TRIGGER WARNING: Penjelasan detail kecelakaan, darah, dan serpihan kaca yang masuk ke tubuh.
Insiden itu terjadi pada Senin (31/10), pas ketika waktu menunjukkan Pukul 11.00 WIB. Di lantai ke-3 Gedung C FKIP UNS, tepatnya di ruang kelas 302, salah satu jendela yang terpasang berjajar di samping kelas mendadak jatuh tepat di atas kepala seorang mahasiswa yang sedang khidmat menyimak perkuliahan. Entah karena efek getaran suara dari aktivitas di Gedung C —yang entah kenapa lebih cocok disebut sebagai lokasi pembangunan daripada kampus— atau mungkin karena tarikan gravitasi yang terlalu kuat, jendela tersebut langsung pecah ketika menghantam kepala mahasiswa malang tersebut. Alhasil cukup fatal, kepala mahasiswa tersebut memar dan wajahnya luka-luka. Ia pun segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan lebih lanjut.
Hanya selang beberapa jam dari kejadian, berita mengenai jendela jatuh di ruang kelas ini langsung menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa. Bermodalkan hasil screenshot WhatsApp Status dari salah satu saksi di Tempat Kejadian Perkara (TKP), berita ini disebar pada komunitas mahasiswa UNS di Twitter, atau yang lebih dikenal dengan UNS Menfess. Mendengar berita ini, tentu banyak mahasiswa UNS yang mengkhawatirkan keamanannya selama perkuliahan berlangsung. Mungkin para mahasiswa ini mencemaskan hal serupa, bisa saja kejadian ini menimpanya di gedung dan fakultas yang berbeda.
Sempat Dikira Gempa
Sehari setelah kronologi jendela jatuh ini tersebar, LPM Kentingan menghubungi pihak korban untuk memverifikasi lebih lanjut mengenai insiden tersebut. Saat itu korban masih dalam masa pemulihan, korban—yang memilih untuk tidak disebutkan namanya— sebut saja Bulan, menceritakan kronologi kejadian melalui WhatsApp Voice Note. Suaranya tenang dan lumayan ceria, membuat siapa pun yang mendengarkan pasti mengira bahwa ia baik-baik saja. Namun, siapa sangka isi pembicaraan dari suara yang ceria tersebut malah membuat bulu kuduk berdiri?
“Saat itu aku sedang mengikuti mata kuliah Bu Sutiyah. Aku duduk di barisan depan kedua, deretan kursi paling samping, tepat di sebelah jendela. Waktu itu aku sama sekali tidak sadar kalau di sampingku itu ada jendela. Menjelang kelas berakhir, ketika aku mulai masukin laptop ke tas, tiba-tiba aku kejatuhan benda dari atas. Awalnya aku kira itu adalah gempa. Aku cuma sadar kalau benda itu warnanya coklat… dan berat banget. Aku mbatin, ‘Ya Allah, gempa. Ya Allah, aku kena gempa’… dan ternyata teman-teman lagi njerit semua. Teman-teman di deretan yang sama kelihatan kaget dan berdiri menghindar,” tutur Bulan.
Jendela di ruang 302 Gedung C FKIP UNS yang menimpa korban.
Foto: Hasna Farrosah Diwany/LPM Kentingan
Kejadian mengerikan bak adegan film ini terjadi sangat cepat. Ketika para mahasiswa sedang siap-siap untuk pulang di akhir perkuliahan, tidak ada yang bisa menyangka akan terjadi insiden yang mengakibatkan korban luka seperti ini.
“Setelah itu aku mulai merasakan ada serpihan-serpihan kaca di kepala. Bahkan, ada beberapa yang masuk ke mulut. Kacamataku juga sudah bengkok. Aku lihat di lensa kacamataku ada yang tergores. Aku langsung mikir, untung aku pakai kacamata, kalau nggak pasti serpihan kacanya sudah masuk ke mata,” tambah Bulan.
Setelah kaca pecah menghantam kepala Bulan, bingkai jendela tersebut secara otomatis mengalungi leher Bulan, memberikan sensasi beban berat dan menambah keterkejutannya. Bulan yang masih belum bisa memproses kejadian yang berjalan sangat cepat tersebut, kemudian dibopong oleh teman-temannya untuk turun dari lantai tiga sampai lantai satu dan segera dilarikan ke Medical Center UNS.
“Setelah dibawa ke Medical Center, aku langsung dirujuk ke RS UNS. Saat itu aku difasilitasi ambulans dan ditemani oleh pihak fakultas. Waktu itu ibunya bilang, ‘maaf ya Mbak,’ begitu. ‘Ini Mbak harus tetap di-CT Scan biar tahu ada luka yang parah apa nggak. Pokoknya tenang aja, nanti yang nanggung dari fakultas.’ Aku disuntik obat anti-nyeri dan dikasih infus. Setelah itu, rasa sakitnya sudah lumayan mendingan. Kemudian aku di-CT Scan, ternyata nggak kenapa-kenapa. Cuma ada memar dan benjolan besar di kepala, terus juga luka gores di wajah. Setelah itu aku dan teman-teman diantar pulang,” cerita Bulan lebih lanjut.
Berangkat kuliah dengan keadaan sehat, pulang dengan luka. Akibat kejadian ini, tentu sementara ini Bulan tidak bisa melanjutkan aktivitasnya tanpa merasa sakit. Bulan sendiri mengaku tidak tahu butuh waktu berapa lama baginya untuk dapat pulih dengan total. Di aktivitas-aktivitas normal seperti makan, mandi, jalan, dan sebagainya, Bulan masih merasa ngilu dan pusing pada kepalanya.
“Kalau buat datang kuliah sendiri aku belum bisa, karena kepalaku masih ada memarnya. Buat ngunyah makanan masih sakit. Di kepala masih kerasa senyut-senyutnya. Jadi, aku belum bisa ke kampus. Dari dosen sendiri juga nyuruh aku untuk istirahat dulu sampai sembuh,” ungkap Bulan.
Pokoknya aku nggak mau duduk di dekat jendela lagi, itulah jawaban Bulan ketika ditanya apakah terbentuk ketakutan atau trauma tersendiri pascakejadian. Di akhir cerita, Bulan menambahkan, “(Walau aku belum bisa datang kuliah), tapi nanti di hari Kamis aku ada ujian. Jadi, mau nggak mau ya harus datang kuliah…” ucapnya sembari tertawa miris.
Mungkin, mitos bahwa mahasiswa lebih sakti dari apapun itu memang benar adanya.
Sebenarnya Jendela itu Sudah Lama Miring
Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai kejadian, LPM Kentingan juga menghubungi saksi yang ada di kejadian. Saat ditemui secara langsung di Gedung C FKIP, saksi—yang juga memilih untuk tidak disebutkan namanya— sebut saja Bintang, menceritakan kejadian tersebut dari sudut pandangnya.
Pada saat kejadian, Bintang duduk di deretan yang sama dengan korban, hanya dipisahkan satu meja antara mereka. “Dari awal kuliah offline, mulai semester ini, aku sudah sempat mbatin, kok jendela ini miring ya? Miringnya tuh ke dalam kelas dan cuma satu jendela itu saja. Jendela lainnya tetap tegak. Kok gak dibenerin atau gimana, aku juga kurang tau,” ungkapnya. Bintang juga menjelaskan bahwa sebetulnya jendela tersebut ada pengaitnya, tetapi entah karena sudah berkarat atau sudah rusak membuat jendela itu akhirnya jatuh.
Pengait jendela yang sudah rusak dan berkarat.
Foto: Hasna Farrosah Diwany/LPM Kentingan
Kronologi yang diceritakan Bintang kurang lebih sama dengan apa yang sudah diungkapkan Bulan. Mahasiswa yang duduk di dekat korban ikut terkena serpihan kaca, tetapi tidak sampai luka.
Hal yang menjadi menarik adalah setelah kejadian tersebut, Bintang mengungkapkan bahwa mahasiswa lain mulai ramai memposting di Instagram Story atau WhatsApp Status masing-masing mengenai kekhawatiran mereka akan keamanan kuliah di kampus pusat ini.
“Di ruang sebelah, ruang 301 kalau tidak salah, atapnya bocor. Meskipun plafonnya sudah diperbaiki, tapi air hujan tetap bocor. Nah, lokasi bocornya itu dekat dengan bohlam. Takutnya kalau dibiarkan bakal terjadi konslet atau ada mahasiswa kesetrum, kan kita nggak tau,” bebernya. Bintang mengungkapkan bahwa TKP yang baru kemarin terjadi insiden dengan korban luka itu tetap dipakai untuk pembelajaran seperti biasa.
“Kelasnya tetap dipakai seperti biasa. Tadi saja aku baru selesai kuliah di sana. Dosennya cuma bilang, hati-hati ya, jangan dekat-dekat jendela,” ujarnya. Bintang menambahkan, “Biasanya kalau kelas, cewek-cewek itu paling suka duduk di dekat jendela. Tapi setelah kejadian itu, semuanya minggir dan tidak berani duduk di sana lagi.”
Tentu saja apa yang diungkapkan Bintang itu merupakan reaksi yang wajar. Lagi pula, siapa si yang dengan sukarela bersedia terhantam jendela kaca?
Bagaimana Kontrol Kelayakan Fasilitas di Prodi?
Insiden jatuhnya kaca jendela yang melukai mahasiswa tentu menjadi persoalan yang membuat banyak pihak bertanya-tanya mengenai pemeriksaan kelayakan fasilitas prodi yang ada. Maka, LPM Kentingan pun melakukan wawancara dengan Kepala Program Studi S-1 Pendidikan Sejarah, Sutiyah, pada Kamis (03/11).
Sutiyah membuka wawancara dengan mengisahkan kronologi kejadian. Ia tak pernah menduga sebuah musibah akan menimpa mahasiswa yang tengah berada di jam pembelajarannya. Hal ini lantaran ia tak pernah menerima laporan terkait adanya kejanggalan pada jendela di ruang 302, baik dari mahasiswa maupun petugas, khusus yang bertugas.
“Sebenarnya ada petugas yang mengecek dan melapor. Sebelum kuliah itu dicek dari AC, lampu, dan semuanya. Setiap bulan sebenarnya ada laporannya,” ujar Sutiyah. Kemudian ia menjelaskan bahwa sebetulnya pihak fakultas sering melakukan pengecekan. Begitu pula dengan kaprodi yang mengecek fasilitas-fasilitas yang ada di kelas meski tidak mendetail. Namun, apabila pengecekan rutin dilakukan, bagaimana mungkin ada insiden kaca jendela yang melukai mahasiswa?
Hal ini tentu menjadi bukti bahwa pemeriksaan berkala yang dilakukan belum maksimal. Barang kali terdapat kelalaian yang dilakukan petugas pemeriksa seperti yang dikatakan oleh Sutiyah, “Kelalaian atau tidak, saya tidak tahu. Yang jelas, jendela itu tertutup, cuma tidak bisa ngancing. Halangan itu bisa, nggak tahu apa-apa langsung mak krok. Setahu saya, (jendela) nggak dibuka karena rusak atau apa. Mungkin tidak dilihat petugas atau gimana.”
Menjamin keamanan mahasiswa dalam proses pembelajaran merupakan tanggung jawab dari program studi. Prodi bertugas dalam aspek memperhatikan dan melaporkan adanya fasilitas yang rusak dan perlu diganti. Sementara itu, untuk penanganannya adalah tanggung jawab fakultas.
“Kecelakaan itu tanggung jawab prodi, tapi kalau jendela jatuh kan prodi juga nggak tahu. Fasilitas bukan kewenangan prodi, tetapi fakultas. Prodi hanya bisa lapor. Tapi kalau ada apa-apa, prodi memiliki komitmen untuk membantu mahasiswa dalam hal apa pun,” tandas Sutiyah.
Memantau fenomena ini, perlu adanya koordinasi dan tanggung jawab yang besar antara petugas pemeriksa, kepala program studi, dekan maupun wakil dekan, bahkan rektor dalam pemantauan dan pemeliharaan fasilitas kampus. Pengadaan renovasi moga-moga tak perlu menunggu suatu fasilitas benar-benar rusak hingga mencelakai penggunanya. Cukup sekali saja, kecelakaan dalam perkuliahan ini terjadi. Ke depannya, semoga tidak ada lagi.
Penulis: Sabila Soraya Dewi dan Tamara Diva Kamila
Editor: Rizky Fadilah