Reza Rahmawati Fitri/LPM Kentingan

Penolakan Jenazah Penderita Covid-19 dan Media Frenzy

Beberapa waktu lalu, terjadi penolakan terhadap jenazah korban Covid-19 di Indonesia, baik itu pasien, maupun tenaga medis. Seperti  Bukan pada tanggal 9 April 2020, di dekat tempat tinggal saya, daerah Suwakul, Bandarjo, Ungaran Barat jenazah seorang tenaga medis yang meninggal karena positif Covid-19 mengalami penolakan untuk dimakamkan oleh masyarakat setempat. Pada dasarnya penanganan jenazah Covid-19 sudah diatur dengan Surat Edaran (SE) P-002/DJ.III/Hk.00.7/03/2020 Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementrian Agama Republik Indonesia. MUI juga sudah mengeluarkan fatwa MUI No. 18 Tahun 2020 tentang Pedoman Pengurusan Jenazah (Tajhiz al-Jana’iz) Muslim yang Terinfeksi Covid-19. Lalu, mengapa masyarakat masih melakukan penolakan? Salah satu jawabannya mungkin terletak dari seberapa besar informasi yang didapatkan. Peran lembaga pers dan media pemberitaan sebagai penyalur informasi utama di masyarakat, dan peran sosial media di masyarakat dalam memproses berita dan kejadian yang ada.

Lembaga pers selaku penyalur informasi pertama di masyarakat tentu memiliki peran yang besar dalam menyajikan informasi kepada masyarakat. Sebagai saluran pemberitaan utama, lembaga pers dapat berperan dalam memengaruhi, meyakinkan, atau bahkan membentuk opini kepada publik terkait isu-isu dan kejadian di masyarakat. Begitu banyak kanal pemberitaan dan lembaga pers di Indonesia, dimana pada saat seperti ini, mereka akan semakin giat memberitakan segala informasi terkait pandemi Covid-19. Masyarakat tentu dapat memilih media atau lembaga pers yang mana yang menurut mereka aktual, dapat dipercaya, atau bahkan hanya sekedar beritanya bagus, tetapi seringkali masyarakat kurang dalam hal literasi berita, padahal dengan literasi berita, masyarakat mungkin dapat bersikap lebih bijaksana dalam menanggapi situasi yang ada.

Literasi berita adalah suatu aktivitas keterampilan dalam memahami berita, memahami situasi dan kondisi yang terjadi dari informasi yang didapatkan dari berita tersebut, dan akhirnya dapat mengambil sikap dan tindakan dari peristiwa yang ada. Literasi berita tidak hanya membaca berita saja, tetapi juga memandang satu kejadian dari berbagai sudut pandang, karena tidak ada media pemberitaan sempurna yang dapat merekam satu kejadian secara lengkap dan utuh, pasti ada informasi yang terlewat.

Dalam aktivitas listerasi berita, masyarakat akan menghadapi media framing, yaitu bagaimana cara media dalam menyajikan suatu peristiwa, penyajian yang dilakukan dengan menonjolkan bagian tertentu, menekankan pada aspek tertentu, dan membesarkan cara bercerita tertentu dari suatu realitas. Framing lebih menekankan pada bagimana cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus atau peristiwa yang diberitakan, peristiwa yang sama bisa saja dibingkai berbeda oleh media. Setiap framing biasanya mengandung maksud tertentu dari lembaga media pemberitaan, pada zaman sekarang ini, bisa dikatakan sulit sekali menemukan media pemberitaan yang benar-benar netral, objektif, dan tidak mengandung framing.

Media sosial juga berperan dalam mebentuk opini masyarakat terkait situasi Covid-19. Beberapa masyarakat mungkin enggan membaca atau melihat berita dari sumber-sumber berita resmi, mereka jauh lebih memercayai sumber-sumber berita yang tersebar di media sosial,        pesan, ataupun cerita dari rekannya. Hal ini mengakibatkan rantai pesan dari sumber berita ke pembaca atau pendengar berita menjadi semakin panjang. Satu hal yang mungkin kita tau, semakin panjang rantai berita ini terbentang, maka semakin mudah isi substansi dan pesan dari berita itu dapat melenceng atau bahkan sengaja diubah dari fakta sebenarnya. Akses media sosial juga semakin mudah dengan adanya gawai, laptop, dan internet, sehingga masyarakat juga rentan akan  akses terhadap informasi dan berita yang melenceng, belum lagi situasi seperti sering kali dimanfaatkan oleh oknum  tertentu untuk membuat dan menyebarkan berita bohong atau hoaks ditengah masyarakat.

Berbagai macam sumber berita dan informasi dari media resmi maupun media sosial turut membentuk persepsi masyarakat tentang mengenai Covid-19. Dengan adanya penolakan jenazah pasien positif Covid-19, dapat dipastikan bahwa sebagian masyarakat memiliki persepsi buruk akan hal tersebut. Sehingga apapun yang berkaitan dengan Covid-19 seperti penderita Covid-19, tenaga medis, jenazah penderita Covid-19, ODP maupun PDP, semuanya sudah otomatis mendapat image yang buruk di masyarakat.  Covid-19 seolah-olah menjadi suatu momok besar yang mengerikan, berbahaya, dan tidak bisa di tangani. Padahal, dengan protokol kesehatan yang ketat, dan penanganan tepat, prosesi penguburan jenazah korban Covid-19 dapat dilakukan tanpa membahayakan siapapun.

Berbagai sumber berita beserta pemahaman masyarakat, turut membentuk suatu kondisi media frenzy. Terminology media frenzy atau media circus merujuk pada liputan media dalam proporsi yang diluar kelaziman terutama dalam hal pengerahan sumber daya, volume berita yang disiarkan, dan suasana yang terbentuk sebagai dampak dari pemberitaan itu. Media frenzy memang tidak dibuat secara sengaja oleh satu pihak tertentu, tetapi hal tersebut terjadi secara perlahan. Memang tidak banyak media pemberitaan, pers, atau pihak resmi manapun yang secara sengaja menutupi, mendistorsi, atau melebih-lebihkan berita dan informasi terkait kondisi Covid-19 saat ini, tetapi itu semua terjadi secara tidak sengaja ditengah masyarakat. Perpaduan berbagai faktor seperti media framing, literasi berita yang lemah, miss-informasi karena rantai persebaran arus melalui media sosial, dan bahkan berita hoaks yang secara sengaja disebar untuk membentuk kekacauan di masyarakat, dapat mendukung terbentuknya media frenzy. Hal tersebut kemudian tak terelakkan untuk terjadi dan membentuk persepsi buruk masyarakat akan situasi pandemic Covid-19, sehingga berujung terjadinya penolakan jenazah-jenazah korban Covid-19.

Pada dasarnya, penolakan jenazah Covid-19 adalah suatu sikap yang salah, karena setiap manusia yang meninggal memerlukan tempat peristirahatan terakhir yang layak. Jenazah Covid-19 tidak dapat menularkan pandemi secara langsung. Dengan penanganan ketat sesuai protokol kesehatan yang sudah ditetapkan, penguburan jenazah Covid-19 dapat dilakukan dengan aman. Waspada dan hati-hati akan pandemi Covid-19 memang perlu, tetapi jangan sampai kita berlebihan dalam menyikapinya. Bijaksana dan berhati-hati dalam penggunaan media sosial dan informasi adalah kunci kita untuk lebih cerdas menyikapi Covid-19 di era digital seperti ini. Informasi dan berita sudah terbentang panjang di media pemberitaan resmi, maka janganlah kita membuat keruh  situasi dengan menebar kebencian dan kebohongan.[]

Marsa Al HananSifa'i
Mahasiswa UNS, surel marsasifai25@gmail.com