Artis : Silampukau
Album : Dosa, Kota, & Kenangan
Rilis : 2015
Label : Moso’iki Records
Rasanya pilihan kata “terkesima” sudah cukup menggambarkan sejelas-jelasnya atas apa yang saya rasa pasca menginjeksi telinga dengan album Dosa, Kota, & Kenangan.
***
Dosa, Kota, & Kenangan menjadi satu dari sekian rilisan tahun 2015 yang layak mendapatkan banyak atensi dan apresiasi. Bagaimana tidak? Di bawah moniker Silampukau, Eki Tresnowening dan Kharis Junandharu membagikan siasat mencintai Surabaya tanpa perlu mengesampingkan stigma dan cela yang melekat. Seluruhnya dirangkum dalam sepuluh nomor sinematik. Kesepuluh nomor yang berisi kematangan pola pikir didukung dengan kemasyhuran berbahasa. Keduanya berhasil menyihir khalayak untuk terpapar ke dalam narasi satire dan kritis yang terpancar jelas di setiap bait-bait rekaan. Pun, tak lupa menyisipkan Surabaya sebagai bentuk katarsis atas apa yang mereka rasa selama menjajaki kehidupan di kota pahlawan. Secara terperinci gugusan kisah membawa pendengar memasuki medio masa keemasan Surabaya klasik, dengan segala kemagisan dan polemik yang berpendar.
Seperti halnya Dosa, Kota, & Kenangan. Berangkat dari pengalaman kolektif masing-masing personil dan rekan sejawat, Silampukau mencoba menyingkap tabir tentang lika-liku kehidupan di Surabaya. Dari kerasnya deru aspal Ahmad Yani tatkala petang hingga transaksi lendir di gang sempit Dolly, tak luput dari kecakapan Eki dan Kharis mengolah ide. Melebihi puitis, penulisan lirik yang jujur dan penuh pendewasaan didasari kepiawaian menyerap sebuah realitas.
“Balada harian” didapuk menjadi track pembuka album. Nomor pertama ini menyoal tentang kehidupan monoton yang serba terpaku pada rutinitas. Belenggu jadwal harian yang terus menuntut untuk dapat terlaksana. Lantunan baris lirik repetitif turut memperindah proporsionalitas lagu. Bak sebuah fajar, “Balada harian” patut disertakan guna menerangi jalan mulus Dosa, Kota, & Kenangan di nomor-nomor selanjutnya. “Tik-tok jam, kubayangkan/ Hari begitu panjang/ Tik-tok jam, lalu-lalang/ Derum dan bising jalanan/ Kuberbaring membayangkan/ Hari pasti ‘kan panjang”.
“Si Pelanggan”. Gang Dolly menjadi satu landmark yang lekat dengan Surabaya (kala itu). Tentang getirnya hari-hari pekerja seks bayaran dan tempat singgah bagi para lelaki yang putus asa akan nafsu. “Dolly suaka bagi hati yang terluka/ Oleh cinta oleh seluruh nelangsa/ Hidup yang celaka,” pekik Eki melantangkan penggalan verse. Seluruhnya berpadu padan dengan dentuman contra bass, beserta permainan string section di latar. Silampukau sukses meramu premis tabu menjadi rentetan nada melankolis dan dramatis.
Pada nomor ketiga, Eki dan Kharis menampilkan “Puan Kelana”. Perihal hubungan jarak jauh dengan yang terkasih. Lagu ini tepat dijadikan anthem teruntuk balada para remaja, asimilasi lirik bahasa dengan sentuhan Française selaras dengan musik ala kontemporer. “René Descartes, Molière, dan Maupassant/ Kau penuhi kepalaku yang kosong/ Dan Perancis membuat kita sombong/ Saat kau masih milikku,” sepenggal lirik “Puan Kelana”.
Gayung bersambut disusul pada track selanjutnya, sekaligus “Bolaraya” dan “Bianglala” menempati urutan empat dan lima. Keduanya memiliki pokok pikiran yang sama. Yakni sama-sama menjabarkan sudut pandang dan kritik Silampukau kepada pemegang kekuasaan (baca: pemerintah) terhadap kebijakan lahan. Semakin tergerusnya ladang bermain dan tempat hijau di Surabaya—atas dasar keserakahan kaum oportunis—menjadi poin utama yang diusung pada kedua lagu ini.
Keenam, “Lagu Rantau (Sambat Omah)”. Berisi rentetan bait pesimis tentang berkehidupan di kota orang (baca: perantau) dan segala pergolakan batin yang berkecamuk sehari-harinya. Impian-impian yang kerap kali gagal terwujud, dan segala rasa penat yang menggugurkan semangat mengais rejeki. Seluruhnya cantik diramu menjadi syair bagi para musafir dalam “Lagu Rantau”. “Oh, demi Tuhan/ Atau demi setan/ Sumpah aku ingin/ Rumah untuk pulang/ Rumah untuk pulang.”
“Doa 1”. Sesuai dengan tajuknya, “Doa 1” menjadi sebuah pergumulan bagi fragmen kehidupan yang diamini oleh Silampukau. Bagian-bagian yang disemogakan agar dapat menjadi sebuah saksi akan hayat mereka sebagai manusia dan pekerja seni. Memuat perihal geliat musisi independen yang kian lesu, pasar selera musik yang semakin “murah”, dan hal-hal yang memekikkan bagi mereka.
“Malam Jatuh di Surabaya”. Satu nomor yang dapat saya rekomendasikan apabila ingin menghayati Surabaya dengan khusyuk. Entah apa yang terlintas dalam benak Silampukau tatkala mendedahkan lagu ini. Mungkin saja, ketika tengah mencumbu senja atau malah sedang mengumpat karena berjibaku di hamparan kemacetan Ahmad Yani. Kurang dari tiga menit, pendengar didekap dengan nuansa musik sendu beserta hangatnya balutan suara serau dari Kharis. Penggalan lirik favorit saya tepat pada “Magrib mengambang lirih dan terabaikan/ Tuhan kalah di riuh jalan/ Orkes jahanam mesin dan umpatan/ Malam jatuh di Surabaya”.
“Sang juragan”. Rahasia umum, Surabaya menjadi salah satu dari sekian kota penikmat minuman “penghilang penat” dengan pasar yang cukup besar. Tak pelak, lagu ini menceritakan peran penjual banyu surgawi itu dengan sejujur-jujurnya. Nada-nada ceria dan menggelitik seolah menyeru akan peran penting “sang juragan” bagi para pelanggannya tersendiri. “Hidup ini tambah keras/ Semenjak naiknya harga miras/ Anggur, vodka, arak beras/ Lebih hemat campur potas,” pungkas Eki.
Menempati nomor pamungkas, dua menit syair “Aku duduk menanti” menutup dengan indah Dosa, Kota, & Kenangan. Masih tentang bait pesimis, lebih khusus yakni sebuah persoalan klise ala transisi masa dewasa, perihal kekalahan bertaruh dengan nasib. Tentang angan yang selalu ada namun tak kunjung tuntas, tentang tunggu yang tak kunjung temu, dan tentang elegi bagi payahnya diri.
***
Siapa sangka pledoi “Salam satu nyali, wani!” khas arek Suroboyo benar diamalkan oleh dua pria ini. Yang berbekal idealistis dan gigih, berani bertarung dengan derasnya laju pertumbuhan belantika musik tanah air. Dengan mengusung genre folk yang kini akrab dengan stigma senja, kopi, puisi. Penyertaan arkais (zonder, matrimoni, mursal, ceracau) dipadukan dengan diksi baru seolah mengisyaratkan kematangan Eki dan Kharis dalam hal mencipta lagu (sekaligus syair). Bisa dibilang Silampukau memiliki puitisnya sendiri, atau puitis adalah Silampukau. Namun tak melulu puitis berarti rumit. Dengan mengangkat premis sederhana, Silampukau berhasil menelurkan sebuah komposisi musik yang “pas” dan jauh dari kata eksesif. Dengung-dengung indah yang merapal doa dari sudut terpinggirkan metropolis. Pun, Dosa, Kota, & Kenangan seakan menjadi sebuah memoir bahwasanya selalu ada relung haribaan untuk pulang bagi jiwa-jiwa yang lelah dengan peliknya hidup. Pulang yang berarti, kembali menyertakan album ini dalam antrean playlist atau kembali berziarah menyusuri Surabaya itu sendiri.
Meminjam lirik mereka “Aih, puan kelana, Mengapa musti kesana?, Paris pun penuh marabahaya, Dan duka nestapa, Seperti Surabaya”. (Puan kelana)
Senantiasa terjaga.
Tabik!
Penulis: Dhiazwara Yusuf Dirga A
Editor: Revy Anestasia Sulistiyo