Masih membahas UKT dimana satu topik ini memang selalu hangat dan masif perhatian untuk diperbincangkan tiap tahunnya. Seperti tidak pernah usai permasalahannya, apalagi terkait kebijakan penurunan UKT di kalangan mahasiswa yang selalu digaung-gaungkan. Tak terkecuali para mahasiswa tingkat akhir yang paling bersemangat mengeluhkannya –sepertinya karena sudah kebasahan dengan tanggung jawab hidup setelahnya–.
Universitas Sebelas Maret atau biasa disebut dengan UNS telah menyepakati dan menerapkan sistem UKT (Uang Kuliah Tunggal) berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No 25 tahun 2020 tentang Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi pada PTN di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Penentuan besaran UKT juga berdasarkan kemampuan atau keadaan ekonomi setiap mahasiswa. Misalnya saja, saat registrasi mahasiswa baru diminta untuk mengunggah berkas seperti mengunggah Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM), biaya telepon, biaya listrik, biaya air, gaji orang tua, dan sebagainya. Berkas-berkas tersebut sebagai bukti lain agar alat estimasi penentuan UKT mahasiswa menjadi tepat,” tanggapan Rektor UNS, Prof Jamal ketika menjadi Narasumber acara Business Talk dengan judul “Pendidikan Tinggi untuk Si Miskin” (Kompas TV. Jan 26, 2023).
Instruksi Mendikbud terhalang Keperluan Kampus
Ironisnya program yang telah digadang oleh kemendikbud demi memberikan kesempatan kepada khalayak umum untuk tetap dapat enjoy kuliah ini, justru membuka peluang kepada PTN-BH seperti halnya Universitas Negeri Safari untuk mengkomersialisasikan perguruan tinggi lewat UKT maupun SPI. Hal ini dikarenakan pada realisasi yang terjadi, penentuan UKT pada mahasiswa baru sering kali tidak tepat 100% dan berujung membuat mereka menjadi pejuang kebijakan penurunan UKT.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mahasiswa yang masih mengeluhkan golongan UKT yang didapat terlalu tinggi. Seperti yang kita ingat Juni lalu secara besar-besaran, massa yang dipimpin oleh bem se-UNS melakukan aksi “Jenguk Rektorat”. Beberapa poin tuntutannya juga terkait UKT, seperti menuntut UNS untuk mempublikasikan transparansi penggolongan dan pengelolaan UKT serta menjamin pemberian penggolongan UKT yang sesuai dengan kemampuan ekonomi mahasiswanya; menuntut UNS untuk mengembalikan komponen kebijakan biaya jaket almamater bagi mahasiswa baru sudah termasuk dalam UKT karena dinilai melanggar Permenristekdikti Nomor 39 Tahun 2017; menuntut serta mendesak pihak kampus untuk melakukan perbaikan sekaligus peningkatan kualitas layanan kemahasiswaan dan pengadaan sarana prasarana yang masih dalam taraf rendah, serta memberikan kemudahan dalam pelayanan birokrasi kampus. Point tuntutan tersebut masih berputar di tempat yang sama bernama UKT. Bisa disimpulkan dari adanya kegiatan aksi tersebut, semua dilatarbelakangi oleh kekecewaan para mahasiswa terhadap UKT yang diterimanya.
Sialnya, aksi tersebut kini hanya menyisakan keringat, rektorat menolak untuk menandatangani nota kesepahaman. Tuntutan yang ditindaklanjuti justru bukan poin-poin terkait kebijakan UKT yang sebenarnya sudah jadi problema yang menjamur tiap semesternya dan perlu perhatian khusus.
Padahal seperti yang kita ketahui bersama, kementerian juga telah memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk mengajukan keringanan UKT atau penundaan UKT. Keringanan UKT dapat berupa penurunan sekian persen dari UKT normal, penurunan grade UKT, atau pembebasan UKT. Dengan demikian, ini adalah cara-cara untuk memastikan akses pendidikan khususnya terkait dengan besarnya UKT tidak membebani. Bahkan jika UKT mahasiswa dikatakan masih membebani, dengan bukti yang cukup, UKT mahasiswa tersebut dapat berubah atau dikurangi.
Sudah Terealisasikan Kah Kebijakan Keringanan UKT ini?
Di UNS sendiri sebenarnya praktik pengajuan keringan UKT sudah terlaksana secara masif tiap awal semesternya. Sering kali jarkoman dari BEM masing-masing fakultas terkait UKT ini nangkring di grup angkatan. Isinya pun cukup informatif, dari jenis pengajuan keringanan atau pembebasan bayar UKT yang bisa diajukan; ketentuan-ketentuan khusus sebagai syarat pengajuan; berkas apa saja yang dibutuhkan; sampai dengan alur dan batas waktu pengajuan.
“Pernah mengajukan penurunan UKT di awal tahun masuk UNS, tidak sulit sebenarnya yang penting dapet berkas dari kepala desa, biasanya kendalanya di desa ini yang dipersulit,” aku Dadang, salah satu mahasiswa tingkat akhir FKIP.
Selain keberhasilannya dalam mengajukan penurunan grade yang semula golongan V sekitar 7jt menjadi golongan III dengan biaya 3,5jt, Dadang juga mengaku kecewa dengan sistem pembagian UKT yang terlalu besar.
“… kekurangannya (sistem pembagian UKT) kenapa nominal UKT yang diberikan gede banget, memang benar bapak saya pensiunan tapi kenapa dianggap sama rata dengan golongan pns yang lain. Misal golongan II B dengan II C, tetep disamakan UKT-nya kan nggak fair,”
Kekecewaaan serupa juga diungkapkan oleh Kharomah, sesama mahasiswa tingkat akhir FKIP yang sudah gagal beberapa kali mengajukan penurunan UKT, “Kerap mengajukan penurunan UKT, dua semester ngurus penurunan UKT ditolak padahal waktu pengumpulan berkas juga nggak sebentar. Waktu pengumuman diterima atau ditolak juga terlalu mepet dengan batas pembayaran UKT, kan jadi bingung lagi nyari uangnya, ya udah semester berikutnya ambil penundaan pembayaran UKT.”
Kharomah menyadari ditolaknya penurunan UKT miliknya dikarenakan status sang bapak yang berprofesi sebagai PNS. Namun, Kharomah juga mengaku kecewa lantaran pihak UNS yang terkesan menutup mata dengan tanggungan keluarga dan menganggap bahwa PNS sudah lebih dari sejahtera sehingga UKT yang dibebankan terbilang tinggi.
“Sempet berharap akan diterima pengajuan penurunan UKT-nya karena tahun itu juga dari keluarga sedang banyak trouble dan bapak sendiri sedang sakit. Ternyata hanya harap menangkap angin.”
Hal seperti inilah yang memutuskan harapan mahasiswa dalam mencari peluang penurunan biaya kuliah. Stigma penghasilan PNS –guru– yang kemudian berimbas pada penggolongan UKT tinggi, syarat terpenuhinya penurunan UKT yang seakan tidak tersentuh oleh mereka anak-anak wirausahawan atau abdi negeri yang sedang mengalami kendala ekonomi. Bukankah pada dasarnya UKT bukan harga mati, dapat berubah sesuai dengan kondisi perekonomian mahasiswa dan wali?
Penundaan UKT, alibi kampuskah?
Kebijakan Penundaan UKT yang ditawarkan oleh UNS yang sempat disinggung dan menjadi alternatif mahasiswa yang sedang terkendala, seakan-akan menjadi angin segar untuk mahasiswa yang sedang kesulitan memenuhi pembayaran UKT. Sebenarnya perlukah kita curiga kebijakan ini digunakan untuk menghindari meningkatnya mahasiswa cuti sehingga mengakibatkan ketidakstabilan keuangan kampus?
Penulis: Andriana Sulistiyowati
Editor: Julia Tri Kusumawati