Foto: guliverimage

Piala Dunia yang Tak Dirindukan

Kamis, 2 Desember 2010, Qatar menjadi negara timur tengah pertama yang ditunjuk menjadi tuan rumah FIFA World Cup 2022. Penunjukan tersebut bersamaan dengan penunjukan Rusia menjadi tuan rumah di ajang yang sama untuk edisi 2018. Tidak seperti biasanya, FIFA di bawah kepemimpinan Sepp Blatter memilih tuan rumah ajang empat tahunan sepak bola terbesar di dunia sekaligus untuk dua edisi. Pemilihan tuan rumah untuk dua edisi secara bersamaan saja sudah menuai kontroversi. Kemudian, diperparah dengan terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah di tahun 2022.

Sepp Blatter, menurut Simon Kuper dalam tulisannya di Askmen.com, ikut terlibat dalam menyukseskan terpilihnya Qatar sebagai tuan rumah piala dunia. Dia berdalih ingin meninggalkan sebuah legasi semasa menjabat sebagai Presiden FIFA. Qatar dipilih karena mempunyai potensi pasar yang masih besar ketimbang Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Korea Selatan sebagai negara yang ikut mengajukan diri sebagai tuan rumah. Usut punya usut, ternyata Sepp Blatter punya kedekatan dengan Mohammed bin Hammam, Presiden AFC 2002-2011 berkewarganegaraan Qatar, yang merupakan pendukung dia ketika pencalonan Presiden FIFA di tahun 1998.

Untuk lebih memuluskan jalan menjadi tuan rumah piala dunia, Qatar, melalui Bin Hammam, mendanai kongres konfederasi sepak bola negara-negara Afrika. Sebagai kompensasinya, Qatar diberikan sesi khusus untuk mempresentasikan proyek menjadi tuan rumah piala dunia. Namun, tidak berhenti di presentasi, Qatar juga “membeli suara” para petinggi asosiasi sepakbola negara-negara Afrika untuk memilihnya dalam pemilihan tuan rumah piala dunia.

Sesuatu yang dimulai baik saja belum tentu berjalan baik, apalagi dengan yang tidak dimulai dengan baik? Pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022 oleh Qatar, berdasarkan laporan The Guardian tanggal 23 Februari 2021, telah menewaskan 6.500 pekerja migran. Tidak sedikit lembaga-lembaga penegak HAM Internasional menyuarakan pelanggaran HAM berat tersebut. Namun, apa bisa bikin? FIFA sebagai instansi tertinggi sepak bola, sudah ditutup matanya oleh oil money ditambah sportwashing yang dilakukan Qatar Sport Investment (QSI), berhasil menutupi isu kekejaman tersebut.

Melihat angka 6.500 pekerja migran yang tewas, rasa-rasanya kita tidak perlu heran ketika FIFA dan PSSI melakukan Fun Football ketika 135 makam korban Tragedi Kanjuruhan belum kering dan masih ada korban yang berjuang untuk selamat dari tragedi tersebut. Disappointed, but not surprised. Mereka, baik FIFA dan PSSI, sama bengisnya.

Sikap acuh FIFA terhadap nasib pekerja migran di Qatar baru-baru ini nampak terlihat jelas (4/11). Gianni Infantino, Presiden FIFA saat ini, mengirimkan surat kepada 32 negara peserta FIFA World Cup Qatar 2022 yang berisi pesan untuk hanya fokus kepada sepak bola dan tidak terlibat dalam permasalahan lain di luar lapangan. Para pemain dan federasi sepak bola negara peserta diharapkan oleh FIFA untuk tidak menjadi “aktivis” dadakan untuk menyuarakan berbagai masalah di Qatar dan mencampur adukan urusan politik, ideologi, dan sepak bola.

Sebelumnya, pada Mei 2022, Amnesty Internasional bersama koalisi meluncurkan kampanye menyerukan Qatar dan FIFA untuk membuat program remediasi secara komprehensif terhadap ratusan ribu pekerja yang mengalami pelanggaran HAM dalam bentuk perekrutan ilegal, upah yang tidak dibayar, cedera, hingga kasus terburuk, kematian.  Namun, saat ini belum ada respon dari FIFA maupun Gianni Infantino.

 

Created by The Poor, Stolen by The Rich

Umumnya, pesta sepak bola dunia empat tahun sekali diselenggarakan di bulan Juni – Juli, di saat kalender musim kompetisi klub profesional Eropa telah berakhir, atau di musim panas sebagian besar penjuru dunia. Namun, tradisi tersebut dirusak demi mengakomodir perhelatan FIFA World Cup 2022 Qatar. Pasalnya, tidak memungkinkan melaksanakan piala dunia di tengah panas ekstrem Qatar musim kemarau, meskipun Qatar tetap panas-panas juga di bulan November-Desember.

Perhelatan piala dunia di negara timur tengah yang mayoritas penduduknya beragama Islam membuat adanya penyesuaian aturan dengan budaya atau kebiasan di pesta sepak bola ini. Seperti mengonsumsi bir yang menjadi kebiasaan, bahkan sudah membudaya, saat dan seusai pertandingan sebagai perayaan dibatasi hanya diperbolehkan di area stadion dari tiga jam sebelum sepak mula hingga satu jam usai pertandingan.

Baru-baru ini, Sepp Blatter mengakui penunjukan Qatar sebagai tuan rumah piala dunia adalah sebuah kesalahan. Ajang piala dunia terlalu besar untuk negara sekecil Qatar. Selain itu, Qatar hanyalah negara dengan mayoritas gurun pasir yang hanya menawarkan wisata kemewahan. Tidak ada yang menarik dari negara yang tidak plural. Orang-orang datang ke sana hanya untuk menyaksikan tim negaranya berlaga, kemudian pulang tanpa kesan keindahan alam atau budaya dari Qatar.

Pesta sepak bola tahun ini akan terasa kurang. Orang normal mana yang dapat berpesta di atas kematian 6.500 pekerja migran? Celaka. Kita terlalu lemah, pemaaf, dan pelupa di hadapan kuasa dan uang demi kesenangan diri dan lambang perwakilan negara di dada. Memang, dengan kuasa dan uang apa pun bisa disesuaikan dan dianggap wajar.

Sepak bola yang berasal dari olahraga kelas bawah kini telah menjadi alat industri dan politik untuk mencapai kepentingan  para pemegang kuasa dan uang. Pesta sepak bola dunia telah dicuri oleh mereka-mereka yang memiliki kuasa dan uang. Demi sebuah citra negara yang penuh pelanggaran HAM, pesta sepak bola dihelat di rumah “orang kaya baru” yang sok asik. Tidak ada orang yang akan merindukan piala dunia kali ini. Meskipun tidak pantas bersenang-senang diatas penderitaan orang lain, semua orang bersorak untuk hasil negaranya atau tim dukungannya peroleh bukan atas kesuksesan terselenggaranya FIFA World Cup Qatar 2022.

Banyak istri kehilangan suaminya, anak kehilangan ayahnya, adik kehilangan kakaknya, dan banyak juga dari mereka yang bertanggung jawab telah kehilangan empatinya. Semoga ini menjadi yang terakhir, tak seharusnya sepak bola lebih berharga dari nyawa.

 

Penulis: Bagaskoro

Editor: Sabila Soraya Dewi