LPM Kentingan/Ratu Diva Lathifa

Orang Sinting di Pasar Malam

4

Aku tahu, agak aneh jika ada yang bertanya, “Kenapa kau datang ke pasar malam?”. Jadi, kukatakan langsung saja bahwa alasanku sering mendatangi pasar malam karena aku ingin melihat seorang kakek hilang akal.

Pasar malam itu sudah buka hampir seminggu. Sejak hari pertama kemari, tanpa adanya perasaan jijik dan angkuh seperti orang-orang di sekitar, kehadiran orang itu benar-benar merupakan sesuatu untukku. Dia biasa muncul di tengah jalan, dekat gerobak sosis bakar. Ia mengenakan kain putih, maksudku benar-benar kain yang diikat, seperti orang haji atau filsuf yunani, sedang tubuhnya itu kurus dan bungkuk.

Bukan itu bagian unik yang menarik perhatianku, melainkan diamnya. Dia hanya diam, serius! Dia hanya diam menatap tiap orang yang ada di sana dengan dua bola matanya yang besar (saking besarnya, kadang kupikir salah satunya akan menggelinding dan dimakan anjing).

Kudengar orang itu tinggal di dekat sini, walau tak ada yang tahu pasti di mana rumahnya. Dia sering muncul di lingkungan itu, berbicara sendiri bahkan berteriak histeris. Berkali-kali warga sekitar menghubungi pihak berwajib dan rumah sakit, tetapi seperti orang sakti, dia langsung raib dan muncul lagi bila petugas-petugas itu sudah pulang.  Melihatnya diam di tempat ramai ini membuat mereka tak mempersalahkannya. Biar bagaimana pun, ada rasa iba pada kakek tanpa identitas itu.

“Mereka mengabaikanmu,” ucapku lembut, sudah berdiri beberapa langkah di depannya.

Pandangan yang awalnya tertunduk itu kemudian menemui tatapanku. Seketika, matanya terbelalak lebar dan urat-urat merah mengakari bola hitam itu. Otot wajahnya menegang, rautnya ketakutan setengah mati. Segera, ia berlari kabur dariku, menabrak orang-orang di jalan. Aku sedikit tersentak, tetapi pandanganku kembali tenang merayapi sosoknya yang menjauh. Aku mengenalnya. Dulunya ia adalah seorang aktor yang sangat hebat. Hebat, begitu mendalami perannya walau dengan pengorbanan sebesar apa pun.

Peran terakhir yang kutahu adalah seorang mafia dengan latar di pasar malam. Peran itu yang membuatku seringkali bertanya-tanya, apakah dia benar-benar mencintai pekerjaannya atau itu lebih mengarah pada ketakutan akan diriku?

Dia membunuh seseorang malam itu. Entahlah, dia bilang, dia hanya memukulnya seperti instruksi sutradara.

“Injak dia seperti menginjak serangga”, katanya sutradara sih, begitu. Setahuku hanya butuh satu pijakan yang hampir tak butuh massa untuk membunuh serangga, tetapi dia menginjaknya berkali-kali dengan penuh tenaga dibantu sepatu kerasnya itu. Kalau sudah begini, salahkan siapa coba jika ginjal orang itu sobek? Apalagi dengan ekspresi kesetanannya, tak heran semua orang di sana berpikir bahwa dia benar-benar berupaya membununya. Orang itu dilarikan ke rumah sakit, jelas sang aktor panik hebat. Seperti yang ditakutkan, kabar burung gagak sampai ke apartemennya.

Ponselnya jatuh di lantai pada jam 2 pagi yang menggigit. Matanya yang melotot itu melirik cermin. Saat itulah, pertama kalinya dia melihatku. Kami saling melihat satu sama lain dalam keheningan kala itu. Pandangan kami yang bertemu sama seperti yang baru saja terjadi, menciptakan kengerian yang tak termaafkan.

Kuukir senyuman culas, tahu bahwa sang aktor, kakek magis ini, akan melakukan hal yang sama. Dia berlari. Lari, jauh dari keramaian. Lari, jauh dari dunia akting dan apa yang mereka sebut dengan seni. 

Riuh pengunjung pasar malam menghapus kehadirannya yang diragukan nyata. Pun aku, hanya bisa diam terpesona di bawah gemerlap lampu, melihat dirinya yang menyatu dengan kegelapan. Aku yakin, jikalau suatu saat malaikat kematian menghampirinya, dia akan dibisiki bahwa sekali pun, ia tak pernah hidup.

Dalam keramaian penuh suka cita ini, tak ada satu pun anak manusia yang mengenali kakek itu. Akan tetapi, semua orang mengenalku. Bahkan, kamu pasti kenal, atau topeng jokermu itu terlalu mahal untuk menunjukkan kesiagaanmu terhadapku.

Ya, manusia mengenalku sebagai “Ketidaksempurnaan”.

Catatan dari sutradara:

“Manusia menyukai keindahan, tetapi keindahan pun mampu membunuh.”

Keindahan tidak memiliki batas, perspektif terhadapnya dapat berubah menyesuaikan target audiens dan keadaan. Karenanya, keindahan seni adalah suatu putaran yang tak ada habisnya, khususnya pengejarannya atas label “kesempurnaan”. Obsesi terhadap seni adalah romansa yang patut digeluti baik-baik: menghargai tiap hal kecil dan tidak menghancurkan diri dengan kuasa sendiri.

 

Penulis:

Farah Ika Melati, mahasiswa yang sering distigma ngantukan padahal benar.

Editor: Jasmine Aura Arinda