Pacaran Bikin Galau

Pernah suatu hari saya merenungi nasib saya yang jomblo seumur hidup. Entah karena kurang cantik atau karena memang saya sendiri yang dari sudut pandang orang lain menutup diri untuk berpacaran. Entahlah! Saya adalah bunga. Tapi bukan bunga yang bisa dihinggapi sembarangan serangga untuk diambil nektarnya.

Dalam kesepian itu saya berpikir untuk menanyakan hal serupa kepada sahabat saya yang arif. Dia berkata dengan lemah lembut bahwa dia tidak akan pacaran sebelum menikah. Ia ingin memberikan yang terbaik untuk kelak suaminya nanti.

Saya setuju. Seharusnya seorang wanita memberikan yang terbaik kepada kelak suaminya nanti. Kalau bisa kita adalah yang pertama dan yang terakhir. Tetapi dalam kesetujuan saya itu saya bertanya, bagaimana kita bisa menemukan orang yang tepat kalau kita hanya diam mengurung diri? Bukankah berlian akan ditemukan penambang saat ia memancarkan kemilaunya walau hanya setitik?

Keingintahuan saya berlanjut dan terus memuncak dan tak bisa terbendung. Lantas saya bertemu segolongan arif lain di tempat yang berbeda. Mereka lemah lembut di luar tetapi tertawa keras di dalam, namun bukan itu yang menjadi masalah. Mereka hanya berteriak di segolongan mereka, tetapi di golongan yang  lain mereka menjaga harkatnya sebagai seorang wanita muslimah.

Dengan arif mereka mengungkapkan pacaran dengan perbuatan zina. Zina berupa zina mata, zina telinga, zina pikiran, dan zina lainnya. Menurut mereka tak ada istilah pacaran sehat. Yang sehat itu adalah makanan bergizi. Entah seperti apa bentuk dan sebutannya pacaran tetaplah hubungan antara pria dan wanita. Dan tak jarang berawal dari tatapan mata, muncul hasrat lebih untuk memiliki.

Manusia memang diberi keistimewaan untuk menyayangi sesama manusia termasuk juga mencintai lawan jenis. Itu hal yang wajar. Hanya saja bagaimana kita mengungkapkan rasa sayang itu yang mungkin setiap orang berbeda pandangan.

Dalam kitab suci pun diungkapkan bahwa manusia jangan pernah mendekati zina, karena zina adalah perbuatan yang sangat keji. Dalam kacamata agama pacaran tidak pernah sekalipun dihalalkan. Tak ada satu pun ayat dalam kitab suci yang menyinggung keafsahan pacaran. Dan pertanyaan saya berlanjut pada alasan mengapa larangan itu masih dilanggar jua.

Pacaran dalam perspektif mahasiswa pada umumnya terjadi karena pembiaran oleh lingkungan. Pada awalnya pacaran hanyalah budaya dari barat. Mereka mengungkapkan perasaan mereka dengan ikatan pacaran. Lingkungan yang mulai terbiasa dan menganggap biasa budaya itu membuat pacaran seakan halal. Tiada yang menyalahkan karena budaya pacaran telah ada bahkan sebelum dia lahir karena pacaran biasanya dibawa oleh orang tua mereka.

Pertanyaan pun berlanjut kepada bagaimana saat kita menaruh hati pada lawan jenis. Kita harus berbuat apa agar tetap menjaga diri? Seorang arif berkata bahwa seorang wanita pada khususnya harus menjaga dirinya untuk tidak menunjukkan perasaan yang ia rasakan kepada lawan jenis. Bahkan untuk mengimajinasikan diri lawan jenis pun tidak boleh sekalipun terlintas di pikiran. Jodoh kita takkan pernah tertukar. Tuhan telah mengatur manusia secara berpasang-pasangan.

Dan jodoh itu terbagi lagi menjadi dua yaitu jodoh dunia dan jodoh akhirat. Apabila kita dipertemukan oleh orang yang salah selama di dunia, maka ia kelak akan bertemu dengan jodoh akhiratnya nanti. Dan seorang arif yang lain mengatakan bahwa pacaran atau yang-yangan hanyalah sebuah permainan, tak pernah ada cinta sesungguhnya. Saya sendiri juga tidak begitu paham apa itu cinta. Menurutnya lebih baik hanya sekadar “kakak beradik” tetapi ada secercah keseriusan.

Masih ingatkah kalian kisah cinta Fatimah putri baginda Rasul dengan Ali? Fatimah tak sekalipun menunjukkan bahwa dirinya menyukai Ali. Ali pun tak percaya diri untuk mengungkapkan perasaannya. Sampai suatu ketika Ali memberanikan diri untuk melamar Fatimah, dan diterima. Setelah menikah Ali iseng bertanya kepada Fatimah siapakah gerangan lelaki yang ia cintai. Dan jawaban Fatimah adalah engkau ya Ali.

Itulah salah satu kisah romantis yang tidak berawal dari pacaran. Lalu bagaimana kita menyikapi mereka yang berpacaran? Apa lantas kita jauhi? Hm, tak ada yang berhak mengganggu masalah pribadi seseorang. Dosen Komunikasi saya pernah berpesan bahwa agama adalah urusan pribadi masing-masing orang dengan Tuhannya.

Kini saya berada di batas garis galau antara pacaran atau tidak. Bergeser ke kanan saya bersimpangan dengan sistem pertemuan singkat taaruf. Namun di sisi kiri saya berhadapan dengan tantangan hubungan tidak resmi. Sebagai penengah segala kegundahan dan kegalauan saya, seorang arif memberi wejangan untuk menganggap semua orang sebagai teman, entah laki-laki ataupun perempuan. Karena lebih utama menjalin silaturahmi daripada memutus silaturahmi pasca putus dari pacar.

Any Hidayati
Mahasiswi Ilmu Komunikasi UNS