
Menurut hasil riset Anugerah Rizki Akbari, pengajar Hukum Pidana di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, sepanjang tahun 1998-2014 Indonesia menerbitkan 156 undang-undang, dan 112 di antaranya memiliki ketentuan pidana. Pada tahun 2019, DPR RI berusaha untuk meningkatkan angka ini dengan disusunnya Revisi KUHP. Pasal-pasal yang ada di dalamnya menuai protes dari berbagai kalangan. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengintip siapa saja yang DPR anggap pantas disebut sebagai kriminal, mengacu kepada isi pasal-pasal tersebut.
Salah satu pasal kontroversial yang kerap dibicarakan adalah pasal 218 ayat 1 mengenai penghinaan presiden/wakil presiden. Pasal ini berisi ancaman pidana bagi mereka yang menyerang kehormatan atau harkat dan markabat diri presiden/wakil presiden RI. Hal ini menuai protes karena potensinya untuk dipakai sebagai alasan mengebiri kebebasan berekspresi rakyat. Di satu sisi, penulis mengerti bahwa ada niat baik dari DPR untuk menjaga kedaulatan Indonesia beserta pemerintahannya. Gejolak gerakan separatisme di daerah Indonesia timur juga mengingatkan kita bahwa keutuhan NKRI perlu dipertahankan dan upaya-upaya mendiskreditkan pemerintahan yang sah perlu ditindak. Lagipula, ayat 2 pasal itu menjamin bahwa perbuatan untuk kepentingan umum dan pembelaan diri tidak termasuk menyerang kehormatan.
Namun di sisi lain, kita tidak dapat memungkiri kemungkinan terjadinya penyalahgunaan undang-undang. Skeptisme masyarakat tentunya adalah hal yang wajar, mengingat belum genap 22 tahun yang lalu sejak rezim otoriter presiden Soeharto ditumbangkan. Kemungkinan terulangnya pembungkaman khas orde baru menjadi alasan yang cukup untuk mempertimbangkan kembali isi pasal tersebut. Terlebih lagi, pasal hampir serupa pernah dihapus oleh Mahkamah konstitusi pada tahun 2006. Ini berarti DPR bermaksud untuk men-kriminalisasi perbuatan yang sebelumnya sudah di dekriminalisasi. Sepenting itu kah permasalahan ini sampai perlu berkompromi dengan demokrasi? Toh Bapak presiden incumbent saja tidak setuju dengan pasal penghinaan presiden di RKUHP.
Kontroversi di atas hanya merupakan satu dari sekian pasal bermasalah di RKUHP susunan DPR RI. Beberapa di antaranya yaitu :
- pasal 432 tentang pengenaan denda untuk gelandangan yang menganggu ketertiban umum di jalan/tempat umum.
- pasal 417 tentang ancaman pidana bagi seluruh pelaku persetubuhan di luar nikah.
- pasal 340 tentang pidana bagi orang yang tidak mencegah hewan peliharaannya menyerang orang/hewan lain.
Pasal-pasal ini disertai dengan kritik masing-masing. Namun, pokok permasalahan yang diusung oleh rakyat umumnya ada dua, yaitu materi pasal yang dirasa ikut campur secara berlebihan dalam kehidupan pribadi rakyat dan kemungkinan penyalahgunaan undang-undang akibat ambiguitas dalam penafsiran seperti yang telah disebutkan di atas. Bagaimanapun, Usaha penyusuhan undang-undang pidana semestinya mengarah kepada penegakan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dalam kasus ini, penulis menganggap isi RKUHP hanya berupa kriminalisasi yang tidak perlu.
Yah, setelah ditundanya pengesahan RKUHP pada periode kepengurusan DPR tahun ini, kita sebagai rakyat yang “diwakilkan” harus terus menyuarakan aspirasi. Jangan sampai di periode berikutnya mereka makin haus darah. Bisa jadi tidak hanya gelandangan atau peternak saja yang jadi kriminal, melainkan juga hewan ternaknya itu sendiri. Apakah kalian tega melihat ayam tetangga di bui?[]
Ilustrasi: Abi Rizki Alviandri
Penulis: Abi Rizki Alviandri