Ilustrasi oleh : Henik /LPM Kentingan

Musim Semi di Melbourne

Oleh: Adhy Nugroho

 

AKU MEMEGANG LOLIPOP dengan tangan kiriku, di sampingku ada Ibu, saat aku melihat beruang berwarna abu-abu di suatu kebun binatang. Tanah tempat kami berpijak lembab setelah diguyur hujan. Tapi langit kembali cerah. Ini tidak terlihat seperti Melbourne, selain biru langitnya, juga aku melihat terlalu banyak flora hutan hujan tropis. Dan memang lembab. Dinding kandang beruang ini saja ditumbuhi banyak lumut.

 

Namun kalau pun ini di Melbourne, aku mempertanyakan satu hal: “Apakah beruang-beruang ini berhibernasi selama musim dingin kemarin?” Musim semi selalu membahagiakan bagi hibernasi beruang. Mereka, bangun-bangun, menyaksikan es yang mulai mencair saat matahari mulai terlihat kembali. Kemudian bunga-bunga berkembang. Hujan turun lalu muncullah pelangi di langit. Beruang-beruang kembali bersenang-senang. Namun Melbourne tidak pernah memiliki musim dingin seperti gambaran-gambaran tersebut.

 

Namun jika ini berada di wilayah rainforest apakah beruang tetap berhibernasi? Lalu apa yang didapat pengunjung kebun binatang saat beruang-beruang sedang tidur? Dan apakah ada pengunjung saat musim dingin?

 

Tiba-tiba Ibu memberikan payung hitam kepadaku. Aku memegangnya di tangan kanan. Kemudian aku menatap Ibu. Dia membesar, atau aku yang mengecil. Tiba-tiba kabut yang tebal sekali datang. Aku hanya melihat putih dan.. Ibu hilang. Seketika hujan deras mengguyur.

 

Berisik sekali suara hujan itu. Tiba-tiba seekor lebah madu hinggap di lolipopku. Aku yang selalu takut melihat lebah kemudian menjatuhkan lolipopku. Dan seketika hujan mereda. Langit kembali cerah. Aku melihat Jess, adik perempuanku, menangis di sebuah gubuk saat aku menyadari aku telah basah kuyup. Payung hitam di tanganku tidak pernah aku buka.

**

 

Aku mendengar suara piano memainkan akor-akor minor dan progresif. Saat aku membuka mata, aku melihat langit-langit ruangan berwarna biru langit. Aku pusing. Tidur Jumat malam selalu membuatku terbangun dalam rasa seperti ini. Setiap aku menyadari betapa aku sekarang, kadang aku menjadi rindu dengan Jogja. Ah..

 

Aku bangkit dari tempat tidurku dan mencari sumber suara itu keluar. “Sarah!” Teriakku memanggil. Aku terus berjalan saat aku menemukannya sedang memainkan keyboard kecil di meja depan televisi.

 

“Aku tidak pernah melihat benda itu sebelumnya,” kataku.

 

“Ada di bawah kasurku. Tentu kau tidak tahu,” jawabnya sambil tersenyum.

 

“Seharusnya aku tahu lebih banyak tentangmu,” balasku. “Dan…aku baru tahu kau bisa memainkan alat musik,” tambahku

 

“Aku bahkan pernah lebih baik daripada kau dalam memainkan harmonika,” jawabnya dengan senyum yang lebih lebar.

 

Dia memakai gincu. Aku mempertanyakan dua hal mengenai ini. Pertama, dia akan melakukan apa? Kedua mengapa dia memakai gincu yang bahkan tidak membuat bibir tipisnya terlihat lebih ‘ada’.

 

Isn’t she lovely,” katanya tiba-tiba

 

“Siapa?” Tanyaku. Aku cukup bingung tentang siapa yang ia maksud.

 

Isn’t she lovely. Judul lagu ini. Aku akan memainkannya untukmu. Duduklah!”

 

Sesuai permintaannya, aku duduk di sampingnya. Namun sesaat kemudian aku bangkit. “Sebentar” Kataku. “Mungkin aku akan lebih menikmatinya dengan sebatang rokok” kataku padanya. Aku menuju tempat tidurku, menyalakan rokok, dan kembali.

 

Sarah memainkan lagu dengan sangat cantik. Dia membuaiku dengan permainan musiknya seperti yang dilakukan oleh perempuan-perempuan di kanal-kanal Youtube. Bedanya, dia bukan berada di hadapanku, maksudnya, jauh di dalam layar monitor. Dia ada di sampingku. Serak suaranya saja masih jelas terdengar; tanpa pop filter.

 

“Mau kemana?” Tanyaku padanya. Dia masih memainkan lagu. Sampai dia membuat komposisi fade out yang harmonis, dia membalas. “Aku harus bekerja”

 

“Tapi ini Sabtu dan..” jawabku. Aku membuat perkataanku berhenti untuk beberapa saat seraya aku memikirkan suatu hal “Baiklah.. aku mengerti” terusku.

 

Musim semi ini adalah waktu dimana cuaca berubah tak menentu. Prakiraan cuaca bisa saja menyebutkan bahwa cuaca sedang cerah berawan pada saat hujan angin turun. Itu kenapa aku tidak mudah percaya pada dua belas derajat celcius miliknya.

 

“Aku sedang menunggu hujan reda. Seharusnya aku sudah ada di sana lima menit yang lalu. Tapi aku punya alasan hujan” Katanya. “Apa itu bisa diterima?” Tanyaku. “Tentu saja” Jawabnya.

**

 

Saat Sarah pergi, aku bawa keyboard kecil itu untuk kukembalikan di bawah tempat tidurnya. Aku berharap bisa menemukan benda-benda lain yang aku belum pernah lihat sebelumnya.

 

Benar saja. Kolong tempat tidur itu menyimpan banyak sekali benda, dan semuanya berdebu. Aku melihat ada boneka beruang cokelat, kotak pensil, novel-novel, dan satu lukisan dengan ukuran kanvas cukup besar. Aku membuka tempat pensil yang tidak terisi pensil itu. Isinya hanya flashdisk-flashdisk yang aku tidak punya pikiran apapun tentangnya. Kemudian novel-novel yang, selain aku tidak tertarik membacanya, tak satu pun aku tahu judulnya. Aku bisa dengan jari telunjukku mengambil debu di atas sampulnya. Tentunya aku merasa paling tertarik dengan lukisan di kanvas itu.

 

“Aisha” tertulis dengan warna putih di bagian kanan bawah kanvas itu.

 

Tulisan itu ada hampir pada setiap lukisan di rumahku. Namun aku tak pernah menanyakannya pada ayah. Kupikir, dia adalah seniman hebat yanghasil karyanya menjadi konsumsi ayah, semacam langganannya. Tapi ini aneh, aku melihatnya di Australia. Sehebat apakah Aisha?

 

Dan beruang. Sesuka apakah Sarah dengan beruang? Selain boneka beruang yang berdebu itu; seperti dia tidak lagi memikirkannya. Juga lukisan ini. Lukisan ini menggambarkan induk beruang cokelat yang seperti sedang bermain-main dengan anaknya di pohon tumbang. Juga seperti dia tidak lagi memikirkannya. Seketika aku membayangkan mimpiku semalam tentang beruang abu-abu.

**

 

Aku mendengar suara pintu terbuka. Kupikir dia Sarah. Aku tidak memedulikan tentang dia yang tidak berteriak. Biasanya, setelah pulang dari pekerjaannya, dia langsung memanggil namaku. Kemudian aku mendengar langkah kaki yang lebih berat. Untuk beberapa menit aku tidak memedulikan hal itu. Hingga aku mendengar suara benda-benda yang dipindahkan dengan, sepertinya, kasar dari kamar Sarah. Aku bangkit dan menuju kamarnya. “Sarah!” seruku.

 

Saat aku sampai di depan kamarnya, aku melihat seorang laki-laki yang terlihat tua berpakaian rapi. “Hei” teriakku padanya. Seketika dia berbalik badan. Dia menatapku tajam, pun sebaliknya. “Kau pasti Kevin, kan?” tanyanya santai. “Aku tak tahu tempat pensil mana yang Sarah maksud. Aku baru saja dihubungi untuk mengambilnya” terusnya.

 

Aku masih berdiri canggung. Aku diam. Aku masih menelaah tentang apa yang sedang terjadi di depan mataku. “Oh ya, aku Mike. Kita bekerja bersama. Aku juga tinggal di tower ini” katanya.

 

“Kotak pensil apa yang kau maksud? Aku hanya tahu satu kotak pensil yang berisi banyak flashdisk” jawabku. “Itu ada dibawah tempat tidurnya” terusku. Dia menemukannya, kemudian pergi membawanya. Aku kembali canggung.

 

Saat aku berjalan kembali ke kamarku, aku memikirkan banyak hal. “Benarkah dia rekannya?”, “Apa yang ada dipikiran Sarah sehingga menyuruhnya?” dan “Sepenting apakah flashdisk itu?” Aku sempat berpikir bahwa dia adalah pencuri yang sedang berkedok, dan pada saat aku memikirkan itu, aku merasa seperti pecundang. Jangan-jangan itu berisi banyak hal penting.

**

 

Aku sedang mengendarai mobil. Di atas jembatan, aku mulai mempercepat lajuku saat aku sadar ada mobil lain yang mengikuti. Setelah jembatan itu aku lewati, aku langsung membanting kendali ke arah kanan dan mobilku terbang. Itu tidak mendarat seperti yang aku bayangkan. Mobilku rusak, aku keluar. Setelahnya aku mengendap bersembunyi ketakutan. “Siapa dia yang mengejarku?” batinku.

**

 

Ini minggu pagi. Saat aku bangun dari mimpi kejar-kejaran tersebut, aku melihat Sarah tidur di sampingku. Aku tak tahu kapan dia pulang. Aku sudah tidur sebelumnya; setelah kejadian canggung dengan Mike.

 

“Hei” bisikku pelan membangunkan Sarah. Perlahan dia bangun,

 

“Hei Kevin” katanya sambil mengucek kelopak matanya. “Apa yang terjadi?” tanyaku. “Aku takut” jawabnya singkat. Dia bangkit lalu memelukku erat.

 

“Semalam ada seorang masuk ke kamar, dan..” kataku dalam peluknya. “Ya, aku tahu” jawabnya. “Dia temanmu?” tanyaku kembali. “Ya” jawabnya singkat, aku mendengar hembus nafasnya setelah jawaban itu. “Aku juga.. takut” kataku.

 

Bersambung…