Foto: Hasna Farrosah Diwany/ LPM Kentingan

Pementasan Rembulan Wungu Angkat Kisah Tragis Putri Kerajaan

Seluruh panitia yang terlibat dalam pementasan Rembulan Wungu. Foto: Hasna Farrosah Diwany

Jumat (9/12) lalu, Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa UNS berhasil menyelenggarakan gelar seni yang bertajuk “Rembulan Wungu”. Gelar seni ini sendiri adalah gelar seni ke-10 yang diadakan secara tahunan oleh prodi ini. Namun, khusus untuk tahun 2022 gelar seni diadakan secara dua kali karena di tahun sebelumnya terhalang oleh pandemi oleh angkatan 2019 dan 2020. Total talent, yang berasal dari angkatan 2021 dan 2022, dan panitia, dari angkatan 2020, yang terlibat terdiri dari 140-an orang. 

Amangkurat I. Foto: Hasna Farrosah Diwany

Gelar Seni Rembulan Wungu diadakan di Teater Arena Budaya Jawa Tengah. Acara dimulai pada pukul 19.00 WIB yang diawali dengan uyon-uyon selama 30 menit. Selanjutnya, terdapat pertunjukan Tari Gambyong oleh empat orang. Tari Gambyong sendiri adalah tari tradisional yang berasal dari daerah Surakarta sebagai bentuk penyambutan. Setelah itu, terdapat sesi menyanyikan lagu Indonesia Raya secara bersama-sama dan mars dari prodi Pendidikan Bahasa Jawa oleh pengrawit yang diiringi alat musik tradisional. Sambutan pun diberikan dari pimpinan produksi gelar seni dan Kepala Program Studi Pendidikan Bahasa Jawa. Berikutnya, acara inti yakni pertunjukan teater yang diawali dengan pembacaan sinopsis dalam bahasa Indonesia. Teater pun ditampilkan dalam bahasa Jawa sepenuhnya. Gelar seni ini berakhir pada 21.55 WIB dengan sesi foto bersama para tamu undangan, talent, dan panitia.

Detail kostum yang digunakan sangat memanjakan mata. Foto: Hasna Farrosah Diwany

Cerita dimulai dengan monolog Amangkurat I yang sedih karena ditinggal mati belahan jiwanya. Setelah itu, cerita mulai memasuki ke pengenalan Roro Oyi dan keluarganya serta impian Roro Oyi yang ingin datang ke Mataram. Impiannya ini terwujud dengan ajakan dari utusan Amangkurat I yang tidak menyampaikan maksud aslinya, yakni untuk melamar Roro Oyi. Latar pun berganti ke Amangkurat I yang ingin membangun bendungan namun ditentang oleh Pangeran Pekik dan Ratu Wandan selaku penasihat. Roro Oyi yang baru tahu maksud asli ajakan ke Mataram tersebut langsung tidak terima dan ingin kabur, namun dia sudah ditahan di istana. Berikutnya, Roro Oyi bertemu Pangeran Adipati Anom yang jatuh hati pada Roro Oyi tanpa mengetahui fakta bahwa Roro Oyi ingin dinikahi ayahnya. Latar kembali berganti ke Pangeran Pekik dan Ratu Wandan yang ingin mendukung Pangeran Adipati Anom sebagai raja karena Amangkurat I yang tidak memikirkan kondisi rakyat karena memaksa membangun bendungan. Mengetahui hal ini, Amangkurat I murka dan menyuruh Pangeran Adipati Anom untuk memilih gelarnya sebagai pangeran atau Roro Oyi. Akhirnya, Roro Oyi membunuh dirinya sendiri dengan pedang milik Pangeran Adipati Anom.

Roro Oyi dan Pangeran Adipati Anom. Foto: Hasna Farrosah Diwany

Pimpinan Produksi, Sita Nuraseh, menyatakan bahwa pemilihan Rembulan Wungu sebagai novel karya Bondan Nusantara yang diadaptasi berdasar pada topik feminisme yang ada di dalamnya. Pesan yang ingin disampaikan pun juga berupa perjuangan Roro Oyi yang mengambil keputusan besar untuk menghindari perpecahan Mataram. Hal inilah yang membedakan Gelar Seni Rembulan Wungu dengan yang lain dan juga menjadi tantangan tersendiri untuk panitia karena umumnya mengangkat kisah Amangkurat I dan Adipati Anom. Persiapan penampilan gelar seni ini selama lima bulan, yakni dari bulan Agustus sampai Desember, termasuk penyaduran ke dalam bahasa Jawa oleh tim panitia.

Roro Oyi yang memilih mengambil nyawanya sendiri untuk menghindari perpecahan Mataram. Foto: Hasna Farrosah Diwany

Penulis: Nadya Isa dan Hasna Farrosah Diwany

Foto: Hasna Farrosah Diwany

Editor: Sabila Soraya Dewi