Ilustrasi: Anastasya Kurnianingrum

Nice View: Potret Nyata Sebuah Perjuangan, Pengorbanan, dan Pendewasaan

1

 

Cuplikan salah satu scene dalam film “Nice View” garapan sutradara Wen Muye

Rutinitas pagi ditampilkan sebagai sebuah pembuka. Jing Hao turun dari kasur atas dan segera membangunkan sang adik, Jing Tong, yang tidur tepat di ranjang bawahnya. Pemandangan di dalam layar menampakkan tipikal rumah minimalis yang memerlukan bunk bed untuk menghemat ruang. Ia menyibak gorden, membiarkan cahaya mentari menyelinap masuk ke dalam kamar, lalu membawa kaki menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Dilanjutkan mengisi perut dengan pangsit yang disuapkan oleh Jing Tong, kala tangan kakaknya itu tengah sibuk bergerak gemulai mengikat rambut si-adik-kecil. Fragmen awal ini cukup membuat penonton tersenyum atas representasi kasih sayang yang diperlihatkan.

Selesai mengantarkan Jing Tong ke sekolah, skuter listrik merah milik Jing Hao diarahkan menuju rumah sakit. Ia berkonsultasi terkait penyakit jantung bawaan (PJB) yang diderita oleh Jing Tong. Saran dokter untuk segera mengoperasi anak itu sebelum usianya menginjak delapan tahun menjadi pemantik tersendiri bagi Jing Hao untuk bekerja lebih keras dalam mendapatkan uang demi kesembuhan Jing Tong. Pekerjaannya sebagai ahli reparasi barang elektronik di sebuah toko kecil dirasa tidak akan cukup untuk menutup segala biaya yang ia butuhkan. 

Kemunculan tokoh bernama Tao Zhiyong di segmen berikutnya bisa dikatakan menjadi bagian yang vital. Terlepas dari kepicikannya, pemuda itu mengantarkan Jing Hao untuk mengenal salah satu perusahaan elektronik besar di Shenzhen bernama Shening Electronic. Dengan bujukannya, ia berhasil membuat Jing Hao membulatkan tekad untuk berurusan dengan segala macam tetek bengek reparasi ponsel yang jauh lebih kompleks dibandingkan dengan apa yang pernah ditanganinya sebelumnya. Sekali lagi, hal ini dilakukan agar ia tetap dapat melihat Jing Tong bersekolah dan melambungkan mimpi-mimpinya dengan fisik yang lebih baik.

Seperti dihantam realita, proses panjang Jing Hao tidak serta merta mulus. Ia harus terlibat kecelakaan kecil di jalan saat hendak menyusul keberangkatan Zhao Zhenchang ke stasiun guna membuat penawaran menarik terkait pembaharuan ponsel dan pembelian onderdil. Direktur utama tersebut menyatakan setuju akan membeli hasil garapan Jing Hao hanya jika kontrol kualitas suku cadangnya menembus minimal 85 persen. Zhao menambahkan, selama pengerjaan itu tidak akan ada uang muka yang ia berikan, termasuk penyediaan pabrik dan tenaga kerja. Dengan kata lain, Jing Hao harus menyelesaikan semuanya sendirian hingga tenggat waktu yang telah ditentukan. Dari sinilah, perjalanan keringat dan air mata Jing Hao demi hidup adiknya dimulai.

Dari menjual skuter listrik untuk mendapatkan modal awal, menyewa kontainer yang akan disulapnya menjadi pabrik dengan cara berhutang, hingga perekrutan karyawan agar keseluruhan pekerjaan mampu rampung sesuai target pun Jing Hao lakukan. Banyak rintangan dan kegagalan yang tidak dapat dihindari oleh laki-laki dua puluh tahun itu. Dunia seolah menginginkannya untuk menyerah. Namun, berbekal tekad yang bulat dan ambisi kuat, Jing Hao mampu membuktikan pada semua orang bahwa kerja kerasnya membawa sebuah hasil cemerlang.

Jika dibandingkan dengan film yang dimainkan oleh Jackson Yee sebelumnya, saya rasa alur cerita Nice View masih terbilang biasa-biasa saja. Meskipun karakter yang dilakonkan tidak berbeda jauh dan kemampuan aktingnya tetap menunjukkan kapasitas terbaik, inti dari film ini hanya sebuah tontonan klise perihal kaum papa yang mencoba keluar dari jeratan setan kemelaratan. Tidak lebih. Tidak ada suatu kejutan yang berarti ataupun sebatas tanda tanya penasaran saking luwesnya cerita ini dalam membawa penonton mengikuti arus. Pun dilihat dari segi teknis kamera, semua berjalan sewajarnya. Sorotan utama hanya pada permainan filter untuk memperkuat suasana latar tahun 2013.

Mungkin benar adanya jika pangsa pasar industri film Asia, terkhusus wilayah Timur, senang menciptakan karya dengan topik yang lebih dekat dengan masyarakat. Hal inilah yang kemudian digunakan Nice View dalam menyentuh hati penonton. Ragam dialog yang digunakan setidaknya mampu dirasakan oleh banyak kalangan. Karakter Jing Hao yang dituntut untuk menjadi lebih dewasa oleh keadaan, pengorbanannya dalam segala hal, hingga makna keluarga yang dalam praktik realita memang tidak hanya berkutat pada hubungan darah saja, dinilai cukup untuk menarik atensi orang-orang. Pilihan yang tepat turut diperlihatkan Wen Muye dalam menyelipkan adegan laga dan komedi di tengah-tengah cerita. Suatu usaha untuk sedikit mencairkan suasana hati penonton yang sejak awal sudah dihadapkan dengan sekelumit perasaan tak karuan.

Seperti halnya fungsi film dalam menjadi media komunikasi dan penyampaian pesan, Nice View tergolong cocok untuk ditonton mereka yang tengah membutuhkan teman dalam berjuang, sedang lelah dalam berjuang, ataupun takut untuk memulai suatu langkah perjuangan. Sebab, seperti kalimat yang diucapkan oleh Liang Yongcheng: 

“Sesuatu selalu tampak mustahil sebelum dilakukan.”

 

Oleh: Jasmine Aura Arinda

Editor: Julia Tri Kusumawati