Massa aksi yang bertajuk Universitas Nggawe Susah (20/7)-dokumentasi BEM UNS

Polemik Aksi Universitas Nggawe Susah

Universitas Sebelas Maret “disegel” mahasiswa. mereka berdemo menuntut pembenahan kebijakan UKT dan pembelajaran daring selama pandemi COVID-19 (20/7). Media sosial ramai. Tagar #UniversitasNggaweSusah jadi trending topic di twitter. Wakil rektor pun menemui massa, kesepakatan tercapai, Mahasiswa puas, dan mereka hidup bahagia selamanya. The end.

Seandainya sesimpel itu.

Pergelaran “Universitas Nggawe Susah” merupakan aksi yang diusung oleh Aliansi UNS Bergerak sebagai eskalasi dari petisi online pada tanggal 30 Juni 2020, setelah permintaan audiensi terbuka mereka ditolak pimpinan universitas. Aliansi ini terdiri dari mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam berbagai student government dan student movement, baik dari BEM, himpunan mahasiswa, sampai organisasi eksternal seperti KAMMI, GMNI dan HMI. Hingga kini, petisi tersebut berhasil  mengumpulkan lebih dari 2600 tanda tangan, dengan tujuan untuk menghimpun dukungan atas 10 buah tuntutan (Dasasila) terhadap UNS. Isi dari  Dasasila tersebut berkisar, kebijakan UKT selama pandemi, pembelian almamater, transparansi keuangan, pembelajaran daring, kebebasan berekspresi sampai kesehatan mental.

Singkatnya, mahasiswa memperjuangkan keadilan, seperti biasa. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pergerakan ini sempat menuai respon negatif dari sejumlah kalangan. Beberapa tenaga pengajar, alumni, bahkan mahasiswa sendiri sempat mengungkapkan ketidaksetujuannya. Lantas menimbulkan pertanyaan, bagaimana bisa perjuangan yang teramat mulia untuk menuntut hak-hak mahasiswa tidak mendapat dukungan oleh sebagian pihak, bahkan menuai kecaman?

“Satu-satunya alasan tidak setuju adalah cara penyampaian, mahasiswa punya hak, tapi hak juga selalu beriringan dengan tanggung jawab, tanggung jawab kita sebagai akademisi adalah penyampaian dengan adab yang baik. Sah-sah saja kalo mau demo, UKM-UKM bukan anti demonstran, dulu juga pernah demo, pernah menentang kebijakan birokrasi, tapi UKM tidak membuat publikasi yg merugikan kampus sendiri, bahkan tidak perlu dengan aksi-aksi, seperti yang kemarin saja aspirasi disetujui,” ungkap Wahyu Agung P., Koordinator Forum Koordinasi ORMAWA (FORKOM) UNS saat diminta pendapatnya oleh LPM Kentingan.

Jadi, permasalahannya bukan pada isi tuntutan, melainkan pada penyampainnya. Komponen-komponen yang menjadi sorotan antara lain yaitu penggunaan tagar #UniversitasNggaweSusah sebagai tagline aksi, dan “penjualan” almameter bekas di lokasi pergelaran. Pada hari yang sama, Ikatan Keluarga Alumni (IKA) UNS juga memberikan sentimen serupa dalam surat terbuka yang ditujukan kepada BEM UNS, yang isinya antara lain mengungkapkan kritik terhadap penggunaan tagline yang plesetan, dan “pelecehan” yang dilakukan terhadap jas almameter UNS.

Aksi simbolik mengkritik mekanisme dipisahkannya jas almamater dari UKT (20/7)-dokumentasi BEM FKIP UNS

”Itu kan sebuah gimmick ya, kita sebelumnya sudah punya dasasila maklumat berisi 10 tuntutan, nah bagaimana cara mengemas ini biar ter-notice, dari pimpinan kampus ter-notice. Universitas nggawe susah UKT di masa pandemi, universitas nggawe susah masalah almet yang dikeluarkan dari UKT, universitas nggawe susah terkait biaya SPI yang tidak 0 lagi.” ujar Muhammad Zainal Arifin, Presiden BEM UNS, saat diminta pendapatnya mengenai penggunaan tagar.

”Sebetulnya tagar itu bukan harga mati. Harga mati itu ketika kita turun ke jalan. Kalau masalah tagar, itu bentuk kreatifnya packaging of movement,” lanjut Arifin.

Arifin mengakui bahwa aksi pergelaran Universitas Nggawe Susah menuai respon negatif, meskipun tidak banyak. Dia menyebutkan secara garis besar kritik yang diterima Aliansi UNS Bergerak yaitu dalam hal diksi, pemilihan kata-kata yang over satire dan tuduhan pencemaran nama baik kampus.

“Ya sama dengan halnya dengan “UNS disegel mahasiswa”, jadi semua hal yang kita lakukan punya makna tersendiri. Kemudian mengenai surat terbukanya IKA UNS yang mengkritik terkait penjualan almamater itu terlalu berlebihan sih, menjudge seperti itu. Karena disadari atau ngga sekarang (almamater) udah di jual, tapi yang jual tuh di KPRI, Kopma, sama UNS Inn.” Sebut Arifin, ketika menjelaskan kebijakan biaya almamater UNS yang saat ini terpisah dari biaya UKT.

Saat menyampaikan pendapatnya tentang asal muasal respon negatif tersebut, Arifin sempat membahas tentang bias konfirmasi, mengacu kepada buku Matinya Kepakaran (The Death of Expertise) karangan Tom Nichols.

“..berawal dari kecenderungan orang-orang yang tidak mengkonfirmasi terlebih dahulu atau maksud dari suatu peristiwa/kegiatan. Nah dari bias konfirmasi yang menyebabkan seseorang langsung menjudge dari covernya doang, bukan mencari tahu substansi yang dibawa itu apa, substansi dari peristiwa itu apa,” jelas Arifin.

Memang benar, bias konfirmasi (Confirmation Bias) memiliki andil dalam penentuan sikap manusia, Namun kita harus menyadari bahwa confirmation bias tidak dapat dihindari.

 

Whether the question is mortal peril or one of life’s daily dilemmas,

confirmation bias comes into play because people must rely

on what they already know. They cannot approach every problem

as though their minds are clean slates. (The Death Of Expertise – hl. 50)

Manusia bertahan hidup dengan memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya. Bahkan elit intelektual tidak terlepas dari bias konfirmasi. Masih banyak dokter yang salah melakukan diagnosis penyakit langka, begitu juga dengan ilmuan yang data risetnya tidak akuntabel. Sebagian di antaranya disebabkan oleh pengabaian atau kelalaian dalam mempertimbangkan fakta. Pada umumnya bias konfirmasi bisa dilawan dengan edukasi, namun dalam kasus Pergelaran Universitas Nggawe Susah, solusinya tidak sesimpel itu.

Sejak mulai publikasi petisi, strategi kampanye Aliansi UNS Bergerak secara tidak langsung mengundang prasangka buruk, pimpinan UNS terkesan sebagai musuh yang harus di “lawan”. Peliknya lagi, prasangka tersebut berlaku dua arah, pihak kampus memperparah imagenya dengan menolak audiensi terbuka dan mengeluarkan petisi “sanggahan”. Seolah-olah kedua belah pihak saling mengoper gelar antagonis, tidak ada yang mau memerankan Bawang Merah.

Pada kenyataannya, tidak ada Bawang Merah ataupun Ibu Tiri. Semua mengharapkan yang terbaik untuk UNS dan mahasiswanya. Oleh karena itu, perencanaan aksi perlu mempertimbangkan persepsi publik dengan lebih serius. Memang benar, aksi Universitas Nggawe Susah kali ini membawa hasil, dengan dicapainya kesepakatan antara Aliansi UNS Bergerak dan Wakil Rektor 3 untuk mengadakan audiensi terbuka. Akan tetapi, sangat naif untuk menyimpulkan bahwa strategi kampanye yang korosif adalah cara yang terbaik. Semakin banyak prasangka yang ditimbulkan, semakin sulit orang bersimpati dengan niat baik kita. Semakin jauh pula happy ending yang kita dambakan. Mahasiswa butuh dukungan sebanyak-banyaknya, baik dari institusi maupun dari mahasiswa lain.

”Mungkin bisa dijadikan pembelajaran sih, kita juga ngga anti kritik terhadap kritik-kritik negatif, walaupun sebenarnya masih banyak yang setuju dari aksi kemaren. Memang yang perlu dijadikan pelajaran untuk gerakan itu terkait diksi sih yang paling utama, mungkin kedepan kita akan lebih teliti lagi  melihat presepsi publik terkait diksi yang kita bawa tuh kayak gimana. Harapannya walau ada pro-kontra terhadap aksi yang dilakukan kemaren itu ngga menjadi konflik horizontal antar temen-temen mahasiswa,” jawab Arifin, mengenai pentingnya persepsi dan dukungan publik.

 

When dealing with people, let us remember we are not dealing with creatures of logic. We are dealing with creatures of emotion, creatures bristling with prejudices and motivated by pride and vanity.

Dale Carnegie, “How to Win Friends and Influence People” [ ]

 

Reporter dan Penulis: Abi Rizki Alviandri/LPM Kentingan