa hal traumatis yang mungkin bisa jadi aku buat sendiri. Dari awal aku tidak pernah menerima diriku seperti apa dan bagaimana, wong gausah jauh jauh wis, memahami diri sendiri wae gak pernah blas!

Suatu malam, dengan rokok kretek di tangan kiri-ku. Aku mencoba memikirkan kembali apa penyebab dari semua permasalahan yang muncul. Dan aku pun memutuskan untuk “menyadari” setiap hal atau setiap keputusan yang kulakukan. Perasaan malas pasti ada, ya mau gimana lagi, wong namane kebelenggu itu tidak enak. Dan aku pun ingin bebas dari belenggu yang tanpa aku sadari kubuat sendiri.

Ndilalah tiba-tiba aku ingat dengan sebuah naskah lelakon wayang yang aku sukai, Ramayana Kebanyakan dari orang mungkin menyukai tokoh Rama dan cenderung membenci Rahwana. Ya, wajar saja kalau kebanyakan orang hanya melihat dari apa yang terlihat, selebihnya tidak.

Mungkin dari dahulu entah kenapa dan mengapa aku suka sekali dengan tokoh Rahwana, sang Raksasa penguasa negeri Alengka. Mungkin pemikiranku sedari dahulu ini mirip dengan perspektifnya Mbah Sujiwo Tedjo mengenai Rahwana dalam seri bukunya Rahvayana. Aku meyakini bahwa Rahwana memiliki spektrum yang begitu luas, baik dalam pikiran maupun jiwanya. Hehe.

Namun, kurasa ada sedikit kaitannya antara kisah Rahwana dengan kehidupan yang dialami sebagian besar manusia di zaman yang semakin modern ini. Begitu pula dengan apa yang kuhadapi selama beberapa bulan terakhir yang mencoba untuk membebaskan diri dari belenggu. Baik, akan kuceritakan sedikit tentang Rahwana.

Memang benar Rahwana menculik Dewi Sinta dari Rama, tetapi sebenarnya Rahwana pun dari dahulu mencari Titisan Dewi Widowati itu sendiri. Mengapa seniat itu Rahwana mengejarnya? Selain atas rasa birahinya yang begitu tinggi, Rahwana pun mempunyai alasan tertentu menculik Dewi Sinta yang kelak akan dia pinang. Hal itu pun untuk negara Alengka itu sendiri, ibaratnya Dewi Sinta adalah Dewi kesuburan bagi Alengka. Maka, Dewi Sinta merupakan rahmat bagi seluruh penjuru negara Alengka. Kurang lebih begitu hehe.

Rahwana memang seorang raksasa, yang dikaruniai sepuluh wajah dan kesaktian yang tiada tandingannya. Walaupun begitu, setelah gagal mendapatkan Dewi Widowati, Rahwana rela menunggu kepada siapakah perempuan yang kelak akan dititiskan Dewi Widowati. Namun, dalam kesehariannya Rahwana selalu mengutuk dirinya sendiri tentang bagaimana dia berwujud, sampai-sampai ibunya yang bernama Dewi Sukesi dan bapaknya bernama Wisrawa ikut menenangkan putra kesayangannya tersebut.

Rahwana pun mencoba untuk memotong kepalanya satu persatu, namun percuma. Kepala yang sudah dipenggalnya akan tumbuh lagi lima puluh ribu tahun, begitu seterusnya. Rahwana pun meminta pada Dewa di Kahyangan bahwa dia ingin mati. Tapi Dewa menolaknya, dan justru malah memberi kesaktian yang luar biasa. Dewa pun beranggapan bahwa Rahwana dibutuhkan kehadirannya di dunia, layaknya kegelapan yang melindungi warna-warna lainnya.

Usaha apapun dan kesabaran apapun dilakukannya demi mematikan dirinya sendiri yang jelas-jelas tidak bisa. Rahwana pun selalu berusaha untuk mengejar  sang kekasih impiannya, Dewi Sinta yang merupakan titisan dari Dewi Widowati. Ada sebuah cerita bahwa Rahwana suatu waktu memutuskan untuk bertapa di Gunung Gohkarno selama lima puluh ribu tahun. Pertapaannya itupun bukan untuk menunggu Titisan Dewi Widowati. Namun, Rahwana bertapa untuk mati. Ya, balik lagi, selama apapun Rahwana mencoba untuk bertapa. Dia tidak akan mati selain ditangan Rama kelak.

Rahwana bagiku adalah sebuah tokoh pewayangan yang istimewa, kisahnya tak kalah tragis dengan Sengkuni atau bahkan Lubdaka. Dia merupakan sebuah gambaran sempurna bagi jiwa-jiwa yang selalu dihantam dan dihancurkan setiap jengkal kehidupannya. Namun, dia tetap bertahan.

Kalau menurutku sih hampir mirip konsepnya Si Tua Bangka Nihilis Nietzsche, Fatum Brutum Amorfati. Tapi ini cuman versi lokalnya aja sih. Heuheuheu.

 

Penulis: Muhammad Achmad Afifuddin
Editor: Aulia Anjani

 

Muhammad Achmad Afifuddin
Mahasiswa Diploma Akuntansi 2019
rahvanna.samahita@protonmail.com