Pernikahan dini merujuk pada akhir masa remaja individu. Fase mereka berkembang, baik dari fisik, kemampuan mengolah emosi, bahkan kemampuan bersosialisasi. Perspektif pernikahan dini berasal dari dua posisi remaja, yaitu yang telah menikah dan belum menikah sebagai berikut:
- Remaja yang sudah menikah melihat bahwasannya pernikahan dini merupakan solusi untuk menghindari pergaulan bebas, bentuk loyalitas kepada orang tua, dan penerimaan norma sosial oleh masyarakat di Nusantara.
- Remaja yang belum menikah melihatnya sebagai halangan untuk mencapai visi dan misi diri mereka di masa depan dan menghilangkan kesempatan untuk menikmati masa remaja.
Perspektif ini dibentuk oleh individu dan lingkungan sekitar seperti orang tua, keluarga, teman sebaya, dan adat setempat di pulau-pulau yang menikahkan anaknya pada usia dini.
Pernikahan usia dini masih banyak terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pernikahan usia dini. Faktor tersebut antara lain faktor sosial budaya, desakan ekonomi, tingkat pendidikan, sulit mendapat pekerjaan, media sosial, agama, serta pandangan dan kepercayaan (Carolin et al., 2021). Selain itu, pernikahan dini dilakukan karena keinginan mereka sebagai kebutuhan, perjodohan oleh orang tua, dan kehamilan di luar nikah. Kuatnya keinginan remaja untuk melangsungkan pernikahan dini atas kehendak sendiri disebut dengan niat yang merupakan kecenderungan untuk menikah pada usia remaja atau di bawah usia 20 tahun (Suriah et al., 2022).
Tanggapan remaja yang memiliki niat menikah pada usia dini merupakan beberapa faktor pemicu penerimaan remaja terhadap gagasan pernikahan dini, seperti solusi untuk menghindari pergaulan bebas, bentuk terlepas dari rasa bersalah akan menjadi beban bagi orang tua, dan perasaan bahwa mereka dapat bertanggung jawab dalam membangun rumah tangga.
Penulis berpendapat bahwa adanya tingkatan ekonomi yang rendah dan harapan terbebas dari beban finansial dan sosial, menyebabkan sejumlah orang tua menyetujui pernikahan anaknya yang masih dalam usia sekolah. Sejumlah literatur menyebutkan bahwa pernikahan dini umumnya dilatarbelakangi oleh faktor finansial (perekonomian keluarga). Hal ini dikarenakan orang tua berharap beban keuangan keluarga terkurangi setelah anak perempuannya dinikahkan dan menjadi tanggung jawab suaminya.
Nyatanya, pernikahan dini justru berdampak negatif pada perekonomian keluarga. Dalam hal ini, rata-rata lelaki sebagai kepala keluarga belum memiliki pekerjaan tetap atau tidak memiliki kemampuan untuk dapat mencari nafkah yang halal dan layak bagi keluarga barunya. Lebih dari itu, secara fisik jika hamil pada usia dini, ibu maupun bayinya akan berisiko tinggi. Beberapa di antaranya adalah terjadinya keguguran, cacat fisik pada bayi, bahkan kematian bagi calon ibu. Sementara itu, dari sisi psikologis dapat memicu depresi berat lantaran usia belum matang, emosi masih labil untuk menghadapi persoalan-persoalan dan tanggung jawab yang besar sehari-hari, bahkan bisa saja akhirnya memutuskan untuk berpisah (perceraian). Terlebih lagi, pernikahan usia dini rentan terhadap masalah kesehatan reproduksi seperti meningkatkan angka kesakitan dan kematian pada saat persalinan dan nifas, melahirkan bayi premature, berat bayi lahir rendah, serta mudah mengalami stres.
Berkaitan dengan paparan di atas, perlu adanya edukasi dan pemberian sudut pandang yang tepat mengenai masalah pernikahan dini, khususnya bagi remaja di pulau-pulau kecil dan lokasi yang masih marak menerapkan pernikahan dini. Penting pula untuk memberikan dukungan dari role model di Nusantara, pemberi nafkah, orang tua, dan tokoh masyarakat yang peduli terhadap masalah remaja. Selain itu, melakukan intervensi untuk mengurangi jumlah kasus juga dapat diterapkan. Hal ini dapat dilakukan melalui entry point untuk meningkatkan perspektif mereka tentang pernikahan dini. Sebuah kegiatan promosi kesehatan membutuhkan perencanaan terlebih dahulu agar output yang dihasilkan bisa lebih baik sebab perencanaan merupakan standar untuk mengadakan pengawasan evaluasi.
Adapun saran yang dapat penulis usulkan antara lain memberikan pelatihan dan pembinaan kepada pengurus PIK-R sejak sekolah tingkat menengah pertama dalam pelaksanaan kegiatan Pusat Informasi Konseling Remaja secara rutin. Hal ini diharapkan supaya mereka lebih terampil dalam memberikan materi penyuluhan pada remaja. Selanjutnya, memberikan informasi dan meningkatkan peran remaja dalam promosi kesehatan pendewasaan usia perkawinan melalui pembentukan komunitas pada PIK-R. Kemudian, meningkatkan pemberian informasi tentang pendewasaan usia perkawinan pada masyarakat melalui kegiatan yang berbasis masyarakat seperti pengajian, arisan, dan kegiatan lainnya.
Penulis: Naila Khansa Aufa Yusman
Editor: Tamara Diva Kamila