Dipenghujung akhir bulan Oktober tahun ini, kota Surakarta masih saja dilanda cuaca yang sangat panas. Saat siang hari terik matahari begitu terasa menyengat kulit, hawa panas nya membuat siapapun merasa gerah dan selalu mengucurkan keringat. hari itu selasa (31/10) di sebuah ruangan sekretariat salah satu UKM yang ada di Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret, selepas jam kelas perkuliahan pagi, seorang mahasiswa berbagi sedikit kisah tentang pahit getir perjuangan yang harus ia lalui untuk meraih mimpi.
Shalsabila Ayuningtyas, kerap disapa Tyas, 19 tahun. Mahasiswa asli Karawang yang memutuskan merantau hingga ke Surakarta untuk menempuh pendidikan demi mengejar mimpinya. Setelah berjuang melalui berbagai rintangan ujian ia berhasil diterima di Fakultas Teknik Universitas Sebelas Maret Surakarta melalui jalur mandiri pada tahun 2022.
Perasaan senang dan gembira tentu saja meluap dalam hati Tyas saat ia dinyatakan lolos dalam seleksi mandiri dan resmi menyandang gelar sebagai seorang mahasiswa di salah satu universitas ternama. Namun, baru sejenak ia merasakan euphoria suka citanya sebagai seorang mahasiswa baru, Tyas sudah dikejutkan dengan tingginya harga yang harus dibayar demi mewujudkan segala mimpinya.
Awal sebelum masuk perkuliahan semester pertama Tyas harus membayar tagihan uang pangkal atau uang SPI sebesar Rp5 juta. Selanjutnya penentuan untuk uang kuliah Tunggal (UKT) per semesternya ia mendapat ukt golongan V, di mana harus membayar sebesar Rp6 juta per semesternya. Pertama kali mendengar besarnya biaya yang harus dibayarkan sontak membuat Tyas terkejut bagai tersambar petir disiang bolong. Ia tak menyangka akan mendapat golongan UKT setinggi itu. Belum lagi harus membayar SPI di muka dan biaya untuk merantau yang tentunya tidak sedikit. Meski begitu ia tak bisa melakukan apapun.
“Mungkin kesalahannya di aku, awal semester dulu nggak kepikiran buat ngajuin penurunan UKT karena awalnya nggak cuma daftar di UNS. Makanya ketinggalan info terkait sanggah UKT,” sesalnya sambil mengenang masa masa awal semester pertama.
Berasal dari keluarga sederhana yang mendukung penuh impiannya untuk mendapat pendidikan yang tinggi, Tyas memiliki seorang adik laki-laki yang juga masih bersekolah di bangku pendidikan SMP. Ayahnya merupakan seorang pekerja di sebuah pabrik mesin bagian mesin bubut. Dengan gaji sebesar 4 juta perbulan yang harus mampu mencukupi untuk segala biaya kebutuhan hidup keluarga dan juga biaya pendidikan kedua anaknya. Sedangkan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga yang bertugas untuk mengurus rumah dan keluarga.
Tyas merupakan seorang mahasiswa yang memiliki ambisi dan semangat belajar yang tinggi, sejak awal perkuliahan Tyas begitu aktif mengikuti jalannya kegiatan belajar mengajar dalam kelas. Jika belum paham terkait materi yang disampaikan dosen tanpa ragu ia akan mengangkat tangan dan bertanya meminta penjelasan, begitu juga jika ia mampu menjawab pertanyaan atau menyelesaikan sebuah persoalan maka dengan berani dan tanpa rasa takut salah ia akan berusaha untuk menyelesaikannya sebaik mungkin dan semampu yang ia bisa.
Setiap berangkat menuju kampus untuk menuntut ilmu, Tyas membawa mimpi dan harapan yang besar. Sadar akan amanah yang diembannya dan segala harapan yang ia pikul dipundaknya, dengan penuh semangat ia bertekad untuk menggapai mimpinya demi membahagiakan kedua orang tuanya. Karena jauhnya jarak dan keterbatasan waktu, sebagai anak rantau yang hanya pulang setahun dua kali saat libur akhir semester. Tyas juga memendam rindu yang dalam pada keluarga tercintanya yang tinggal nan jauh di Karawang. Jikalau ada kesempatan untuk pulang ke rumah tentu ia akan merasa berbahagia sekali.
Namun, tidak pada September 2023. Tyas harus pulang karena sang ayah berpulang. Datangnya kabar tak terduga itu amat mengguncang jiwa juga pondasi hidupnya dan menyisakan duka mendalam baginya. Sang ayah, pahlawan sekaligus tulang punggung keluarga meninggalkannya selamanya. Ayah bukan hanya seorang pendukung finansial, tapi juga pilar moral yang memberi kekuatan dan semangat dalam menjalani kehidupan kuliahnya.
Kepergian sang ayah bukan hanya menjadikannya merasa kehilangan keluarga, tapi juga sosok yang selama ini menjadi pilar dukungan terbesar dalam perjalanan pendidikannya. Kehilangannya menghadirkan kekosongan yang tak tergantikan. Meskipun kepergian sang ayah menjadi ujian yang teramat berat, hal itu juga menjadi pendorong untuk melanjutkan perjalanan pendidikannya sebagai bentuk penghormatan atas segala pengorbanan dan perjuangan sang ayah.
“Dua puluh hari sebelum tepat ulang tahunku yang ke-19 papa berpulang,” ujarnya dengan pelan berusaha menyembunyikan kesedihan. Tyas selalu berusaha untuk terlihat kuat meski sebenarnya begitu rapuh. Selalu berusaha tertawa untuk menyembunyikan lara.
Ditengah badai kenyataan yang begitu pahit, Tyas merasa seperti buah simalakama terjebak dalam dilema antara meraih mimpi dan memberi dukungan kepada sang ibu yang sekarang harus menghadapi beban berat hidup sendirian. Sang ibu berusaha menopang hidup dengan mengandalkan kemampuannya dalam membuat dan menjual berbagai macam kue basah dan jajanan pasar, seperti bolu coklat, bolu pelangi, brownies, putu ayu, lontong, dan sebagainya. Berdagangnya pun tidak dilakukan setiap hari dan hanya bergantung pada pesanan yang datang. Dari hasil penjualannya pun tidak bisa diandalkan sepenuhnya, apalagi untuk biaya hidup sehari hari, biaya kuliah Tyas dan juga biaya sekolah adik tyas. Hal ini membuat tyas harus pontang panting berusaha sekuat tenaga mencari cara agar tetap melanjutkan studi tanpa memberikan beban yang lebih kepada keluarganya.
Dalam gelap pekatnya duka kehilangan, tyas menemukan cahaya harapan untuk bangkit kembali melalui dukungan dari keluarga, teman teman terdekat yang senantiasa sedia membantu dan memahami kondisinya, serta bantuan dari program beasiswa sedikit mengurangi kegelisahannya terkait biaya pendidikan karena dirasa sangat membantu untuk meringankan bebannya dalam membayar tagihan UKT.
Beasiswa dari Alumni Peduli
Berbagai cara Tyas upayakan untuk meringankan beban ibunya dalam membiayai pendidikannya. Salah satu jalan yang ia tempuh adalah dengan mencari beasiswa. Beruntung, dalam program studi yang ia tempuh terdapat suatu program beasiswa bernama Alumni Peduli (Alped). Program beasiswa tersebut menyalurkan dana yang dikumpulkan dari alumni untuk memberi bantuan finansial kepada para mahasiswa aktif yang dirasa memiliki kesulitan dalam membayar UKT.
Alur pengajuan untuk mendapat beasiswa Alped juga tergolong sangat mudah, yaitu dengan mengisi informasi terkait data diri, keluarga, besarnya tagihan UKT yang harus dibayarkan, dan alasan mengapa membutuhkan beasiswa tersebut pada situs yang disediakan pihak program studi. Setelah itu, dilanjutkan dengan memenuhi persyaratan berupa surat bebas beasiswa yang bisa didapat dari bagian mawa fakultas kemudian dibawa pada saat wawancara seleksi penerima beasiswa oleh dosen penyeleksi. Jumlah dana yang didapat dari mengikuti program beasiswa ini adalah sebesar lima puluh persen dari jumlah besarnya tagihan UKT yang harus dibayarkan.
Tyas yang kini duduk di bangku perkuliahan semester 3 telah mendapatkan beasiswa Alped sebanyak dua kali. Yakni untuk membayar tagihan UKT pada semester 2 dan 3. “Alhamdulillah kalau cair biasanya dapat 3 juta, jadi bisa nutup setengah dari bayar UKT. Tinggal yang setengahnya masih belum ke-cover,” ucap tyas menjelaskan.
Mencari Beasiswa Lain
Meski sudah terbantu dengan adanya beasiswa Alumni Peduli dari program studinya, separuh dari biaya UKT masih saja menghantui. Dengan pantang menyerah dan tak habis akal tyas terus berusaha untuk mencari informasi beasiswa lain dari berbagai sumber agar bisa membayar lunas tagihan tanpa membebani ibunya.
Berbagai beasiswa pernah dicobanya “Pernah nyoba ikut Beasiswa Karawang Cerdas, YBM BRILiaN beasiswanya BRI. Alhamdulillah yang beasiswa BRI lolos jadi dapet buat dua semester totalnya 3 juta,” tutur Tyas terkait macam beasiswa yang pernah dicobanya. Usahanya tak selalu berjalan mulus sesuai dengan yang diharapkan. Berbagai tahapan harus dilalui untuk mendapat beasiswa tersebut, mulai dari melengkapi berkas, wawancara, dan sebagainya. Meski sudah melakukan yang terbaik, Tyas belum tentu mendapat beasiswa yang ia ajukan. “Yang namanya belum rejeki ya mau gimana lagi, nanti deh coba lagi lain waktu kalo nggak masih bisa nyoba beasiswa lain.”
Ikut Lomba Demi Mendapat Hadiah
Tidak berhenti sampai disitu saja perjuangan Tyas untuk mencari biaya demi membayar UKT. Sebagai seorang mahasiswa, selain menghabiskan waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas Tyas juga turut serta aktif dalam salah satu organisasi mahasiswa pecinta alam yang ada di fakultasnya. Dalam komunitas inilah Tyas bertemu dengan teman-teman yang penuh kehangatan layaknya keluarga, sangat peduli, dan sayang kepadanya. Banyaknya agenda kegiatan dan dikelilingi teman teman yang suportif membuatnya perlahan sedikit demi sedikit bangkit dari keterpurukan. Tidak mau membuang waktu lebih lama untuk bersedih, Tyas menyibukkan diri sembari memanfaatkan potensinya dengan mengikuti berbagai perlombaan ke-mapala-an, seperti orienteering, panjat tebing, dan delegasi lainya. Ibarat menyelam sambil minum air, dengan mengikuti berbagai lomba Tyas tidak hanya mendapat pengalaman tetapi juga terkadang mendapat hadiah sejumlah uang, jika ia berhasil memenangkan lomba.
“Kemarin ikut lomba. Lombanya itu lari tapi rutenya harus cari sendiri. Jadi peserta dikasih peta, nah kita harus bisa nentuin rute yang bener dan sampai di garis finish secepatnya. Alhamdulillah menang juara 3 terus hadiahnya dapat satu juta lumayan lah buat tambahan bayar UKT,” tuturnya.
Kerja Part Time
Sebagai mahasiswa teknik yang kesibukannya sangat padat mulai dari banyaknya praktikum, tugas besar, serta aktif dalam mengurus organisasi. Tyas masih menyempatkan waktunya untuk bekerja. Menyesuaikan dengan padatnya jadwal hariannya, ia mengambil kerja part time dengan salah satu bimbel (bimbingan belajar) yang ada di sekitar Solo. Tyas bertugas untuk mempromosikan dan menyebarkan selebaran brosur informasi terkait bimbel tersebut. Terkait kapan dan dimana ia bertugas, tergantung pada permintaan pihak bimbel jadi ia hanya mengikuti instruksi yang diberikan.
“Waktu kerja nya fleksibel nggak yang setiap hari, jadi aku bisa menyesuaikan sama jadwal kuliah,” kata Tyas. Ia bekerja hanya pada saat mendapat panggilan dari pihak bimbel. Pernah sesekali waktu kerjanya bertabrakan dengan jadwal kelas kuliahnya, saat itu terjadi maka Tyas terpaksa tidak mengambil job part time-nya dan memilih untuk mengikuti perkuliahan.
Bagai tak punya rasa lelah, segala usaha yang dilakukan demi membayar UKT juga membayar mimpi-mimpinya satu per satu berkembang menjadi kenyataan. Meski pada awalnya terasa amat berat baginya, namun seiring waktu berjalan, setiap detik perjuangan itu membentuk karakter dan mengukir keberaniannya untuk terus melangkah maju.
Setiap perjalanan yang telah dilalui, getirnya perjuangan meraih mimpi dihadang UKT yang begitu tinggi mengajarkan Tyas untuk selalu mencari solusi di setiap kesulitan yang dihadapi, untuk tidak menyerah pada segala mimpi meskipun kondisi begitu sulit terasa menghimpit. Kisah Tyas ini hanya sepenggal kisah dari sekian banyak kisah teman teman sekitar kita yang mengalami hal serupa. Bukan hanya tentang perjalanan mimpi yang terhalang tingginya tebing UKT, tetapi juga tentang melewati segala ujian kehidupan dan tetap bertahan terus melangkah di tengah yang badai menerpa.
Penulis: Revy Anestasia
Editor: Wahyu Lusi Lestari