Gambar diambil dari dafriansyahputra.wordpress.com

Perempuan Ladang

IRAMA hutan bergema  hingga ke aliran tapak sungai tak jauh dari ladang. Hembusan  angin menggeliati roma sekujur tubuh. Segar terasa berfantasi dalam pelupuk mata. Fauna-fauna  kecil berseliweran seolah bergulat dengan singgasana rumputnya. Nuansa itulah yang membuat Mak bertahan di sana.

 

“Mak, yakin tak balik ke rumah lagi?” tanya pria muda kerontang berbalut seragam dinas yang lusuh itu.

 

“Ya, Mak tak ingin lihat adik kau itu. Bertahun-tahun Mak jaga dia, dia malah tak ingat dengan Mak. Lantas pergi bersama tukang sayur itu.”

 

 

“Ya sudahlah, Mak. Kalau itu yang  Mak mau. Andi akan sering-sering ke ladang. Kalau ada masalah, beri pesan saja pada Mbak Sri. Ia selalu masuk keluar ladang,” ucapnya. Tampak jelas lelah yang berlipat dari raut wajahnya.

 

Emak tersenyum kaku, segan pada seluruh perhatian anak lelaki satu-satunya. Sosok Andi menjauh dan perlahan hilang di antara pohon tak beraturan. Ada kelegaan yang ia rasakan usai berpamitan pada Maknya. Meskipunpun masih ada rasa sesal karena hati Maknya yang tak kunjung melunak itu.

 

 

 

* * *

 “Mak, maafkan Ida, mak,” ucap Ida dengan suara sengau. Tangannya bergetar hebat, menggenggam angin di sekitarnya. Matanya sembab, tiba-tiba posisi berdirinya mulai turun menuju tanah. Ida kini telah bermohon sujud pada Maknya.

 

“Pergi saja kau ke rumah tukang sayur itu! Sudah sering Mak katakan, tapi kau tak hiraukan. Kau ingin makan dengan cinta?”

 

“Mak, dia hanya miskin, tapi sholeh.” Ida menunduk dalam menyingkapkan tabir sesal yang ia alaminya.

 

“Jujur saja, Mak tak ingin mengusirmu, tapi lebih baik kau pergi saja,” ungkap Mak tanpa mengalihkan pandangannya dari mesin jahit tua setengah lapuk.

 

Irama kesepian nyaring terdengar dalam pelupuk hati perempuan tua itu. Mak terpaku, menenangkan hatinya yang mulai gusar.

 

 

 

* * *

Sebenarnya Ia ingin menghiraukan masalah itu untuk berdamai dengan udara segar kampungnya  yang menggoda, Ia juga ingin mengurusi kerbau-kerbaunya yang telah lama ia tinggalkan. Mak termenung. Sungguh, ia tak habis pikir mengapa sanak saudaranya rela berselisih demi ladang ini. Mak tiba-tiba teringat pembicaraan dengan Kiah, tetangganya beberapa hari lalu.

 

“Bagaimana kau ini, Minar. Kau benci pada sanak suadara kau karena memperebutkan tanah pusaka. Sedangkan kepada anak, kau haruskan dia cari suami yang kaya dan banyak tanahnya. Pikirlah dulu, baik atau tidaknya sikapmu itu.”

 

“Aku tak ingin anakku melarat sepertiku,” jawab mak tandas, tetap dengan kesungguhan hati yang membara bak kobaran api.

 

Senja tenggelam melenyapkan warna jingga pada bingkai pondok ladang mak. Lolongan harimau liar di dalam dasar hutan berteriak dengan lantang. Ia mencabik-cabik daun sebagai jalan untuk segera pulang ke singgasananya.

 

Warga ladang selalu waspada akan buasnya makhluk penghuni hutan itu. Mereka tak ingin keluar rumah usai Maghrib berkumandang karena tak jarang melihat harimau hutan berkeliaran, takut nyawa mereka dicabik-cabik. Tapi berbeda dengan mak, dia sama sekali tak takut. Mak seolah tak mendengar bagaimana kasak-kusuk warga sekitar.

 

* * *

Mak yang biasanya melakukan pekerjaan rumah dengan listrik, kini telah membiasakan diri dengan peralatan seadanya. Dulunya ada lampu walaupun warna kuning, kini ia sanggup hidup dengan lampu minyak. Kompor gas yang diberikan pemerintah telah berganti dengan kayu bakar yang  siangnuya sibuk Ia cari.

 

“Minar, gawat. Truk besar sekarang sudah banyak kemari. Aku tak sengaja dengar, katanya saudara kau ingin mendirikan Waterboom di sini. Apa dia sudah izin dengan kau?” tanya Kiah buru-buru. Ia mendesak dan mengguncang tubuh Mak bertubi-tubi.

 

Jelas tetangganya tahu diri bahwa semua warga ladang hanya menumpang tinggal. Ladang luas ini jelas pusaka keluarga Mak. Meski tak kaya raya, tapi ia memiliki tanah yang jika ia jual bisa membuatnya jadi macam Priyayi di tanah Jawa. Sayang ia tak melakukan itu.

 

“Kau jangan dusta pulalah. Mana ada aku izinkan, saudaraku yang dulu menemuiku untuk menjual tanah ini telah aku nasehati.”

 

“Mana mempan dengan nasehat. Segera saja kau hentikan truk itu,” perintah tetangga lain memohon.

 

Mak bergegas merapikan sarung yang ia kenakan, memakai sandal lalu setengah berlari mengejar. Tak ada yang dapat ia pikirkan lagi, selain menghentikan truk yang sedang melaju. Baru dari kejauhan, mak telah melempar-lempar sendalnya ke arah truk-truk itu.

 

Truk berhenti ketika Mak datang dengan keadaan yang tak dapat dijelaskan lagi. Keluarlah sosok orang yang dikenal Mak dari samping truk sambil berkacak pinggang menatap Mak dengan angkuh, seolah-olah Mak orang terkutuk yang berusaha mencari kebenaran.

 

“Apa yang kau urus kemari, Minar?” tanya Malin. Kakak tertua Mak itu menatap lurus seperti ingin memangsa hingga titik darah penghabisan.

 

“Apa tujuan Uda kemari. Dulu Uda sudah berjanji takkan jual ladang ini.”

 

“Aih, mana pernah aku berkata begitu.”

 

Jauh ke lubuk hatinya, Mak merasa sakit tak tertahankan. Ia kecewa mengapa kakaknya tega mengatakan hal seperti itu. Tapi Mak berusaha menyembunyikannya. Ia tetap tegar.

 

“Apa Uda tega tanah pusaka ini dijual begitu saja. Padahal, Ibu kita berpesan agar menjaga ladangnya, wariskan sampai anak cucu, dia selalu bilang begitu, Da.”

 

Pertikaian mulai terjadi antara kakak beradik ini. Mentari menambah panas pertikaian ini dengan sengatan sinar yang ia pancarkan. Sang kakak menyerah, tapi besok akan datang lagi untuk pembabatan. Ia sebenarnya tak peduli pada adiknya yang terus berceloteh ria itu, tapi dia sedang malas adu mulut saja.

 

 

 

* * *

Hari demi hari, pembabatan hutan mulai berjalan lancar. Tak ada hambatan lagi yang terjadi, sebab Malin telah meluncurkan ajudannya ke tengah lapangan. Jelas terlihat tak ada warga yang berani menentang. Mak kian lama jarang kembali ke pondok. Sampai di pondok hanya untuk melelapkan diri saja.

 

Tak ada yang mengetahui alasan Mak pergi selama ini. Sedangkan Malin makin giat menelusuri sudut ladang. Keegoisannya tak sedikit pun peduli akan Mak yang telah menyendiri itu. Saudara yang lainnya pun telah menyetujui rencana Malin tersebut. Bahkan telah membahas bagi hasil tanpa mengikutsertakan Mak dalam permusyawaratan merela.

 

“Sri, apa kau melihat Minar akhir-akhir ini?” tanya Esti pemilik kebun coklat yang terletak di seberang pondok Mak.

 

“Aku tak lihat, aku dengar-dengar dia minta pertolongan dukun untuk mengembalikan lagi ladang ini,” jawab Sri tanpa pikir panjang.

 

“Tak mungkinlah, dia kan alim. Takkanlah ikut-ikut ke dukun.”

 

“Aku kan tahu dari orang pula, zaman sekarang apalah yang tak mungkin.”

 

Pembicaraan terus berlanjut, kasak-kusuk antar warga semakin marak terjadi. Tak ada satupun warga yang mampu menjelaskan detail masalah ini, hanya kabar burung yang silih berganti. Ada kabar yang mengatakan bahwa Mak dibunuh binatang buas atau ada juga yang mengatakan bahwa dia diselundupkan ajudan Malin.

 

 

* * *

Tak ada yang mengetahui ladang pusaka Mak adalah jalur longsor yang bertahun-tahun lalu pernah terjadi. Karena itu, ada kemungkinan longsor akan kembali terjadi jika tak ada lagi yang menopang tanah tersebut. Malin sang pembabat itu tidak memperhitungkan masalah-masalah yang akan terjadi akibat ulahnya.

 

Ia terlalu malas untuk meninjau keadaan tanah yang nantinya akan dijadikan kawasan wisata itu. Yang ia tahu hanya bagaimana caranya agar pembangunan cepat tuntas, warga cepat menyingkir dan berapa banyak uang yang akan diraupnya dari wisata Waterboom ini.

 

Sedangkan warga ladang yang bermukim, lambat laut diusik kehadirannya oleh ajudan Malin. Tak sedikit yang kembali ke kampungnya masing-masing. Takdir warga yang pulang kampung sebenarnya dalam keadaan beruntung, tetapi mereka belum menyadari saja akan keberuntungannya itu.

 

 

* * *

Jumat adalah hari dimana para pemuda dan lelaki lainnya turun dari ladang untuk melaksanakan kewajiban sholat Jumat.  Saat semua pemuda turun satu persatu, Pak Hendra menyamping terlebih dahulu untuk memperbaiki sarungnya yang sudah setengah terbuka. Tentu saja matanya tak terlepas dari daun-daun yang riang menari menyesuaikan nada angin yang sejuk.

 

Ada yang aneh dengan beberapa daun di arah utara, tegang. Pak Hendra mendekat ke arah daun itu. Ia terkejut dan terlonjak hebat. Cepat-cepat ia panggil pemuda lain mengikutinya untuk mendekat.

“Innalillahi wa innna ilaihi rajiun, Mak Minar telah lama pergi.”

Warga lainnya menatap haru bercampur iba dengan keadaan Mak yang telah membiru dan berbau.[]

 

 

 

Nisa’ul Afifah

Mahasiswi Hubungan Masyarakat FISIP UNS 2015. Surel : nisaulafifah78@yahoo.co.id