Ilustrasi: M. Fakhrur Rozzi/LPM Kentingan

PENYINTAS KANKER TERKEPUNG COVID-19

Hampir satu tahun berlalu sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan di Indonesia. Tepatnya pada 2 Maret 2020, pemerintah mengonfirmasi adanya pasien yang terjangkit virus jenis SARS-CoV-2 di RSPI Dr. Sulianti Saroso, Jakarta. Sejak saat itu,kepanikan terjadi di tengah masyarakat Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan minimnya pengetahuan masyarakat terhadap penanggulangan pandemi. Pemerintah juga dirasa kurang sigap dalam penanganan penyebaran Covid-19 sehingga ketika negara lain telah berhasil mengendalikan penyebarannya, Indonesia masih terus berjuang untuk menekan angka pasien Covid-19 yang beberapa waktu lalu tembus satu juta kasus.

Namun, di tengah energi dan perhatian yang berfokus pada Covid-19, ada ancaman lain yang juga menjadi semakin berbahaya apabila dibiarkan. Salah satu ancaman itu datang dari para pasien dan penyintas kanker. Menurut Yayasan Kanker Indonesia, kanker merupakan istilah yang digunakan untuk penyakit di mana sel-sel abnormal membelah tanpa kontrol dan mampu menyerang jaringan lain.Penyebab utama dari kanker yakni mutasi atau perubahan genetik pada sel makhluk hidup. Mutasi ini menyebabkan sel tersebut tumbuh secara tidak normal dan mengakibatkan jaringan tubuh normal menjadi rusak.

Hingga saat ini, kanker menjadi salah satu penyakit paling berbahaya di dunia. Berdasarkan data statistik kanker pada tahun 2018, sebanyak 8,2 juta kasus kanker baru terjadi di Asia dan 5,2 juta kasus diantaranya berujung pada kematian. Sementara itu, merujuk pada data dari Global Cancer Observatory tahun 2018, angka kejadian penyakit kanker di Indonesia berada pada urutan ke-23 di Asia dan ke-8 di Asia Tenggara dengan perbandingan 136,2 kasus per 100.000 penduduk. Angka tersebut tentu bukanlah angka yang kecil.

Di sisi lain, kasus kanker menjadi lebih berbahaya di kala pandemi seperti sekarang ini. Menurut penelitian yang dilakukan di beberapa negara, para penderita maupun penyintas kanker lebih rentan untuk terkena infeksi virus Covid-19. Hal ini dikarenakan lemahnya sistem imun mereka. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di salah satu institusi di China, tingkat infeksi Covid-19 pada pasien onkologi mencapai 0,79% dibandingkan dengan pasien pada umumnya dengan angka 0,39%. Bahkan menurut sebuah penelitian dalam The Lancet, pasien kanker paru lebih rentan terinfeksi Covid-19. Angka risikonya menunjukkan 25% sampai 38% dibandingkan dengan pasien kanker lainnya.

Dibalik tingginya risiko tertular virus Covid-19, para pasien kanker tentu juga berada dalam dilema tersendiri. Ketakutan mereka terhadap infeksi Covid-19 telah menyebabkan penurunan angka kunjungan pasien kanker ke rumah sakit. Profesor Chng Wee Joo dari National University Cancer Institute Singapore (NICS) memaparkan bahwa terdapat penurunan 9% dalam kunjungan untuk konsultasi pertama dan 30% penurunan konsultasi tindak lanjutan. Penurunan kunjungan konsultasi itu terjadi signifikan pada awal merebaknya pandemi, akan tetapi seiring berjalannya waktu angka-angka tersebut berangsur pulih kembali. Sementara itu, dalam survei terhadap 480 ahli bedah di India, diperkirakan 192.000 pasien kemungkinan mengalami keterlambatan dalam diagnosis kanker secara tepat waktu. Hal ini dikarenakan mereka tidak melakukan kunjungan sebab khawatir terinfeksi Covid-19 ketika mendatangi rumah sakit.

Tidak berhenti disitu, masalah juga datang dari terus bertambahnya angka pasien Covid-19 yang mengakibatkan rumah sakit menjadi penuh. Akibat penuhnya rumah sakit oleh pasien Covid-19, pelayanan pasien penyakit lain pun terganggu. Seperti yang sudah terjadi di Inggris pada awal Januari lalu, Petinggi National Health Service (NHS) sedang mempertimbangkan untuk membatalkan prosedur operasi yang bisa ditunda. Operasi yang bisa ditunda itu adalah operasi prioritas kedua yang biasanya berisi operasi pasien dengan penyakit kanker. Penundaan ini tentu sangat berbahaya karena dapat memberikan waktu bagi kanker untuk terus tumbuh dan menyebar. Bukan tidak mungkin apabila kondisi pasien semakin memburuk selama penundaan, operasi tidak bisa lagi menjadi solusi.

Tanpa bermaksud menyepelekan pentingnya penanganan pandemi, sudah sepatutnya kita tidak menutup mata terhadap masalah lain yang bisa jadi juga terdampak akibat adanya virus Covid-19.Terlebih lagi jika masalah itu menyangkut keberlangsungan hidup seseorang. Seperti yang tercantum dalam pasal 28 H ayat 1 UUD 1945, “setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Maka dari itu, harus ada solusi pasti yang mampu menjamin hak pasien dengan kondisi medis lain untuk tetap mendapat pelayanan kesehatan yang layak.

Penulis: Muhammad Fakhrur Rozzi
Editor: Diana Kurniawati

Muhammad Fakhrur Rozzi
Mahasiswa Desain Komunikasi Visual 2019
fakhrozzi23@gmail.com