Otonomi Pembangun Kebutuhan dan Kesenjangan

Universitas memang bukan sebuah cluster dengan bangunan yang sama persis hingga isi perabotannya. Ibarat sebuah rumah tangga, kebutuhan perabot berbeda di tiap rumah. Tak heran, kesenjangan seringkali terjadi karena alasan fisik semacam itu.

Jika kita tilik lebih jauh ke dalam, pembangunan yang ada di setiap fakultas di Universitas Sebelas Maret (UNS) terlihat sangat tidak merata. Padahal, idealnya pembangunan tersebut tersebar secara merata hingga di setiap sudut kampus. Salah satu pemicu terjadinya kesenjangan pembangunan tersebut adalah otonomi yang kini diberlakukan di setiap fakultas.

UNS berdiri sejak 11 Maret 1976 merupakan gabungan dari lima perguruan tinggi yang ada di Surakarta. Saat pertama kali dibangun pada lahan seluas 600.000 m2, semua fakultas di UNS memiliki bangunan sama persis dengan arsitektur yang juga seragam. Disatukan dalam satu kompleks yang hijau di timur kota Solo, UNS terdiri dari sembilan fakultas, yaitu Fakultas Pertanian (FP), Fakultas Kedokteran (FK), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan (FKIP), Fakultas Hukum (FH), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Ekonomi (FE), Fakultas Sastra dan Seni Rupa (FSSR), dan Fakultas Teknik (FT). Denah lokasi dibagi menjadi tiga bagian, bagian tengah untuk gedung rektorat, auditorium, dan bangunan unit pelayanan terpadu seperti perpustakaan, percetakan, dan pusat informasi. Sementara bagian sayap kanan untuk program eksata, dan sayap kiri diisi program non-eksata, dilengkapi bangunan penunjang kegiatan mahasiswa seperti stadion, GOR, dan rumah ibadah.

Seiring dengan perkembangan kebutuhan, fakultas diperbolehkan mengembangkan fasilitas belajarnya masing-masing. Hal itu ditunjang dengan otonomi yang kini dimiliki tiap fakultas. Selama memiliki dana atau bisa mengusulkan dana lewat APBN, fakultas boleh melakukan pengembangan secara mandiri. Sayangnya, pembangunan yang ada tidak merata di seluruh fakultas.

Hal ini terbukti dengan penilaian beberapa mahasiswa yang berada di FE, FMIPA, dan FSSR tentang fasilitas yang ada dikampusnya. Fasilitas yang dimaskud adalah ruang kelas yang nyaman untuk belajar, laboratorium untuk kegiatan praktik, serta sarana untuk umum seperti aula, ruang terbuka hijau, perpustakaan, kantin, tempat parkir, dan kamar mandi. FE merupakan fakultas yang dapat dibilang “wah”. Berbeda dengan FMIPA yang tergolong biasa saja atau bahkan FSSR yang berada di bawah rata-rata, dibanding dengan enam fakultas lainnya.

“Pada dasarnya setiap fakultas itu mempunyai kelebihan dan kekura ngan masing-masing. FE tempatnya strategis, memiliki gedung khusus untuk aula, punya lima gedung. Hotspot sudah sistem member. Kalau belum jadi member ada password tersendiri (umum). Untuk yang di bawah (ruang D3) ada pembiayaan lebih(khusus) dari fakultas ka rena ada yang dilebihkan. Ada gedung khusus untuk sekretariat, dua lantai. Ada dua tempat parkir yang salah satunya sudah menggunakan sistem membercard. Masalah pembelajaran, tergantung pada dosennya, tetapi kebanyakan menyenangkan. Selain itu FE tempatnya nyaman buat nongkrong”, kata Nandi Aldi, mahasiswa Jurusan Manajemen, FE.

Lain halnya dengan pendapat dari Dian Cahya, mahasiswa Jurusan Informatika FMIPA. “Fasilitas di FMIPA tidak sesuai dengan jumlah yang kita bayar. Kita bayarnya kan ada uang pembangunan atau BPI (Biaya Pengembangan Institusi) yang sebenernya buat fasilitas kita juga, dan pembiayaan untuk fasilitas itu kurang dimaksimalkan.

Namun demikian kadang ada fasilitas juga tetapi tergantung pada penggunaannya. Misalnya AC rusak karena kurang perawatan. Trus kalo ruang AC seharusnya ditutup tapi ini malah dibuka lebar-lebar. Namun demikian karena FMIPA masih baru, mungkin masih dalam tahap pembangunan”.

Pendapat dari salah seorang mahasiswa Jurusan Desain Komunikasi Visual, FSSR, “engga memadai. Yang buat penunjang belajar contohnya lab komputer dan fotografi. kurang banget, engga sesuai de ngan jumlah mahasiswanya, tapi akhir-akhir ini udah diperbaharui dari segi ruangannya. Kalau kesenjangan antar fakultas kayaknya ada ya, contoh riilnya ya pengelolaan gedung itu tadi”.

Tanggung jawab dekan
Kesenjangan pembangunan dan fasilitas yang terjadi antara fakultas dapat dilihat berdasarkan keadaan dan kemampuan tiap fakultas. Sebagaimana dipaparkan Kepala Biro Administrasi Perencanaan dan Sistem Informasi, Ariadhie Nursasongko, “Universitas itu tidak mengatur tentang ketersediaan sarana prasarana, seluruhnya itu adalah kebijakan dekan.” Otonomi yang berlaku membuat fakultas berhak untuk menetapkan segala bentuk otonomi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan, baik dalam kegiatan belajar mengajar ataupun kegiatan lain yang mendukung pembelajaran bersama.

Drs. Atmaji, M.M. selaku Pembantu Dekan (PD) II FE pun angkat bicara, menurutnya fasilitas penunjang belajar tiap-tiap fakultas awalnya sama. Namun menyesuaikan dengan jumlah mahasiswa berikut kebutuhannya, ruang kelas, laboratorium, dan kebutuhan lainnya kemudian dikembangkan sendiri oleh fakultas. Walaupun begitu, tetap ada koordinasi dari bagian sarana dan prasarana pusat, karena sebenarnya semua aset UNS ini milik negara.

“Pembangunan yang sudah dilakukan Fakultas Ekonomi ini banyak meniru gaya arsitektur luar negeri, yang menurut pertimbangan kami itu yang fungsional sesuai dengan peruntukannya”, jelas Atmaji lebih lanjut. Sebagai contoh, di FE ruang dosen minimal berukuran 2x2m² untuk tiap dosen, karena dinilai membutuhkan privasi. “Termasuk gedung lab dan gedung lain itu ada estetika tersendiri yang menurut kami juga dapat membanggakan mahasiswa,” tambahnya.

Lain di FE, lain pula di FMIPA. Fakultas yang usianya paling muda di UNS ini masih berada pada tahap pembangunan. Drs. Pangadi, M.Si, PD II FMIPA mengakui bahwa anggaran di FMIPA memang terbatas. Se- hingga tidak bisa memberi lebih dari yang ditetapkan oleh universitas.

Salah satu solusi pemerataan pembangunan yang ada adalah subsidi silang. Namun kenyataanya, subsidi silang antar fakultas sulit dilakukan. Sementara yang sudah dijalankan adalah subsidi antar jurusan di dalam satu fakultas.

Menanggapi keluhan mengenai fasilitas FMIPA yang rusak di tengah masa pembelajaran, Pangadi mengatakan bahwa setiap tahun selalu dianggarkan dana perbaikan meskipun jumlahnya tidak ba nyak. Akibatnya, banyak fasilitas yang belum bisa diperbaiki karena terbatasnya anggaran. Alokasi dana yang ada pada tiap fakultas murni berasal dari kantong tiap fakultas sendiri. Salah satunya adalah dengan memprediksi jumlah dana BPI penerimaan mahasiswa baru.

Dra. Hesti Widyastuti, PD II FSSR juga memberikan tanggapan mengenai diberlakukannya otonomi di fakultas masing-masing. Menurutnya, sejak dulu otonomi dalam penyediaan sarana prasarana sebetulnya sudah dilakukan, meskipun masih dalam pengawasan pusat. Otonomi diadakan karena dapat dikatakan bahwa yang punya mahasiswa adalah fakultas atau jurusan, jadi semua kebutuhan apa yang diperlukan dalam pembelajaran muncul dari jurusan, atau dengan sistem pembangunan bottom up.

“Namun pendanaan belum terpenuhi karena kita harus memberikan pelayanan ‘murah sedunia’, tidak mungkin menaikkan uang SPP atau uang-uang lainnya. Oleh karena biaya terbatas, jadi yang tersedia terpaksa terbatas. Namun kami sedang dalam arah pembangunan”, jelas Hesti Widyastuti. Saat ini FSSR sedang dalam tahap pengembangan. Prioritas pembangunan yang diutamakan adalah kelas dengan proyektor, monitor, serta CPU yang mendukung pembelajaran langsung. Pembangunan juga diutamakan pada hal yang lebih urgent seperti perbaikan kamar mandi, dibandingkan menambah AC yang otomatis diikuti penambahan daya listrik.

Iuran Orangtua Mahasiswa (IOM)
Mengenai penggunaan uang Iuran Orangtua Mahasiswa (IOM), menurut tiap PD II di FE, FMIPA, dan FSSR menyatakan bahwa penggunaan IOM kebanyakan kembali ke mahasiswa. Seperti dana pemanggilan orang tua pada pengambilan KHS, pengadaan outbond atau pelatihan leadership, serta pembangunan mushola atau taman  belajar.

Kucuran dana dari IOM bukan merupakan penerimaan fakultas. Ibaratnya IOM hadir untuk berkontribusi melakukan hubungan kerjasama dengan fakultas-fakultas yang ada di UNS. “IOM bukan perhimpunan budget fakultas,

sehingga tidak masuk dalam sistem keuangan fakultas dan universitas dan bukan merupakan organisasi yang dibuat oleh fakultas,” jelas Ariadhie Nursasongko.

Harapan mengenai otonomi disampaikan oleh Atmaji, bahwa otonomi sebenarnya diperlukan, namun seharusnya universitas mempunyai rambu-rambu otonomi yang benar sehingga tidak setiap fakultas mengembangkan dirinya masing-masing secara berlebihan. Rambu-rambu itu juga diperlukan agar antar fakultas tidak saling bersinggungan misalnya mengenai batas wilayah fakultas yang notabene semua adalah tanah milik negara. Ia berharap keberadaan sharing facility (fasilitas bersama) dan penggunaan aturan-aturan yang sudah disepakati. Hal tersebut karena di UNS sementara ini terdapat fakultas yang gedungnya berlebihan atau tidak digunakan secara maksimal.

Dalam menjalankan otonomi tidak sekadar asal jalan, bak sebuah kereta api yang tidak akan dapat berjalan tanpa rel. Fakultas ibarat kereta api yang berjalan mengikuti rel sesuai dengan kemampuannya dan universitas ibarat rel kereta yang memberikan jalan sesuai dengan yang ditetapkan seperti adanya Rencana Strategis (Restra) Universitas. Sebagaimana yang dijelaskan Ariadhi lebih lanjut, “Universitas hanya memberikan rambu-rambu secara umum dan detail teknisnya dari fakultas yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing baik dari segi keuangan, SDM, dan lainnya.”

Terjadinya pembangunan yang tidak merata di setiap sudut kampus memang sangat disayangkan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemba ngunan antar fakultas satu dengan yang lainnya berjalan kurang sinergi sehingga banyak terjadi ketimpangan di sana sini. Tiap fakultas memiliki manajemen dan peraturan tersendiri sehingga tidak lagi dapat dise- ragamkan seperti pada awal berdiri. [] (Aisha, Mega, Kartika)