Judul: Nyanyian Akar Rumput
Sutradara: Yuda Kurniawan
Tahun Rilis: 2018
Penghargaan: Piala Citra 2018 untuk Film Dokumenter Panjang Terbaik, NETPAC award Jogja Asian Film Festival.
9 Desember 2018, dari atas paggung mewah Meira dan Ernest Prakasa membuka amplop sembari tersenyum penuh misteri. Dengan yakin keduanya mengucap “Nyanyian Akar Rumput, Yuda Kurniawan!”.
Piala Citra, anugerah tertinggi bagi insan film di Indonesia, jatuh ke tangan sutradara Yuda Kurniawan malam itu. Film Nyanyian Akar Rumput (2018) yang digarapnya selama empat tahun memenangkan kategori film dokumenter panjang terbaik, mengalahkan Semesta (2018) garapan Chairun Nissa dan Lakardowo Mencari Keadilan (2018) garapan Linda Nursanti.
Sejauh ingatanku alias jika tidak keliru, kemenangan Yuda menjadi sejarah baru. Soalnya, belum pernah ada film dokumenter yang menyoroti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) semasa Orde Baru, menang di ajang festival film dalam negeri. Tengok saja film Mass Grave (2001) garapan Lexy Junior Rambadeta dan 40 Years of Silence: An Indonesian Tragedy (2009) garapan Robert Lemelson yang dilirik pun tidak oleh festival-festival film dalam negeri. Tengok juga Jagal (2012) dan Senyap (2014) garapan Joshua Oppenheimer yang di luar negeri bertaburan penghargaan tetapi di Indonesia sepi apresiasi.
Memang ada perbedaan tema garapan antara film-film semacam Mass Grave, 40 Years of Silence, Jagal dan Senyap yang membahas kasus HAM tahun 1965-1966 dengan Nyanyian Akar Rumput. Yuda lebih memilih untuk menyoroti kasus penculikan dan penghilangan aktivis semasa paruh akhir Orde Baru, terutama memfokuskan film ini pada keluarga sastrawan cum aktivis Widji Thukul, yang hilang sejak 1998, 20 tahun silam. Mungkin ini juga menjadi faktor lain karena kita tahu masih sangat tabu bicara soal kasus 65.
Tapi perlu diakui, Nyanyian Akar Rumput dalam perihal penceritaan terhadap Widji Thukul dan keluarganya lebih baik dari film tentang Widji sebelumnya, Istirahatlah Kata-kata (2017) garapan Yosep Anggi Noen. Dalam film garapan Yosep kita disuguhi adegan-adegan sunyi, tanpa banyak penjelasan dan dialog yang membangun. sebaliknya, dalam Nyanyian Akar Rumput kita bisa mengetahui dengan cukup baik dan runut tentang masa lalu Widji dan keseharian yang dilalui istrinya Siti Dyah Sujirah (Siphon) serta anak-anaknya Fajar Merah dan Fitri Nganthi Wani selepas Widji hilang.
Tentu saja penceritaan terhadap Widji dan keluarganya dengan pendekatan politik di masa-masa Orde Baru hingga sekarang itu penting. 20 tahun setelah reformasi aku masih menemukan beberapa temanku yang bahkan tidak tahu siapa itu Widji Thukul, apalagi keluarganya. Film ini paling tidak menjadi guyuran segar untuk ingatan kita yang mudah sekali lupa.
Dokumentasi Setengah Hati
Di awal film Yuda menyuguhi penonton dengan kisah Widji dan keluarganya, terutama menceritakan kisah Fajar Merah yang memilih menjadi musisi, membawakan lagu-lagu ayahnya. Kukira pendekatan ini sudah baik dan memang baik karena narasinya membangun pondasi. Tapi film ini jadi agak kacau ketika sampai di tengah yang rupanya tidak melanjutkan dokumentasi di awal film, pondasi yang susah payah dibangun malah tidak digunakan maksimal.
Sebagai dokumenter, film ini tidak punya objek dokumentasi yang jelas, fokusnya selalu berubah-ubah, dari keluarga ke kasus HAM, kemudian politik, kemudian loncat ke Fajar Merah, Ke Merah Bercerita, kembali lagi ke keluarga, dan kembali lagi ke politik, kemudian ke Merah Bercerita lagi. Penonton dibuat bingung dengan apa yang sebenarnya mau didokumentasikan oleh Yuda. Gawatnya, kesalahan ini adalah salah satu kesalahan pemula yang harusnya tidak dilakukan oleh Yuda.
Ekspektasiku ketika menonton pembukaan film, film ini akan membahas Fajar Merah karena penceritaan di awal berusaha membangun kisah Fajar. Tetapi alur tiba-tiba saja terbawa ke tema lain dan melebar kesana-kemari. Dalam nobar yang diikuti diskusi di kota Solo, dari Yuda aku mendapatkan kesan awalnya Yuda berusaha membuat dokumentasi tentang Fajar Merah, dan mau menyoroti perihal musik yang digarapnya dalam band Merah Bercerita. Tapi keluarga Widji justru menganggap film ini akan mendokumentasikan tentang Widji. Yuda menambahkan kalimat “film ini mengalir saja” yang kuanggap sebagai kekalahan Yuda dalam mengambil fokus sudut pandang. Artinya sejak awal aku merasa Yuda tidak mau mengarahkan film kepada apa yang menjadi keinginan awalnya dan malah mengambil berbagai sudut pandang yang disodorkan keluarga Widji dan semua dijejalkan dalam 107 menit durasi film ini.
Kurasa akan lebih baik jika film ini mengambil satu sudut pandang yang difokuskan dan serius menggarapnya. Misalnya menceritakan Fajar Merah dan musik-musiknya, yang sangat bisa dilengkapi dengan mewawancarai musisi yang pernah berduet dengan Fajar seperti Cholil Mahmud ditambah meminta pendapat akademisi atau sastrawan yang pernah meneliti puisi-puisi Widji. Atau mengambil sudut pandang kasus HAM yang tidak kunjung selesai yang akan jadi sangat baik jika misalnya turut meminta pendapat aktivis dan praktisi HAM yang mengurus kasus Widji, ditambah penelusuran sejauh apa penyelidikan kasus di tangan pemerintah sejak reformasi.
Di tengah minimnya film dokumentar tentang HAM di Indonesia, film ini memang jadi angin segar. Tapi proses pembuatan dan penyuntingannya kelewat santai, sangat terasa tidak punya fokus yang tetap, serta kurang perencanaan.
Film ini mengangkat tema yang bagus, sayangnya masih digarap setengah hati.