Profesor Agasa menjadi sosok profesor pertama yang hadir dalam kehidupanku. Pria tua yang botak dan berbadan gemuk, serta memakai jas laboratorium putih dalam serial kartun Detective Conan. Alat-alat ciptaannya membantu Conan dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan. Karakter Profesor Agasa begitu melekat kuat. Memengaruhi imaji dan persepsiku selanjutnya tentang sosok profesor. Aku mulai membayangkan, bahwa para profesor pastilah jenius, mampu menciptakan alat-alat canggih untuk menyelesaikan berbagai masalah.
Kemudian, profesor-profesor di dunia sihir Harry Potter memperkaya khazanahku. Dari film ini, aku menyadari bahwa setiap bidang keilmuan memiliki profesor. Ada Profesor Snape yang mengajar kelas ramuan, lalu kelas transfigurasi (perubahan bentuk) yang diajarkan Profesor McGonagall, dan Profesor Quirell yang mengampu kelas pertahanan terhadap ilmu hitam. Tak lupa sosok bijaksana yang tergambar dari tokoh Profesor Dumbledore. Para profesor ini menjadi penjaga ilmunya masing-masing.
Kala duduk di Sekolah Menengah Atas (SMA), imajiku yang lebih matang tentang profesor mulai terbentuk. Russel Crowe hadir lewat perannya sebagai John Nash dalam film A Beautiful Mind. Perkenalanku dengannya terbilang terlambat, karena film ini telah lama rilis pada 2001. John Nash tidak botak dan tidak menciptakan alat-alat canggih seperti Profesor Agasa. Ia bahkan tidak suka mengajar di kelas seperti profesor-profesor Hogwarts. Tidak juga bijaksana laiknya Profesor Dumbledore. Justru anti sosial.
Profesor Nash menguatkan imajiku yang kala itu akan memasuki dunia perguruan tinggi. Imaji tentang kekuatan ilmu pengetahuan, tentang “keagungan” seorang profesor. Aku juga mulai bisa membayangkan duduk di bangku universitas. Mendengar pemikiran-pemikiran luar biasa dari profesor-profesorku. Bergelut dengan buku setiap hari, bergelut dengan ilmu pengetahuan.
Profesor di Kampusku
Namun, akhir Oktober lalu, aku membaca berita di salah satu surat kabar berjudul “Profesor Indonesia Kurang” (Kompas, 30 Oktober 2015). Berita tersebut menyebutkan ketidakmampuan para profesor dalam memajukan riset di bidang keilmuannya, keinginan dan perlakuan profesor sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), serta polemik lain tentang keprofesoran yang dibicarakan dalam Seminar Nasional Keprofesoran yang diselenggarakan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi. Imajiku tiba-tiba memburam meski belum buyar tentang sesosok profesor. Apalagi, seminar ini berbuntut polemik panjang selama satu bulan, yang jika disederhanakan hanya hendak mengatakan satu hal: profesor bisa tidak cerdas atau jenius. Seperti imaji yang selama ini mendekam dalam diriku. Wah, profesor yang harusnya menyelesaikan masalah, kok malah menjadi masalah?
Usai membacanya, aku teringat baliho besar yang terpajang di depan kampusku. Saat aku masih duduk di semester dua (kini aku semester tiga), baliho itu memajang gambar rektor dan jajarannya. Mereka adalah para profesor yang menempati jabatan birokratis tertinggi di kampus. “Mengapa gambar mereka yang dipajang?” pikirku. Mengapa bukan para guru besar yang mendapat porsi utama di baliho sebagai ilmuwan yang perlu dan wajib diagungkan? Padahal, setiap orang yang lewat di depan kampus akan melihat baliho itu. Secara tidak langsung, aku menduga hal ini mengindikasikan dan mengatakan satu hal yang sederhana bahwa kampusku, universitas “terbaik” di kota Solo, adalah kampus birokratis, bukan kampus keilmuan.
Padahal, satu abad silam Kartini telah menyadari pentingnya ilmu pengetahuan. Dalam Panggil Aku Kartini Saja, Pramoedya Ananta Toer (2012) menyebut Kartini menyadari “bahwa kekuatan sesuatu negeri sama sekali tidak terletak pada besar atau kecilnya jumlah penduduk dan luas-sempitnya negerinya, tetapi pada nilainya dalam menguasai ilmu pengetahuan.” Pada masa itu, Kartini sudah punya imaji sesosok profesor sejak kecil, dan bersurat-suratan dengan para profesor. Ia juga sangat sadar peran dan pengaruh ilmu pengetahuan modern.
Kesadaran ini yang membuat Kartini ingin terbang ke Eropa untuk mengejar ilmu pengetahuan, demi memajukan bangsanya. “Dan suatu alasan lagi mengapa kami menganggap perlu sementara waktu tinggal di Eropa adalah agar di sana dapat membersihkan diri dari pengaruh pendidikan Bumiputra yang menghambat,” ujarnya dalam surat kepada Nyonya Abendanon bertarikh 10 Juni 1902.
Kartini ingin pergi ke Eropa untuk membersihkan diri dari hambatan pendidikan di Hindia. Kartini tentu ingin menggapai, merengkuh, dan menginternalisasi semangat berkeilmuwan di Eropa, dan melupakan semangat birokratis feodalistik menjijikkan yang ada di negerinya. Saat membayangkan hal ini, aku pun berkeinginan demikian. Ingin rasanya menghindar dari semangat birokratis kampusku untuk membersihkan diri dari pengaruh gaya pendidikan-pengajaran yang menghambat pembelajaranku. Termasuk menghindari para profesor seperti yang diberitakan dipolemikkan itu. Otakku seperti dikeruhkan dengan berbagai slogan aneh. Citra yang dibentuk tanpa riset mendalam menjadi identitas instan nan semu. Fungsi universitas sebagai penjaga, pengembang ilmu pengetahuan dan pendobrak ilmu yang ketinggalan dan tak mempunyai akar kuat justru dikesampingkan.
Lemahnya semangat berkeilmuan profesor sebagai pejuang ilmu pengetahuan juga aku ketahui dari wawancaraku dengan beberapa dekan dua bulan lalu. Rencananya, pihak rektorat UNS akan menargetkan satu dosen bisa menerbitkan satu jurnal internasional tiap tahunnya. Nah, para dekan ini kelimpungan. Seorang dekan mengaku malu karena fakultasnya baru menerbitkan empat jurnal internasional. Dekan lain hanya mampu menargetkan satu jurnal internasional terindeks scopus di fakultasnya.
Mari kita berandai-andai untuk menyelesaikan masalah sepele ini. Di kampusku terdapat 173 guru besar. Andaikan seorang guru besar bisa membuat satu dan sekali lagi satu saja penelitian berkualitas setiap tahunnya, akan ada 173 jurnal terpublikasikan. Bila ada –paling tidak– 173 jurnal terpublikasikan, otomatis 173 permasalahan bisa diselesaikan secara keilmuan setiap tahun. Tentu saja hal ini bisa jauh lebih mudah jika para profesor, doktor, dan dosen bisa bekerjasama untuk menghasilkan riset yang jauh lebih bagus. Apakah ini kemustahilan akut yang begitu sungguh mustahil terjadi bagi para profesor?
Nah, kalau tiap tahun kampusku bisa menyelesaikan 173 permasalahan secara keilmuan, para birokrat universitas tidak perlu bersusah payah mencitrakan diri sebagai World Class University, Green Campus, atau menyematkan slogan-slogan kosong macam UNS ACTIVE dan UNS BISA. Slogan-slogan yang sebenarnya menghina dan merendahkan posisi eksistensi kampus, hanya sebagai lembaga birokrasi, bukan lembaga ilmu pengetahuan. Duh, Basi!
Muhammad Satya
Mahasiswa Pejalan Kaki