Pertandingan antara Persija dan Bhayangkara FC yang berlangsung beberapa waktu lalu menyuguhkan salah satu pertandingan menarik. Pemain Persija, Abdullah Yusuf Helal tiba-tiba menendang bola ke udara, alih-alih mengarahkannya ke rekan setimnya. Uniknya, reaksi yang selanjutnya datang dari pemain tim nasional Bahrain itu bukanlah kekecewaan, melainkan justru kemarahan. Lebih uniknya lagi, kemarahan itu bukan kepada pemain lain ataupun dirinya, tetapi kepada rumput lapangan stadion Wibawa Mukti.
Banyak orang yang kemudian menjadikan momen tersebut sebagai bahan tertawaan, beberapa mungkin memiliki reaksi yang berbeda. Saya sendiri akhirnya lebih merasa prihatin kepada nasib pemain timnas Bahrain eks Slavia Praha itu. Kasihan sekali bahwa ia harus ikut merasakan fasilitas dan ekosistem Liga 1 yang buruknya nauzubillah ini.
Rasa prihatin ini memang kemudian lebih banyak saya alokasikan perhatiannya kepada legiun asing anyar Persija; Ondrej Kudela, Michael Krmencik, Hanno Behrens, dan Abdullah Yusuf Helal. Sebab keempatnya merupakan pemain yang telah lama malang melintang di Eropa dan memiliki grade A untuk sekelas liga dari negara dengan ranking FIFA di angka 151. Kehadiran mereka sebetulnya juga membawa secercah harapan akan ikut naiknya level permainan Persija dan turut berimbas pada tim lain di liga 1 untuk ikut terpacu membenahi permainan. Namun ya apa boleh buat, justru keempat pemain ini malah berakhir harus tunduk kepada “cara main” liga Indonesia.
Dengan realitas yang demikian ya, saran saya kepada para pemain yang lama di Eropa untuk mikir-mikir dulu deh sebelum memutuskan mendermakan karir persepakbolaanya di Negeri ini. Sebab ada berbagai problema dalam liga sepak bola di negara pertiwi bernama Indonesia ini.
Coba saya uraikan satu-persatu seingat saya.
Fasilitas yang Kureng
Pertama dan yang telah kalian baca adalah perihal fasilitas. Sebenarnya tak dapat dipungkiri kalau perlahan memang ada peningkatan bagi berbagai infrastruktur penunjang aktivitas persepakbolaan di negeri ini, tapi progresnya lambat betul macam siput ketika disuruh lomba lari. Beberapa klub yang berlaga di laga 1 masih tak memiliki training ground, sejumlah stadion yang masih belum memiliki single seat, hingga rumput lapangan amburadul yang telah saya singgung sebelumnya.
Masalah fasilitas ini bukan cuman soal gaya-gayaan saja lho ya. Jalannya skema pertandingan jelas bakal terganggu dengan rumput yang hobi memantulkan arah bola kesana kemari dan tertawa. Pun kesehatan pemain juga dipertaruhkan ketika mereka harus berkali-kali bermain dengan intensitas tinggi di atas permukaan lapangan yang tidak rata. Kehadiran training ground juga dapat lebih memastikan waktu latihan secara rutin, dibandingkan harus izin memakai stadion atau lapangan ini itu yang kondisinya bisa saja kurang ideal.
Gaya Main Indonesia yang Khas
Kedua adalah soal gaya bermain liga Indonesia yang kadang-kadang diklaim lebih banyak gerak dan harus ngotot daripada posang-pasing. Aduduh, ini mah tak ubahnya seperti mencoba membenarkan tindakan buruk karena memang sudah lumrahnya demikian. Padahal gaya bermain yang demikian itu sudah berkali-kali dikritik oleh para pemain yang telah mencicipi atmosfer liga luar dengan beragam sebutan seperti “kebanyakan lari”, “crossing dan insyaallah”, “kasar”, “grusak-grusuk”, dan lain-lain.
Efeknya kembali lagi ke para pemain Eropa itu. Peter Odemwingie yang pernah bermain di Stoke City itu bahkan sampai trauma dengan gaya permainan liga kita yang cenderung kasar. Hanno Behrens yang lebih jago bermain dengan skema umpan pun akhirnya kian susah beradaptasi, bahkan parahnya cacian (untuk lebih banyak lari) kepada pemain berdarah Jerman itu banyak berasal dari kalangan suporter sendiri. Bah, sudah pemain mau-mau aja kebanyakan lari, suporter pun mendukung juga.
Lagipula, kalau memang gaya bermain seperti itu sudah sakral dan sama baiknya dengan permainan ala Eropa, kenapa kita selalu kalah dan terbantai ketika klub Eropa mengadakan uji coba dengan klub lokal? Apakah iya karena faktor perbedaan kultur sepak bola atau pemain kita yang sebenarnya memiliki teknik dan visi tak becus sehingga tak mampu memainkan skema bermain yang cantik?
Wasit yang Gak Guna
Ketiga, seperangkat wasit beserta alat pendukungnya di Liga 1 itu masih belum memadai. Memang yang namanya wasit juga manusia, tempatnya salah dan lupa, tapi taraf kesalahan wasit Indonesia jelas berada di level yang memprihatinkan. Sebut saja balada through pass yang di-offside-kan dan sebaliknya yang masih sering terjadi hingga sekarang. Kualitas yang hancur itu pun seolah sulit untuk diperbaiki lagi karena penggunaan perangkat macam VAR atau goal line technology yang dirasa masih terlalu mahal. Kehadiran wasit tambahan di samping gawang juga nggak ada bedanya dengan orang-orangan sawah, diem dan cuman plonga-plongo.
Masalah wasit ini selain menjengkelkan bagi para penonton (utamanya dari tim yang dirugikan), juga sedikit banyak ikut memengaruhi gaya bermain di liga Indonesia. Momen-momen through pass yang kerap diputuskan sebagai offside dapat berpotensi membuat chance creation dari momen-momen oper ke belakang pertahanan lawan kian berkurang dan pelanggaran-pelanggaran keras yang hanya diganjar sebuah peringatan jelas akan membuat pemain lebih beringas untuk melakukan pelanggaran ganas. Contoh kedua ini juga perlu dipertimbangkan baik-baik bagi para pemain Eropa kalau Anda masih ingin hidup lebih lama.
Siaran Pertandingan Buruk
Keempat adalah masalah kualitas siaran yang buruknya minta ampun. Bila menonton liga Indonesia, teman-teman akan menjumpai tayangan yang menunjukkan pertandingan sepak bola dengan cuaca berkabut yang suram. Tenang kawan-kawan, itu bukan asap pekat tanda-tanda kiamat kubro, bukan pula pertanda invasi alien dari dimensi lain maupun kedatangan kota ilusi bernama Silent Hill. Semburat putih itu aslinya tidak ada di dunia nyata dan yang nampak di layar TV itu ya memang karena siarannya yang pancen koyo telek.
Buruknya kualitas tayangan Liga 1 ini juga menimbulkan tanda tanya. Sebab biang keladi dari permasalahan ini cenderung sulit dikenali. Di satu sisi, kita bisa menyalahkan Indosiar yang memang secara kualitas tayangan biasanya saja tak sebagus kanal TV lain sejak dulu. Maka seharusnya kalau tayangannya jelek ya ga usah ditanya lagi. Tapi toh, Emtek ini kan hanya broadcaster yang menerima saja, bukankah PT Karya Kreasi Bangsa selaku pihak pengambil gambar yang sepatutnya dipermasalahkan? Lah, tapi konon katanya yang nonton di Vidio lebih jernih tuh? Wah, mberuh lah. Mumet.
Entah mana yang salah, tetap saja intinya bahwa tayangan Liga 1 sekarang ini memang jelek betul. Bahkan NET yang menayangkan Piala Sudirman saja bisa jauh lebih jernih, padahal itu lima tahun yang silam! Selain itu nih ya, hasil siaran Liga 1 itu kalau sudah di-repost di instagram biasanya hasilnya langsung 8 bit macam EpEp. Tidak kasihan apa dengan para pemain yang mau unjuk kebolehan mereka di lapangan lewat media sosial, eh ternyata malah yang nonton gak bisa lihat apa-apa.
Suporter yang Cinta Berlebihan
Kelima nih, walau merupakan faktor yang agak eksternal, tapi ada pada suporternya. Ya, suporter di Indonesia memang tampil fantastis, bombastis, dan totalitas abis; kita perlu akui itu kok. Namun, karena saking fanatiknya, mereka justru mampu bertindak di luar nalar, coy. Hingga sekarang, walaupun katanya berkali-kali mau berbenah, kasus kerusuhan suporter itu masih sering terjadi. Ketika tulisan ini dibuat, kasus paling baru adalah kejadian penyerangan bus Persis Solo oleh (diduga) suporter Persita Tanggerang.
Belum lagi netizennya, walaah. Semisal Anda adalah pemain sepak bola di Indonesia yang baru mau main medsos, saya sarankan buat siapkan pantat yang tebal kalau mau aktif di media sosial. Sebab bakal muncul ribuan kritikan (baca: hinaan) dari akun-akun yang Anda sendiri tidak pernah lihat sebelumnya. Walau katanya kritik itu tanda perhatian, tapi perhatian ini seringkali jatuhnya terlalu over lho, wong sudah banyak kasus ketika keluarga pemain sampai diancam.
Pada akhirnya, saya anjurkan kepada para pemain yang telah lama menjajal atmosfer sepak bola dambaan di benua biru bahwa kalau ada tawaran untuk main di liga Indonesia, sebesar apa pun itu, lebih baik dipertimbangkan matang-matang dulu, deh. Lima poin di atas adalah himbauan pribadi dari saya, orang Indonesia yang ori dan riil no fek-fek.
Ya, kalau Anda sudah kadung termakan bujuk rayu oleh agen yang mengatakan bahwa Indonesia itu ramah, Indonesia itu murah, Indonesia itu bagian dari Bali; ya saya ucapkan gudlak dan semoga beruntung karena liga kami aslinya tak seindah mulut lamis manajemen klub maupun youtuber reaction “saya suka nasi goreng”.
Penulis: Atif Kasful Haq
Editor: Wahyu Lusi lestari