Dalam buku Catatan Seorang Demonstran tertanggal 22 Januari 1962, “Seorang filsuf Yunani berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
Dari banyak tulisan Soe Hok Gie yang quoteable, entah mengapa saya memfavoritkan tulisan beliau itu. Sebuah catatan harian yang ditulis delapan tahun sebelum ia meninggal. Gie meninggal tepat sehari sebelum berumur 27 tahun. Sayang sekali, kurang satu hari lagi untuk masuk klub 27 yang berisi kumpulan orang-orang, khususnya rockstar macam Kurt Cobain yang meninggal di umur 27 tahun. Gie meninggal tidak dengan cara menembakan timah panas ke kepalanya sendiri seperti Kurt Cobain. Dia meninggal akibat kecelakaan ketika mendaki gunung.
Gie mendapatkan nasib baik kedua, dilahirkan tapi mati muda. Seorang intelektual muda dan berani mengkritik dengan lantang telah berpulang. Nasib baik membawanya terhindar dari merasakan kediktaktoran dan anti-kritik Orde Baru. Meskipun saya percaya dia akan sanggup, tetapi akan berat bagi beliau untuk hidup sesuai hati nuraninya di masa itu.
Imagine there’s no countries
It isn’t hard to do
Nothing to kill or die for
And no religion, too
Lyric. Imagine-John Lennon
Imagine merupakan lagu yang berkisah bagaimana peperangan seharusnya tidak terjadi. John Lennon, penulis lagu tersebut, memimpikan dunia damai tanpa adanya peperangan yang menewaskan banyak manusia. Tetapi secara ironis, John Lennon meninggal akibat ditembak dari belakang oleh orang yang beberapa jam sebelum penembakan meminta tandatangannya..
John Lennon mantan vokalis dari band fenomenal The Beatles tewas pada umur 40 tahun. Usia tersebut dapat dikatakan muda, mengingat usia harapan hidup manusia di dunia 72 tahun. Toh, jikalau John Lennon mencalonkan diri jadi presiden pasti akan disebut sebagai capres muda. Nasib baik untuk John Lennon karena dengan cepat meninggalkan dunia yang di dalamnya kata damai hanya menjadi sebuah istilah istirahat di antara dua perang.
Berbicara mengenai Gie dan John Lenon, saya terpikirkan sosok yang kelahirannya tidak jauh dari mereka berdua, bisa dibilang satu generasi, dan masih hidup sampai tulisan ini dibuat. Apakah di usia tuanya beliau tidak bernasib baik? Ya, sosok yang terpikirkan oleh saya adalah Sir Alex Ferguson, mantan pelatih Manchester United (MU) selama 26 tahun. Berbagai gelar telah ia raih mulai dari piala domestik hingga piala dunia antar klub. Treeble Winner pada tahun 1999 merupakan pencapaian MU paling fenomenal selama Opa Fergie melatih.
Sayangnya, klub sepak bola yang Opa Fergie tangani selama 26 tahun tersebut menjadi pesakitan setelah ditinggalkannya. MU dalam lima tahun terakhir nol gelar dan menjadi bulan-bulanan setiap minggu. Opa Fergie harus menyaksikan MU kalah kosong lima atas Liverpool, musuh abadi mereka, di Old Trafod. Jelas, ini bukan nasib baik bagi Opa Fergie. Di sisa hidupnya harus melihat klub yang ia besarkan puluhan tahun harus menjadi bahan banter media sosial setiap minggu dan jauh dari prestasi. Tenang Opa, musim ini MU bakal tsunami trofi. Namun, dengan syarat klub sekuat Man City dan Liverpool berubah menjadi koperasi simpan pinjam.
Dari ketiga cerita di atas, mati muda bukanlah sesuatu yang buruk. Bisa dibilang, meninggal di puncak karir merupakan tadkir yang baik. Apabila meninggal di puncak karir, seorang diva tidak akan merasakan karirnya perlahan meredup, mencari-cari sensasi agar namanya tetap eksis, kemudian jadi tua dan menyebalkan.
Namun, mati muda bukan hanya masalah meninggalkan dunia saat masih berusia muda. Bagaimana cara seseorang meninggalkan dunia ini juga perlu menjadi bahan untuk diperhatikan. Meminjam kalimat Jiraiya, tokoh dalam sebuah anime Naruto Shippuden, “Shinobi bukan dilihat dari cara hidupnya, tetapi bagaimana ia mati.” Begitu pula dengan manusia, dilihat pula bagaimana ia mati.
Anda bisa menjadi rockstar keren, tetapi anda pesimis terhadap kehidupan, kemudian memilih mengakhiri hidup anda dengan sebuah peluru pistol. Hal tersebut sama saja dengan lari dari tugas dunia dan anda terlihat sebagai pecundang. Jauh lebih berharga kehidupan seorang medioker yang berjuang dari hari ke hari selama masa hidupnya.
Akan ada saatnya pula bagi aktivis yang terbiasa vokal mengkritik menjadi diam seiring bertambahnya usia. Sah-sah saja menurut saya, toh sudah saatnya yang lebih muda mengambil spotlight untuk bersuara. Namun, menyebalkan apabila yang dahulu bersuara mengkritik bergabung ke golongan yang dikritik, tanpa mengurangi respect di dunia musik, seperti band Slank. Nyatanya, salah satu personelnya yang menjadi komisaris perusahaan BUMN. Permasalahannya adalah posisi tersebut kental dengan unsur politik balas budi ditambah Slank sekarang tidak sevokal dahulu.
Layaknya kisah percintaan seseorang yang ditinggalkan pasangannya, kematian juga bisa kita lihat dari dua sisi, baik dari yang ditinggalkan maupun yang meninggalkan. Kita yang ditinggalkan umumnya merasa sedih karena kita masih membutuhkan kehadirannya di dunia ini. Bagi yang meninggalkan dunia, mereka patutnya berbahagia karena usai sudah semua tugasnya di dunia ini.
Penulis: Bagaskoro –belum cukup keren untuk mati muda–
Editor: Rizky Fadilah