PERLUKAH MENGHAPUS AKUN MEDIA SOSIAL?

Judul	        : Ilusi Media Sosial, Sepuluh Argumen tentang Paradoks Medsos 
                  (Terjemahan dari Ten Arguments for Deleting Your Social 
                  Media Accounts Right Now)
Penulis		: Jaron Lanier
Penerjemah	: Elvan Adiyan Wijaya
Penerbit	: Cantrik Pustaka
Cetakan	        : I, 2019
Tebal		: 204 halaman
ISBN		: 978-602-0708-21-8

Di dunia yang serba digital seperti ini⸻buku digital, ruang virtual, hingga akad nikah online⸻, hubungan dalam jaringan seperti media sosial seolah telah bermutasi menjadi kebutuhan primer. Para manusia lebih gundah ketika kehilangan follower daripada kehilangan waktu bersama orang-orang terdekat. Menikmati makanan bukan lagi menjadi tujuan utama sebab tak ada yang lebih afdhol dari memotretnya terlebih dahulu untuk diunggah ke media sosial. Kehangatan berbincang di meja makan kini menjadi mitos yang entah kapan akan kembali menjadi realitas. Fenomena seperti inilah yang disorot oleh Jaron Lanier dalam bukunya yang berjudul Ten Arguments for Deleting Your Social Media Accounts Right Now. Buku ini berisi tentang sepuluh alasan mengapa manusia harus menghapus akun media sosialnya saat ini juga.

Pernyataan Lanier menjadi lebih valid⸻meskipun bersifat subjektif⸻sebab Ia memang tidak memiliki akun media sosial (Facebook, Instagram, Twitter, Snapchat, Whatsapp) sama sekali berdasarkan pernyataannya sendiri (halaman 64). Lanier membuka bukunya dengan analogi yang menarik, yakni kucing dan anjing di internet (halaman 11). Anjing terkesan lebih menurut dan mudah dijinakkan, sedangkan kucing cenderung menjinakkan diri mereka sendiri (kendali berada pada diri kucing sendiri). Sebut saja seperti fenomena kucing oren yang menggemparkan jagat media sosial baru-baru ini yang jauh dari kata ‘jinak’ dan cederung bar-bar. Maksudnya bahwa manusia harus bisa menjadi seperti kucing di internet tetap mampu mengendalikan dunia meskipun dalam pengawasan rutin media sosial, bukan seperti anjing di internet mudah mengikuti segala aturan di media sosial. Terlepas dari analogi itu, Lanier tetap merekomendasikan menghapus akun media sosial meskipun keputusan tetap di tangan para pembaca.

Mengapa Akun Media Sosial Harus Dihapus?
Ada sepuluh argumen yang diungkapan oleh Lanier terkait penghapusan akun media sosial, tetapi tidak akan ‘dibocorkan’ semuanya di sini karena pembaca harus mencumbu buku itu sendiri. Beberapa di antara argumen tersebut adalah karena media sosial membuat manusia kehilangan kehendak bebasnya dan berdampak pada hilangnya kebahagiaan. Bukankah ini menjadi dampak yang mengerikan bagi manusia? Jika manusia tidak bisa memiliki kehendak bebas, maka bukankah manusia menjadi tidak lebih mulia dari media sosial itu sendiri? Jika manusia tak lagi merasakan kebahagiaan, maka bukankah hal ini menyimpang dari tujuan awal manusia yang ingin bermedia sosial agar lebih bahagia?

Media sosial membuat surga dan neraka ditentukan oleh orang lain, bukan dari pribadi masing-masing manusia (halaman 29). Manusia merasa menjadi malaikat ketika unggahannya mendapat banyak like dan komentar positif. Mereka tak peduli unggahan itu bernilai baik atau tidak karena tolok ukur kebaikan adalah kalkulasi jumlah dukungan, bukan lagi ketulusan. Sebaliknya, manusia merasa menjadi makhluk yang paling hina dan layak dimasukkan ke neraka ketika unggahannya dipenuhi hujatan beserta makian dari para netizen yang budiman. Fakta-fakta seperti inilah yang membuat Lanier dengan tegas menyatakan secara implisit bahwa surga dan neraka kini tak lagi menjadi milik Tuhan, tetapi milik para pengguna media sosial.

Selain menciptakan surga dan neraka, media sosial juga memicu kegelisahan-kegelisahan yang tidak perlu. Tidak berlebihan jika Lanier menegaskan bahwa media sosial membuat para manusia tidak bahagia (halaman 110). Jumlah pengikut yang tidak sebanyak teman-teman dalam komunitasnya, akan membuat seseorang merasa gelisah tanpa sebab. Padahal jumlah pengikut dapat diakali dengan jasa penambah followers yang menyediakan ‘pengikut palsu’. Seseorang tiba-tiba merasa minder karena postingannya tidak banyak mendapatkan respons dari teman-teman virtualnya sehingga ia menjadi rentan rendah diri dan takut berada dalam keramaian. Jauh sebelum akun-akun media sosial menjejali telepon gesek mereka, kehidupan berjalan baik-baik saja tanpa memusingkan penilaian orang-orang tak dikenal. Kini, satu komentar dari teman virtual yang berasal dari planet lain sekalipun dapat memberikan efek kegelisahan selama berhari-hari.

Oleh sebab itu, Lanier mengungkapkan bahwa satu-satunya cara yang tersisa bagi manusia yang telanjur memasuki dunia maya (media sosial) justru tidak dengan menyerang, tetapi dengan cara membebaskan diri dari belenggu yang membatasi kehendak bebas sebagai seorang manusia.

Penulis: Akhmad Idris
Editor: Diana Kurniawati

Akhmad Idris
Dosen Bahasa Indonesia di Sekolah Tinggi Ilmu Bahasa dan Sastra Satya Widya Surabaya sekaligus penulis buku ‘Wasiat Nabi Khidir untuk Rakyat Indonesia
akhmadidris9@gmail.com