Tuan Pade merujuk disamping asap peti kapal cantrang
Talinya saling bertaruh melingkar pada nadi gelanggang kapal
Dihadapan kolong langit yang saling tawar berpergian
Sayatan angin pun kian menggempur pandangan
Ditengoklah kemudian patahan air yang berselisih ngilu itu
Mengombak bergulung pada seperempat siang
Menderu di periuk jangkar yang diketam
Jantungnya dirajah puteri kota lama
Rautnya mampu dikarang fakir dipinggir dagangan biaperi
Yang menjarah diantara dua dagu
Termenung ia sesaat
menawarkan sunyi dalam sekejab
Ditengoknya kembali lambaian pohon kelapa yang tak lagi segar
Layar tak terpahat itu memikat pintalan stempel waktu yang patah
Mengapa tak diteguk dari tembikar musababnya?
Mengapa tak mendayung dan memecah ombak yang sedang berlarian?
Untung kau tahu,
Tuan Pade malang menimpa ilusi yang meradang
Terjerembab dibelakang jala-jala pukat bulan
Tak sanggup juga ia menyisir musabab hatinya yang terkoyak
Perkara ilusi cinta diubun-ubun yang setampuk pinang
Untung melambung jua dirundung malang
Si puteri tak jua mengulur pucuk muka untuk dicita
Merengkuh dayung
Menitih buih tuk sampaikan kabar semanis jarahan
Siapakah yang datang?
Air cucuran diteluk timbunan kapal?
Ah, kau ini membangunkan ingatan sang tuan
Usaplah hujan dilesung
Pabila datangnya surat tak terbalas, tak mengapa
Kilatan halilintar pun kian berkedip menyayat hati sang tuan
Datang membawa rengkuhan kabar pada anak Adam
Bahwa cinta tak harus berbalik dapat balasan
Karena yang terlupakan pun masih dihargai
meski lebih sakit dari anak panah yang menyarang.