Foto: Azfa Zaidan Naqi/ LPM Kentingan

Orang-Orang di Kerumunan : Cara Pandang FSTVLST dalam Mengkritik Kemunculan “Nabi-Nabi” Baru

1

Kembali mengkonsumsi album pertama FSTVLST, yakni Hits Kitsch (2014) seakan menyisakan sisi kegamangan dalam benak. Meski sudah dirilis 9 tahun lalu, rasanya album ini masih saja relevan dengan hiruk pikuk duniawi, tentang kritik dan pola pikir yang diambil FSTVLST dalam halnya menyikapi polemik di berbagai unsur kehidupan. Satu lagu yang membuktikan taji FSTVLST, melalui “Orang-Orang di Kerumunan” – pada nomor pembuka album – membawa untuk terjerumus dan menginterpretasikan makna setiap bait-bait liriknya. Vokalis FSTVLST, Sirin Farid Stevy seolah melempar bola panas kepada pendengar agar secara mandiri dapat menafsirkan inti dan makna lantunan lagu tersebut.

 

Rentetan bait sakralis seraya menjabarkan pandangan Farid Stevy terhadap fenomena sosok selebritas atau penguasa yang diagungkan oleh umat. Khalayak seakan “menabikan” orang-orang yang mereka rasa sepaham dan sepertujuan dengannya. Di mana seorang yang memiliki kuasa beserta pengikutnya tersebut senantiasa menghardik gerombolan lain yang tak sevisi dan lebih lemah. Tak sedikit kaum marginal yang mendapat tendensi dari pihak yang  berpengaruh. Kadangkala para pengikut tersebut dibutakan dengan fanatisme yang berlebih sehingga menimbulkan sikap superior. Ketika kritik menjurus pada idolanya, lantas mereka tutup mata telinga seolah tak terjadi apa-apa. Banyak pula yang malah melakukan tindakan agresif verbal di media sosial. 

 

Tanggung Jawab Moral Sosok Pesohor

 

Orang-orang di kerumunan berjejalan di lingkaran/ Mengitari satu altar sesembahan/. Begitulah kiranya penggalan lirik dalam lagu bertajuk “Orang-Orang di Kerumunan” rekaan Farid Stevy. Dalam perbincangan Farid Stevy dan Soleh Solihun di kanal Youtube Authenticity Id pada episode “NGULIK ISI KEPALA SIRIN FARID STEVY DARI KESENIAN SAMPAI KETUHANAN – PODCAST NAIK CLAS” di menit ke 45.00-48.47 secara gamblang vokalis satu ini menceritakan kisah di balik penulisan “Orang-Orang di Kerumunan”. Kala itu Farid mencoba mengejawantahkan kegelisahannya tentang kemunculan sosok pesohor yang diagungkan oleh para basis fandomnya dengan jumlah yang kian hari semakin besar. Power atau kuasa dari pesohor atau selebritas tersebut terkadang dipelintir guna mengampanyekan hal-hal yang melenceng dari prinsipnya. Sudah barang tentu menjadi orang berpengaruh seharusnya menyadari akan tanggung jawab besar atas dasar power dan kuasa tersebut. Pun ia muak dengan sosok pelaku seni yang terkesan memisahkan diri dari penggemar dan merasa dirinya lebih superior. 

 

Mereka menari dengan mata terpejam/ Kerasukan/ Jiwanya sudah tak lagi bersemayam/. Banyak juga para selebriti yang anti kritik akan penyelewengan yang ia lakukan. Ketika mata memilih terpejam, menutup telinga rapat-rapat dan mulut mengeras beku disaat kritik membangun dari pihak yang tak sejalan dengannya dilontarkan. Seringkali juga jajaran fans yang besar juga terkesan malah mendukung kesalahan idolanya. Satu frasa yang cocok menggambarkan, yakni “Asal rupawan, kamu aman”. 

 

Niscaya berseberangan dengan tanggung jawab seorang selebriti yang harus mengutamakan moral (mengesampingkan segi pencitraan). Menjadi sebuah resiko sekaligus konsekuensi bagi sosok yang memiliki pengaruh besar terhadap suatu kelompok agar terus berupaya mengamalkan hal-hal yang bermoral dan etis. 

 

Maka dari itu, menjadi seorang publik figur bukan hal yang patut dipandang sebelah mata. Dengan disematkannya gelar selebritis tersebut maka pribadi ini harus memiliki tanggung jawab moral yang terus ditunaikan dimana pun kapan pun. Ribuan bahkan jutaan pengikut di akun media sosial pribadi terus memantau nan memandang dirinya. Lantas perilaku baik buruk senantiasa dinilai bahkan diterapkan juga oleh kaum pengikut militan yang bias – tak bisa membedakan perilaku baik buruk – tersebut. 

 

Arti Penting Kesetaraan Selebritas dan Penggemar

 

Farid Stevy melalui “Orang Orang di Kerumunan” berpandangan bahwa kedudukan selebritas dan penggemar adalah sama. Derajat, harkat, martabat yang sejajar. Di antara keduanya merupakan sama sebagai manusia. Sehingga, bukan berarti menjadi seorang pesohor layak untuk diberi privilege lebih dalam segala hal. 

 

Namun, antara das sein dan das sollen tak sejalan, ketika argumen tak selaras dengan realita yang ada. Ironisnya terkadang sosok selebritas mendapatkan lebih banyak kemudahan dibanding masyarakat biasa. Inilah yang menimbulkan berbagai ketimpangan. Lalu meracau/ Tak setuju maka beda kubu/ Tak sepaham lantas baku hantam/ Yang seiman saling menerakakan/ Merekalah kerumunan yang lupa/ Kerumunan yang lupa/ Bahwasanya aku kau mereka sama. Hakikat makhluk sosial yang tersemat pada makhluk bernama manusia, seakan tak dihirau oleh beberapa orang pengagung figur publik. Lantas timbul suatu bias ketika membedakan benar salah pada sosok selebritas yang mereka puja.

 

Meromantisisasi Fanatisme Sejatinya adalah Merugi

 

Fanatisme dalam KBBI yang berarti kepercayaan yang terlalu kuat terhadap (politik, agama, dan sebagainya). Fanatisme tak jarang, bahkan seringkali bermuara pada kerugian baik secara moral maupun materiil. Dalam kehidupan musik, fanatisme sudah tumbuh subur sejak zaman baheula. Kita tengok ke belakang tepat di tanggal 8 Desember 1980 yang menjadi hari tragis bagi Beatlemania seluruh dunia. Dampak dari fanatisme, yakni John Lennon (salah satu personil The Beatles) yang meregang nyawa di tangan penggemarnya sendiri dengan mendapatkan empat luka tembak di bagian punggung.

 

Fanatisme akan timbul atas dasar romantisisasi di lingkungan sosialnya. Ketika seseorang menemukan gerombolan yang sesuai dengan visi fanatik terhadap sosok yang diidamkan maka hal tersebut juga akan ikut tumbuh subur.

 

Menjurus ke hal yang sederhana – sebagai contoh dalam kehidupan nyata – ketika selera musik seseorang menjadi bulan-bulanan kelompok lain karena tidak sesuai dengan genre musik mereka. Tak sedikit fandom yang merasa eminen atas selebritis kegemarannya dan seolah merendahkan genre musik berbeda. 

 

“Polisi skena” tumbuh subur dimana-mana. Sejak tahun 2000an genre musik indie folk mulai masif digandrungi di seluruh penjuru negeri. Penikmat genre musik ini identik dengan senja, kopi, puisi dan lagu sendu. Pun tak sedikit stigma tentang mereka yang akrab berkomentar ditunggangi tendensi kepada penganut genre lain, seperti halnya “hanya orang-orang terpilih yang dengerin lagu ini”, “jangan terkenal dulu ya, aku takut kalian nggak indie lagi”, “Kalo nggak dengerin band ini berarti selera musik kamu jelek”. Komentar-komentar seperti ini merupakan satu bentuk fanatisme konkrit di masa kini. Seolah mereka merasa eksklusif dan “mengkerdilkan” genre musik lain. 

 

Turut berbela sungkawa/ Atas sekaratnya jiwa/ Para berkerumun tertawa-tawa/ Di se se se se sempitnya ruang bahagia/ Yang seharusnya luas tak terbatas/ Dan turut berduka cita/ Atas tak berartinya bunga/ Berganti/ Umpat benci/ Caci maki/ Bunuh dan lukai/ Benci dan lukai. Ini yang menjadi satu poin penting pada bait reff “Orang-Orang di kerumunan”. Ketika orang-orang lebih melanggengkan sebuah fanatisme dan kebencian pada kaum lain daripada mengaminkan perdamaian dan kesejahteraan. 

 

***

Karya sastra akan lebih masyhur ketika dapat melahirkan banyak interpretasi baru. Begitu pula lagu. Bagi penulis, “Orang-Orang di Kerumunan” berhasil melahirkan berbagai tafsir dan persepsi yang menjadikan lagu ini hidup dalam naluri pendengarnya. Bagaikan ode guna mengkritik sebuah fenomena kemunculan “nabi-nabi” baru yang seolah disembah atas dasar wajah rupawan atau kemampuan yang lebih diatas orang lain. 

 

Senantiasa terjaga.

Tabik!

 

Penulis : Dhiazwara Yusuf Dirga A

Editor : Diah Puspaningrum