Foto: Screenshot Pribadi/ LPM Kentingan

PREMANISME BERKEDOK DEMOKRASI

Agak kurang tepat jika Mas Rama dalam opininya menyebut Soekarno sebagai role model dalam sistem demokrasi ideal yang dimaksud. Mungkin Mas Rama lupa dengan Dekrit 59, ketika Soekarno menetapkan dirinya sendiri sebagai Presiden Seumur Hidup. Mungkin Mas Rama juga lupa tentang kasus pemberedelan yang terjadi pada rentang masa Orde Lama dengan kedok “anti-Barat” atau “anti-imperialisme” yang salah sasaran walau memang tak bisa disalahkan seutuhnya.

Lalu pertanyaan akan saya balik, demokrasi seperti apa yang Mas Rama maksud? Atau demokrasi ideal seperti apa yang Mas Rama inginkan? Jika demokrasi yang dimaksud adalah jaminan bebasnya berpendapat dan memilih pemimpin yang layak. Saya rasa dua hal itu tidak pernah terwujud dalam keberjalanan negara ini. Apalagi bicara masalah dinamika politik kampus.

Saya sepakat dengan opini Mas Rama tentang kotornya cara berpolitik negarawan atau bahkan elite-elite kecil kampus. Bukanlah sebuah rahasia lagi hal-hal yang sudah dijelaskan secara rinci oleh Mas Rama dalam opininya. Hal itu nyata terjadi hingga tulisan ini saling berbalas.

Namun, ada satu hal lagi yang perlu dilihat. Selama ini umumnya orang selalu menyalahkan partisipan dalam sistem demokrasi, begitu pula dengan opini Mas Rama yang terang-terangan lebih menyalahkan partisipan ketimbang melihat lebih jauh dan lebih dalam mengapa suatu kebusukan itu tetap dipraktikkan dan mengapa mahasiswa cenderung abai dengan pemira.

Preman yang Beralmet

Julukan tersebut mungkin sedikit pas bagi teman-teman yang sedang bergelut dalam dunia politik kampus, terutama yang sedang melobi sana-sini untuk mendominasi jelang pemira yang mungkin sebentar lagi dimulai. Silakan langsung baca saja opini Mas Rama tentang penjabaran teknis secara lengkap bagaimana ormek bekerja dalam masa pemira.

Politik bagi jatah layaknya gerombolan preman sudah biasa dipraktikkan dalam kehidupan politik negara, apalagi kehidupan politik kampus, ya gak jauh-jauh amatlah. Justru mirip layaknya saudara kembar. Seperti kutipan “kampus adalah miniatur dari sebuah negara” dan ya hal itu memang terjadi di setiap kampus, tak hanya UNS tercinta saja.

Pembagian jatah kursi presiden dan wakil presiden BEM, kementerian-kementerian, serta segala tetek-bengeknya itu pun terjadi dari tingkat fakultas hingga universitas. Jangan tertipu dengan wajah-wajah ormek yang kelihatannya “bertengkar” karena bertolak belakang secara ideologis. Semua itu akan berubah menjadi layaknya sepasang kekasih mesra ketika masa pemira berlangsung. Kalaupun ada kericuhan, kericuhan itu berlangsung gara-gara salah satu ormek tidak mendapat jatah kursi yang sudah dijanjikan.

Mau ormek berbendera biru, merah, kuning putih, atau warna apa pun bagi saya sama saja. Memiliki wajah ganda dan gemar menjilat ludah sendiri. Ribut perkara jatah adalah kegemaran mereka, omong kosong perkara idealisme jika CV tidak apik dan perut kosong kelaparan. Saya pun terkadang heran dengan teman-teman yang masih fanatik mendukung mati-matian bendera ormek yang mereka banggakan. Untuk apa sih? Toh, pada ujungnya kalau bendera itu dibakar akan berubah menjadi warna hitam, bahkan tak berbentuk.

Omong kosong teriak-teriak revolusi setiap aksi di jalan jika praktik ini masih berlangsung. Gini kok mau teriak-teriak menang lawan kapitalisme atau kepengin revolusi, lha belum revolusi atau menang lawan kapitalisme sendiri aja lho udah bertengkar gara-gara jatah.

Bagi-bagi jatah dan mengamuk ketika jatah yang dijanjikan tidak terlaksana bagaikan gerombolan preman yang tidak kebagian lahan parkir dan nasi rendang ketika hajatan pernikahan. Itulah kondisi politik kampus. Bedanya preman kali ini memakai almamater dan mampu bicara ndakik-ndakik di depan mahasiswa lain.

Kritik yang Kurang Tepat

Opini Mas Rama menurut saya sedikit kurang tepat. Benar awalnya, pasti ada sebab mengapa mahasiswa–khususnya mahasiswa UNS–abai ketika pemira. Salah satunya memang kesadaran akan kata “politik” itu sendiri. Jika mendengar kata “politik”, yang terbayangkan pasti adalah hal-hal yang membosankan, tak jauh akan hal-hal drama dan intrik politik yang tak lebih seperti serial sinetron, serta tentunya ingatan buruk tentang Pemilu Raya tahun 2019.

Saya menyarankan Mas Rama bahwa kritiknya akan lebih tepat ketika jangan menyalahkan partisipan yang abai, bahkan “menyuruh” untuk menganalisis satu per satu paslon serta kotak kosong yang sering menjadi lawannya.

Saya kira, bentuk keabaian mahasiswa terhadap pemira adalah sebuah titik awal munculnya gerakan alternatif. Hal paling rasional dan logis yang bisa dilakukan oleh setiap mahasiswa. Toh, ya apa gunanya berpartisipasi dalam pemira? Apakah kehidupan masing-masing individu mahasiswa dalam lingkup kampus akan terpengaruh jika pemira tetap dilaksanakan atau tidak? Tidak juga.

Bentuk keabaian mahasiswa terhadap pemira yang sudah tercium semenjak tahun 2019 ini menurut saya masih sebagai awal. Siapa tahu, di tahun ini ataupun tahun depan terdapat sebuah kelompok alternatif yang ingin menghancurkan hegemoni politik kampus yang menjenuhkan. Siapa tahu akan ada penghancuran sistem yang sudah sangat usang dan bobrok ini. Siapa tahu juga kan sistem munisipalisme atau sistem yang diterapkan oleh Zapatista justru berjalan sangat baik di dalam kampus. Terlebih lagi jika suatu saat nanti terdapat satu sampai dua orang yang berani muncul ke permukaan untuk menyingkirkan dominasi ormek, membubarkan BEM dan DEMA yang sedari tahun 2019 antikritik terhadap pemira, bahkan mungkin mengganti sistem yang sudah usang ini.

Bagi saya, sepertinya sudah cukup untuk selalu menyalahkan partisipan dalam sistem demokrasi kampus. Toh, mereka tidak pernah dianggap sebagai manusia seutuhnya yang bisa bersuara tanpa tekanan apa pun. Mereka selama ini hanya dilihat sebagai komoditas angka. Komoditas persentase suara yang bisa disuap, diubah, ataupun diatur sesuka hati panitia. Yang perlu disalahkan adalah hegemoni politik dan sistem yang sudah usang. Sistem busuk yang sudah berjalan bertahun-tahun dan dilakukan oleh organisasi itu-itu saja akan semakin busuk dan tidak relevan. Semuanya perlu dilengserkan atau kalau perlu dibubarkan saja.

Tidak ada pergantian ataupun kemunculan ide-ide baru tentang demokrasi dalam kampus. Padahal, selayaknya pemikiran yang dihasilkan manusia, Pemikiran/ide/konsep tentang apa pun itu perlu diulas, dikritik, dihancurkan, dicoba, dievaluasi, dan dikembangkan seiring berjalannya waktu agar tetap relevan. Tak hanya dibiarkan dan justru menyalahkan partisipan dalam sistem demokrasi busuk ini.

Pemilihan rektor saja mahasiswa tak pernah terlibat di dalamnya, apa kabar dengan pemira? Sepertinya kebanyakan mahasiswa juga tak akan terlibat karena sudah bisa diprediksi hasil akhirnya seperti apa. Toh, buat apa juga bergabung dalam lingkaran setan nan busuk ini? Buang-buang waktu. Muspro.

*Balasan tulisan seperti ini, saya sampaikan sebagai individu yang merdeka dan tidak terikat organisasi apa pun. Dalam menyampaikan opini pribadi, bukan berarti saya dan Mas Rama bertengkar. Tidak, kami justru berkawan baik. Jika teman-teman tidak tahu, seperti inilah cara penulis untuk berkomunikasi dan saling berdialektika. Jika tidak terima dengan tulisan saya, silakan bisa dibalas dengan mengirim tulisan lain atau kalau ingin ngopi bersama ya monggo.

Penulis: Muchammad Achmad Afifuddin

Editor: Tamara Diva Kamila