Puasa Tanpa Buka

Oleh: Irfan Sholeh Fauzi

Judul               : Tuhan Pun Berpuasa
Pengarang       : Emha Ainun Nadjib
Penerbit         : Penerbit Buku Kompas
Tahun             : 2016
Tebal              : xx+222 hlm.; 14cm x 21cm
ISBN                : 978-602-412-072-6

 

 

PEMBACA tentu dipersilakan berdebat seusai membaca prolog Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun dalam bukunya yang berjudul “Tuhan Pun Berpuasa”. Juga sah-sah saja berprasangka “apakah dia sedang dalam usaha mengerdilkan Tuhan dengan cara ‘memanusiakan-Nya’ lewat buku ini?.

 

Tapi, ah, jangan dulu membuang-buang ludah dan menegangkan urat dengan percuma oleh tulisan pendek di lembar awal bukunya itu. Lebih-lebih berhenti membacanya karena disambut bingung oleh anggapan Cak Nun, bahwa “Manusia hanya di-ada-kan, diselenggarakan, seolah-olah ada, ada-nya palsu—oleh yang Sejati Ada (hlm. xvi). Mana mungkin mengategorikan yang Sejati Ada pada yang hanya seolah-olah ada, begitu kira-kira ujar Cak Nun dalam bukunya itu.

 

Tuhan dan manusia masih jadi tema yang menarik bagi mata-mata pembaca di dunia, lebih-lebih di Indonesia. Kita bias saja jadi saksi, bagaimana tulisan-tulisan bertema Tuhan dan manusia selalu diiringi perasaan was-was dan prasangka di negeri ini. Dan Cak Nun, kyai plus satrawan sepuh itu rupanya memang memiliki hasrat besar menulis seputar tema ini. Namun kali ini, ia berupaya mendekatkan bahasannya dengan membeberkan laku puasa Tuhan. Heh, Tuhan berpuasa?

 

Terdiri dari 43 judul, buku ini terbagi menjadi 4 bagian. Dalam 2 bagian pertama, tema yang dikemukakan relatif sama. Sebagai salah satu tokoh yang dianggap sebagai budayawan, Cak Nun berusaha mengkritisi kebudayaan masyarakat, masing-masing lewat perspektif puasa dan Idul Fitri.

 

Dalam judul Bermain Drama di Layar televisi misalnya. Cak Nun mengungkapkan kegelisahannya terhadap tayangan televisi yang “kenyang islam” selama ramadhan. Artis-artis mengenakan pakaian mahal yang (dianggap) merepresentasikan ke-islaman. Padahal Islam mengajaran kesederhanaan. Terlebih, setelah shooting usai, mereka lekas menanggalkan pakaian tersebut. Menjalankan agama bagaikan bermain drama […] mereka mengenakan kostum sebagaimana dituntutkan oleh “skenario drama agama” (hlm. 6).

 

Pada bagian kedua, Cak Nun mengkritisi budaya halalbihalal di kalangan kaum elite. Menjadi halalkah hubungan kita setelah upacara bermaaf-maafan? […] makan dan berpeluk-pelukan di tempat mahal dan dengan biaya konsumsi yang meyinggung perasaan jutaan saudara kita yang menjadi korba ketidakadilan sosial—jika mereka mengetahui? (hlm. 69).

 

Di lain judul, Cak Nun menyatakan sulitnya saling maaf-memaafkan di kehidupan modern yang bentuk perhubungannya lebih sistemik. Pencurian, menurut Cak Nun, tidak semata-mata karena ia ingin mencuri, karena kejadian tersebut: merupakan produk dari ketimpangan kondisi perekonomian […] tidak memiliki kemungkinan lain di tengah atmosfer sistemik yang mainstream budayanya memang penuh manipulasi (hlm. 55).

 

Dalam bagian krtiga, barulah Cak Nun megelaborasi esensi puasa. Baginya, puasa adalah pedoman menejemen di setiap rumah, masyarakat, negara, kebudayaan, dan peradaban (hlm. 164). Merupakan bentuk pengendalian diri yang dalam keabadian selalu dilakukan oleh Yang Sejati. Bahwa Tuhan pun berpuasa dari hak kekuasaan-Nya. Dia tetap menerbitkan matahari, memancarkan sinarnya, memelihara kesehatan hamba-Nya tanpa peduli mereka bersyukur atau tidak. Kalau Tuhan tidak berpuasa: kita sudah dilenyapkan-Nya hari ini, karena sangat banyak alasan rasional untuk itu (hlm. 166).

 

Bagian keempat, ditajuki Takabur dan Uswatun Khasanah. Barangkali Cak Nun mencoba memberi gambaran bagaimana seharusnya manusia bersikap—terutama terhadap Tuhan. Mulai dari tanggung jawab menjadi imam yang tidak main-main karena memimpin ikrar, “Hanya kepada-Mu kami menyembah,” pada Tuhan, sampai arsitektur modern dibangun pantasnya.

 

Esais paling produktif menurut radio buku ini konon pernah membuat lima tulisan dari satu tayangan pertandingan bola di televisi dari lima sudut pandang yang berbeda. Dimulai dan diakhiri bersamaan dengan pertandingan tersebut berlangsung. Jadi, untuk mengakui kejelian Cak Nun adalah kewajaran. Apalagi lewat buku “Tuhan Pun Berpuasa” ini. Kejeliaannya dalam melihat substansi tak diragukan lagi.

 

Sayangnya, dalam buku ini tidak disertakan catatan publikasi esai—atau kapan esai ini ditulis. Hanya tertera catatan pada pengantar penerbit bahwa buku pertama kali cetak pada 1996. Kemudian pada 2013 dicetak kembali setelah sebelumnya pernah dicetak secara terbatas pada 2005.

 

Tapi sebaiknya kita harus berhenti menggodai Tuhan yang dapat memancingnya, berbuka dari puasanya itu. Berhenti meminjam-minjam nama-Nya untuk merundung hal-hal yang tidak kamu senangi. Mantan yang lebih bahagia atau malam minggumu yang sendirian saja misalnya. []

 

 

Irfan Sholeh Fauzi Mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FKIP UNS 2016.