Judul : Photocopier (Penyalin Cahaya)
Sutradara : Wregas Bhanuteja
Tahun Rilis : 2021
Genre : Drama, Misteri, Thriller
Durasi : 130 menit
Pemeran : Shenina Cinnamon, Giulio Parengkuan, Chicco Kurniawan
Dinamika Pelakon
Layar panggung dibuka, para pemain mulai melakonkan peran—prolog sekaligus epilog. Prolog sebagai pembuka kisah dan epilog yang menutupnya dengan dramatis. Di tengah keremangan, suara-suara lirih bak bisikan setan menggema, menyatu dengan kepulan asap yang mulai beranjak dari sudut yang satu ke sudut yang lain, dengan instalasi-instalasi kuning yang semakin menambah atmosfer tegang. Sorak dan sorai penonton yang bergema seolah irama yang tiada berkesudahan ketika menyaksikan epilog yang gemilang. Apresiasi berdatangan, gemuruh tepuk tangan berbaur dengan suara-suara ceria, hingga berujung pada pesta perayaan sebagai tanda kemenangan.
Perayaan, sesuatu yang lebih sering dikenal sebagai hal menyenangkan dan menggembirakan. Namun, siapa sangka bahwa sebuah perayaan juga tidak luput membawa malapetaka. Sur (Shenina Cinnamon) sebagai pemeran utama yang merupakan seorang mahasiswa beasiswa sekaligus anggota klub teater yang bertanggung jawab terhadap website, turut serta merayakan kemenangan. Ia turut mendapat perhatian yang sama dengan para pelakon di atas panggung. Perayaan-perayaan dimulai, minuman memabukkan bertebaran, bergilir dari satu botol ke botol yang lain, dari satu tenggak ke tenggak berikutnya.
Ketika fajar mulai menyingsing, Sur akhirnya terbangun di sudut kamar dengan kebaya hijau yang masih belum ditanggalkannya. Ia melonjak, bergegas ke kampus karena hari itu adalah hari di mana Sur harus melakukan interview ulang mengenai beasiswanya di semester baru. Namun, ketika ia tiba di tempat dan bersiap untuk memamerkan bakat, yang dihadapinya bukan lagi penerimaan dan penghargaan, melainkan cercaan. Seorang anak penerima beasiswa mabuk-mabukan dan fotonya diunggah ke media sosial! Begitulah pergumulan yang terjadi di antara Sur dan para petinggi beasiswa, yang tidak segan-segan memampangkan wajah Sur di layar proyektor.
Keputusasaan atas hal yang tidak pernah Sur bayangkan sebelumnya mendadak terjadi di depan mata. Mulai dari pencabutan beasiswa, keluar dari kampus akibat tidak ada biaya, dan eksistensi foto-foto yang tidak pernah ia ambil, membuatnya berpikir bahwa ada yang salah dengan semuanya. Ada kejanggalan yang tidak ia mengerti ketika sisa-sisa ingatannya malam itu menggerayanginya dengan putus asa. Jika ia hanya sekadar mabuk, jika ia hanya sekadar berpesta, jika ia memang benar melakukan swafoto dan mengunggahnya ke media sosial, kenapa pakaian yang ia kenakan bisa terbalik dari pertama kali dikenakan?
Kejanggalan demi kejanggalan membawanya pada sebuah pencarian bukti, yang kemudian menjadikan Sur menjadi seorang pencuri data teman-teman teaternya. Ia mencari dan terus mencari. Semakin dicari, semakin ia menemukan hal di luar perkiraan. Siapa yang menyangka bahwa klub teater yang ia masuki pernah dan mungkin masih melakukan perpeloncoan atau suatu tindakan yang tidak etis dari senior terhadap juniornya.
Satu demi satu kasus yang ditemukan ia telusuri, ia cari titik mulanya, barangkali akan berakhir pada jawaban yang sudah menanti di ujung jalan. Namun, nyatanya pencariannya hanya berujung pada kasus-kasus lain yang semakin mengerikan dan tidak akan pernah terbayangkan oleh siapa pun.
Ia menemukan seorang bajingan. Bajingan gila yang suka memotret tubuh seseorang untuk dijadikan instalasi-instalasi yang dipajang pada pertunjukkan klub teaternya. Bajingan gila yang menertawakan dan menari-nari di antara kepulan asap fogging untuk mengejek Sur yang berhasil menemukan bukti yang pasti, tetapi mampu direbut kembali. Bajingan gila yang sebab kekuasaan dan kekayaannya tidak bisa dijerat hukum yang tumpul dan tuli. Rama, diperankan dengan sempurna oleh Giulio Parengkuan, tampil sebagai sosok manipulatif dengan wajah polos dan gerak-gerik yang tampak manusiawi—justru menjadikannya antagonis yang paling lihai dan berbahaya.
Representasi Masalah
Kesan-kesan keputusasaan, ketidakberdayaan, dan ketakutan melingkupi film ini dari awal hingga akhir, sebab hukum yang seharusnya dapat dipercaya justru menjelma menjadi pisau dua arah bagi mereka yang menuntut keadilan. Hukum yang seolah menertawakan dengan riang mereka yang tidak punya uang. Hal ini terbukti dengan kasus pelecehan seksual yang dilakukan secara tidak gamblang, dan secara mendasar juga menjadi alasan mengapa film ini butuh atensi lebih dari orang-orang yang kerap kali mengabaikan hal tersebut.
Film ini berhasil menyadarkan kita bahwa pelecehan seksual tidak hanya terjadi ketika tubuh bertemu tubuh, fisik bertemu fisik, kekerasan dengan kekerasan. Pelecehan seksual dapat terjadi kepada mereka yang merasa terganggu ketika tubuh mereka dijadikan sebagai objek fantasi baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ketidaksempurnaan Teater
Sejatinya, tidak ada sesuatu yang sempurna, sebagaimana plot hole yang turut serta selama pemutaran film ini. Plot hole seperti dalang di balik unggahan foto Sur yang sedang mabuk di media sosial masih tampak rancu bak bayangan kelabu, yang dapat menyebabkan kekecewaan penonton karena tidak adanya kejelasan. Reaksi teman-temannya yang acuh tak acuh juga tidak beriringan dengan kedalaman permasalahan yang menyelimuti Sur. Di sisi lain, peran Amin (Chicco Kurniawan) sebagai tukang fotokopi di area kampus, yang tampak peduli dan sangat membantu Sur, terlihat mengambang untuk menyokong keberadaannya.
Ketidaksempurnaan juga turut serta dalam film ini yang meliputi penggambaran proses hukum yang tampak kurang dieksplorasi dan tidak memuaskan. Bagaimana mungkin seorang yang seharusnya mengerti etika dengan baik dijadikan sebagai oknum yang tidak memiliki akhir memuaskan terhadap konsekuensi perbuatannya? Dibersamai dengan open ending atau akhir terbuka yang membuat penonton harus menerka-nerka dengan kebingungan mengenai akhir cerita pada film—Apakah korban akhirnya mampu mendapat keadilan hukum setelah adanya tuntutan sosial, atau justru tidak ada jeratan apa pun yang mampu mengekang pelaku?
Namun, di tengah kekurangan itu, film ini tetap menghadirkan pilihan naratif yang tidak hanya menyajikan sebuah kisah tentang keputusasaan dan perjuangan Sur, tetapi juga menciptakan ruang refleksi tentang berbagai isu sosial yang menggerogoti masyarakat. Dengan representasi visual yang kuat diiringi penggambaran suasana film yang kelam serta pencahayaan yang remang-remang, film ini mampu menciptakan atmosfer yang mencekam untuk mencerminkan ketidakpastian yang dihadapi Sur. Setiap detail—mulai dari kostum hingga tata suara—narasinya dirangkai secara mendalam dan emosional, menjadikan karya ini tetap menggugah di antara ketidaksempurnaannya.
What can you get here?
Di antara riuhnya pertunjukan para pelakon, terdapat pesan-pesan yang menyelusup dalam kisah Sur. Malapetaka yang menghampiri, seakan mengingatkan kita bahwa kewaspadaan, menjaga pergaulan, dan batasan diri adalah kunci untuk menghindarinya. Para pelakon yang berperan sebagai orang tua, diharapkan mampu menjadi pendengar yang peka, bukan hanya sekadar meneriakkan keegoisan dan tuntutan tanpa alasan.
Di sisi lain, film ini juga mampu menggugah kesadaran untuk merenung dan beraksi, menyoroti isu pelecehan seksual yang tak boleh diabaikan. Dari perjalanan Sur, penonton diharapkan dapat menumbuhkan rasa untuk mendukung satu sama lain, menjaga suara para korban agar tetap bergema dan sejalan dengan tuntutan dunia untuk menciptakan dunia yang lebih aman dan adil bagi setiap individu.
Keberanian Sur dalam menelusuri kebenaran, meski dihadapkan pada risiko yang membayangi, menjadi cerminan ketahanan yang patut dicontoh. Dengan penggambaran yang kuat dan tema mendalam, karya ini menggugah emosi dan pikiran. Meski alur dan karakterisasi memiliki kekurangan, pesan yang tersampaikan tetap relevan, sehingga layak untuk direnungkan oleh siapa pun yang peduli pada keadilan dan hak asasi manusia.
Penulis: Fhira Urmilah
Editor: Aldini Pratiwi