Akar-akar pohon bergelambir pada pintu kayu sederhana, dedaunan ditata berserakan di lantai dibatasi batu menandakan jalan. Orang yang semula bergerombol masuk gedung, berjajar satu per satu memasuki lorong di lantai dua menuju Aula Gedung F FKIP UNS. Para penonton disambut perempuan yang berdandan seperti hantu nenek tua, dengan posisi duduk memegang tongkat sambil matanya melotot. Malam itu, panggung mulai menyuguhi sandiwara.
“Ayaahhh…” Suara tangisan Ibu dan Mintarsih disusul teriakan menggema seruangan. Maimun yang mencoba menyusul Ayah didorong oleh Sunarto hingga tersungkur dan terdengar debam suara. Maimun bangkit lagi, “Aku akan panggil Ayahku pulang, Ayahku pulang.” Ia berlari keluar rumah dikejar oleh Narto. Tetapi rumah itu tak menjadi hening, Ibu dan Mintarsih masih menangis bahkan semakin kencang meraung-raung memanggil Ayah.
Ayah tak kunjung pulang, bahkan setelah Narto dan Maimun kembali dengan keadaan basah kuyup membawa topi dan tas yang dibawa Ayahnya saat berkunjung di rumahnya tadi.
Narto menyesali perbuatannya dan menangisi sisa pakaian Ayahnya yang ditemukan di jembatan. Narto berteriak sangat kencang, “Ayahku pulang, Ayahku pulang!” lampu sorot padam, sorak sorai penonton dan tepuk tangan menghiasi ruangan. Pertanda itu hanyalah sebuah sandiwara belaka. Sandiwara tersebut dimainkan dalam Pentas Laborat oleh kelompok Teater Peron FKIP UNS.
Naskah “Ayahku Pulang” bercerita mengenai Ayah yang pergi selama 20 tahun dari rumahnya dan menjadi saudagar kaya raya di negeri sebrang. Sang Ayah tak mempedulikan anak istrinya, hingga suatu saat kembali ke rumah dengan keadaan seperti gelandangan. Tetapi, sang bungsu tak bisa menerima Ayahnya, dan yang terjadi, sang Ayah meninggal setelah terjun bebas ke sungai.
Pentas Laborat diadakan selama dua hari, 20 – 21 Desember 2018. Pada hari pertama, mereka menampilkan pentas musik yang digarap oleh Vicky Bahru Ridwan dan pentas sandiwara “Suamiaji” karya Wahyudi. Pentas yang berjudul “Ayahku Pulang” karya Usmar Ismail tersebut bukanlah akhir dari Pentas Laborat hari kedua ini. Malam itu, dipentaskan pula naskah “Maling” karya Auf Sahid. Berbeda dengan pementasan pertama “Ayahku Pulang” yang bertema drama yang menguras air mata pemain, “Maling” menyuguhkan sandiwara yang humoris, dengan ciri khas pemain lucu dan mengundang gelak tawa penonton.
Maman, salah satu warga Desa Suka makmur sedang santainya makan buah mangga di dipan depan rumahnya. Tiba-tiba ada yang memanggilnya.
“Mas, serahkan bungkusan itu!” Menunjuk bungkus mangga, hasil memetik dari pohon tetangga.
“Siapa sampeyan?”
“Tidak perlu banyak bicara, serahkan!
“Wahhh, jangan. Ini tadi sulit dapatnya, saya tadi harus memanjat pohon lho”
“Heiii, aku tidak mau mendengar curhatanmu, serahkan! Serahkan cepat!”
“Iya, iyaa”
“Ini juga?” menunjukkan bekas mangga yang telah dimakannya.
“Jigong!” setelah mengatakan itu, dia berpaling pergi.
“Heeh, kalau tidak pakai sandal sudah ku uber!” dengan ekspresi kesal, tingkah Maman yang bertemu dengan Si Maling dengan tidak sadarnya. Membuat gedung riuh tawa oleh penonton.
Keanehan sudah mulai dari awal, ketika Si Maling masuk ke dalam rumah Maman dan meninggalkan bungkusan. Tetapi, Si Maling lupa menaruhnya yang kemudian dicarinya bungkusan itu kemana-mana. Sedangkan para warga yang dikepalai oleh Ibu Lurah juga masih mencari Si Maling, hingga ke sudut Desa Suka Makmur.
Ibu Lurah tiba-tiba menghentikan rombongannya untuk mengejar Si Maling. “Heeiii, jangan gegabah berlari dahulu. Dasar orang-orang tak berpendidikan!” sarkasnya kepada warga desa. Ini memungkinkan Ibu Lurah berkonspirasi dengan Si Maling dan dengan Maman. Tetapi, terbukti juga akhirnya. Maman hanyalah seorang warga kecil yang difitnah menjadi seorang maling. Sedangkan sang maling sebenarnya adalah; Ibu Lurah. Ibu Lurah, yang katanya berpendidikan itu dengan murkanya rakus oleh uang rakyat. Bahkan Ia rela menyingkirkan orang-orang yang terlibat olehnya. Si Maling dan Hansip, mati dibunuhnya.
Safira, Ketua Pelaksana Pentas Laborat , menjelaskan bahwa Pentas Laborat merupakan pentas percobaan untuk anggota baru. “Disini kita nyoba hal-hal baru. Misalnya sutradara-sutradaranya juga baru pertama kali nggarap. Yang megang lampu juga, yang pertama kali ngerjain. Intinya semua yang disini anak-anak baru mencoba suatu hal baru. Nggak cuma angkatan awal doang sih.” ujar Safira. Ia menambahkan. “Sebagai bentuk tindak lanjut dari Latsar (latihan dasar) diaplikasikan dalam Pentas Laborat, dari kata laboratorium yang artinya percobaan, itu intinya.”[]
Reporter dan Penulis: Lutfia Nurus Afifah