Ilustrasi: Chandrawaty Dwiyanisufina/ LPM Kentingan

Naiknya Fenomena “Cancel Culture”

1

Apabila zaman dulu komunikasi tatap muka lebih diperlukan agar pesan dapat dipahami, saat ini komunikasi tatap muka tidak begitu diutamakan karena perkembangan pesat internet. Metode komunikasi melalui internet yang tidak dapat dibendung lagi, yaitu media sosial. Pengguna dapat dengan bebas meluapkan emosi mereka, menceritakan pengalaman mereka, atau sekadar berpendapat tentang hal-hal kecil lewat media sosial.

Saat ini, fenomena cancel culture banyak ditemukan melalui media sosial, terutama Twitter. Istilah “cancelled” ini biasanya digunakan netizen untuk selebriti, influencer, publik figur, maupun sebuah perusahaan yang terkena skandal. Secara harfiah, cancel culture mengacu pada upaya untuk menghilangkan atau mengucilkan seseorang dari pandangan publik, seperti pada masalah-masalah tertentu. Sebagian orang juga mengartikan cancel culture dengan istilah boikot massal.

Dilansir dari The New York Post, Dr. Jill McCorkel, seorang profesor sosiologi dan kriminologi Universitas Villanova mengatakan bahwa cancel culture telah ada sepanjang sejarah manusia. Dia mengeklaim bahwa ini hanyalah salah satu contoh dari banyak cara masyarakat secara historis menghukum orang karena bertindak di luar norma sosial yang diterima.

Sementara itu, dikutip dari Tirto.id, Pew Research Center pada tanggal 20 September 2020 meminta orang Amerika untuk berbagi pandangan tentang fenomena cancel culture. Hampir 49 persen dari mereka yang akrab dengan istilah itu mengartikan cancel culture sebagai tindakan yang dilakukan orang untuk meminta pertanggungjawaban orang lain. Lainnya menyebutkan pertanggungjawaban dalam definisi mereka juga membahas bagaimana tindakan ini salah tempat, tidak efektif atau sangat kejam. Sementara 14 persen orang yang mengetahui banyak arti dari cancel culture menggambarkannya sebagai bentuk penyensoran. Seperti halnya pembatasan kebebasan berbicara atau penghapusan sejarah. Sedangkan 12 persen lainnya mencirikan cancel culture sebagai serangan kejam yang digunakan untuk menyakiti orang lain.

Tujuan dari cancel culture tak lain agar memberikan efek jera kepada para tokoh yang terkena skandal, tetapi apakah ini merupakan cara yang efektif atau hanyalah sebuah alasan untuk menyebarkan kebencian di media sosial? Orang-orang yang mengagumi idol dan aktris Korea pasti sudah memahami fenomena cancel culture di negara Korea Selatan. Selain memberikan hiburan, mereka juga harus menjadi panutan bagi masyarakat. Mereka yang melanggar norma-norma ini seringkali kehilangan dukungan publik dan langsung di-cancel dalam semalam, bahkan omongan tentang perilaku yang mereka lakukan hanyalah dianggap hoaks.

Di Indonesia sendiri, fenomena cancel culture baru muncul sekitar tahun 2019. Kasus yang banyak mewarnai cancel culture di negara ini salah satunya pelecehan seksual dan tindakan melawan norma. Misalnya saja kasus Arawinda, seorang aktris yang sempat naik daun karena menjadi pemeran utama dalam film bertemakan isu perempuan “Yuni”. Beberapa bulan lalu, Arawinda dituduh sebagai perusak rumah tangga orang. Asal usul konflik dalam kasus ini sebenarnya adalah perselingkuhan, tetapi kekecewaan publik terhadap Arawinda makin meningkat karena selama ini ia dikenal sebagai tokoh yang lantang memperjuangkan hak-hak perempuan.

Sebagian orang percaya bahwa meng-cancel publik figur menjadi cara efektif untuk mempertanggungjawabkan perilaku buruk dan mencegahnya terulang kembali di masa depan. Orang-orang yang memiliki kekuasaan dan pengaruh harus dimintai pertanggungjawaban, terlepas dari status mereka. Cancel culture membawa perilaku buruk dan menjadi perhatian banyak orang dan mempublikasikan orang yang telah melakukan kesalahan untuk bertanggung jawab. Masalah utama dengan cancel culture adalah merusak karier seseorang karena kesalahan dan membuatnya tampak mustahil untuk berubah menjadi yang lebih baik. Cancel culture juga menjadi lebih terfokus pada hukuman daripada pelanggaran yang terjadi. Bahkan, upaya hukuman tersebut seringkali dianggap hiburan bagi netizen.

Ada banyak cara untuk meminta pertanggungjawaban orang tanpa mempermalukannya. Misalnya dengan mengumpulkan fakta tentang apa yang terjadi, menjangkau langsung individu yang terlibat ataupun institusi lain untuk membantu, dan memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk didengar. Jika tidak berhasil yang bisa dilakukan adalah proses hukum, penjangkauan publik, dan tindakan-tindakan lain mungkin diperlukan.

Fenomena cancel culture telah menjadi bagian penting dari media sosial. Sayangnya, hal ini juga dapat memecah belah kita sebagai bagian dari netizen Indonesia. Cancel culture mungkin bekerja dengan baik sebagai hukuman sosial, tetapi upaya meng-cancel seseorang juga bisa menjadi bumerang dengan menarik lebih banyak perhatian pada masalah tersebut. Seiring berjalannya waktu, cancel culture diharapkan berkembang ke arah yang lebih baik. Ini dapat didukung dengan bermedia sosial yang cerdas, lalu menyadari bahwa kekuatan dan suara sebagai bagian dari netizen miliki peran penting bagi kehidupan orang lain.

Penulis: Chandrawaty Dwiyanisufina

Ilustrasi: Chandrawaty Dwiyanisufina

Editor: Rizky Fadilah