Oleh: Adhy Nugroho
KETIKA SENDIRI, kadang aku membayangkan dunia di luar petak kecil ini. Sambil menatap langit-langit, aku membayangkan bahwa kita semua sebenarnya ada di bawah langit yang sama. Jogja. Aku membayangkan ada seorang pekerja yang baru saja menuntaskan harinya. Ia memutuskan untuk singgah di warung kopi, bercengkerama dengan si penjual, mengadu tentang nasibnya yang tak kunjung berubah meski telah sepuluh tahun bekerja.
Sementara anak kecil dari dalam mobil, ia duduk di kursi belakang memandangi pekerja itu. Ia mempertanyakan apa yang sedang ia bincangkan. Sementara mobil terus melaju. Seratus meter kemudian anak itu lupa apa yang ia pikirkan tentang si pekerja. Pun si pekerja yang tak menyadari keberadaan anak kecil di dalam mobil yang lewat begitu saja.
Atau London. Aku membayangkan ada seorang gadis Amerika yang sedang berjalan di tepi jalan. Ia merasa tidak nyaman setelah gerombolan remaja melecehkannya secara verbal. Namun ia tetap melanjutkan langkahnya. Sementara seorang laki-laki yang berpapasan melihat dan mendengar kejadian itu. Namun ia tetap diam dan melanjutkan langkahnya.
Seratus meter kemudian, laki-laki itu lupa apa yang baru saja terjadi, bahkan lupa bahwa gadis itu benar-benar ada di dunia. Kadang aku berpikir bahwa itu nyata. Sedangkan aku hanya membayangkannya di sini. Di ruang kecil di tengah kota Melbourne.
**
Pagi-pagi aku dan Sarah duduk sambil menonton televisi. Bagiku musim panas cukup menyenangkan untuk pergi ke taman atau melihat perahu-perahu di pelabuhan. Aku suka anginnya musim panas. Tapi Sarah enggan. Ia hanya ingin duduk di depan televisi. Pun aku tidak akan menolak jika ia membuka bir dinginnya. Bir dingin untuk 26 derajat bukan hal yang konyol bagiku.
“Berapa suhu paling tinggi di musim panas?” tanyaku
“Entah. Aku pernah melihat 35 derajat. Beberapa tahun lalu bahkan menyentuh 40” jawabnya santai.
“Itu gila?”
“Ya. Itu adalah kemarahan. Musim panas seperti itu membawaku gila” jawabnya masih santai. Dia masih menatap televisi. Aku mengalihkan pandangan darinya, lalu menuang bir ke gelas.
“Di angka 33, aku masih nyaman” kataku sambil menarik gelas.
“Ya. Kamu anak katulistiwa” tegasnya. Dia berdiri dan menyuruhku menunggu. Dia berjalan menuju kamar. Seperti katanya, aku menunggu. Televisi masih menyala, menyiarkan berita tentang angin; aku tidak begitu peduli.
Sarah kembali sambil membawa sebuah gulungan. Itu peta. Peta dunia.
“Lihatlah! Kamu tahu kamu sedang di mana?” tanyanya setelah membuka peta itu.
“Tentu. Itu pertanyaan yang pasti sudah bisa kujawab ketika aku masih SD,” jawabku. Aku sedikit meremehkan pertanyaannya.
Jelas saja. Sejak kecil, aku selalu antusias mendengarkan cerita-cerita penjelajah dunia dari ibuku. Colombus, da Gama, Magelhaens. Tentu ia menjelaskannya dengan bantuan peta dunia. Bahkan lebih dari itu, ibuku lah yang mengajariku menggambar. Setelah sebelumnya aku hanya berkutat pada gambar donat, mobil, atau dalam level yang lebih tinggi karakter-karakter Dragon Ball. Ibuku mengajariku menggambar peta. Sekarang ketika aku membuat gambar apapun, aku merasa sedang menggambar peta, seperti yang diajarkan oleh ibu.
“Melbourne, Victoria” jawabku sambil menunjuk letaknya.
“Ya. Di sebuah daratan yang aneh” jawabnya.
“Mengapa?”
“Dia ada di selatan bumi. Tidak ada daratan lain di selatan bumi selain Antartika. Dia terlalu luas untuk sebuah pulau. Karena ada Australia, dia menjadi aneh untuk disebut benua” jawabnya.
Aku berusaha menimpal. “Bukankah lebih aneh kepulauan yang ada di sebelah utaranya?” kataku sambil sedikit tertawa.
“Ya, begitulah. Itu mengapa aku bekerja” jawabnya santai.
Kemudian dia menceritakan banyak hal. Jika diurutkan, dia memulainya dengan bagaimana sikap Inggris terhadap daratan ini. Kemudian dilanjutkan dengan terbentuknya Australia. Yang menarik perhatianku adalah bagaimana Australia berinteraksi dengan Indonesia. Aku tidak pernah membayangkan bahwa Indonesia dengan Australia bisa berinteraksi layaknya dengan Malaysia. Sebelumnya aku hanya tahu bahwa beberapa orang di sini mendukung kemerdekaan Papua. Ternyata, Sarah menceritakan terlalu banyak hal menyangkut interaksi dua negara ini. Aku benar-benar tidak habis pikir.
Ketika dia menceritakan tentang Timor Timur, aku masih mendengarkan. Namun ketika dia mulai membahas perang Vietnam lalu masuk ke bahasan mengenai komunisme, aku tidak lagi antusias. Aku berdiri, keluar, merasakan angin.
**
Hari-hari sebelumnya, aku melihat Mike layaknya matahari di musim panas. Dia secara sederhana mempesona. Tidak ada lagi kecanggungan. Dia terlihat aneh, bukan dalam artian yang buruk. Pernah sekali ia bertanya, dengan cara bicaranya yang agak gagap.
“Bagaimana jika ada laki-laki buruk ingin memiliki Jess?” tanyanya. Dan aku tidak bisa menjawab. Aku bahkan merasa sudah terlalu buruk sebagai saudaranya, lagipula apa hakku untuk hal itu? Lalu aku mulai memikirkan ibu. Anehnya, Mike menyadari ada yang berbeda. Itu mengapa aku bilang dia aneh.
Aku masih ingat suatu percakapan dengannya di satu sore. Aku tak pernah menanyakan ini kepada Sarah, sehingga aku menanyakannya kepada Mike.
Aku bertanya, “Apa yang sebenarnya kalian kerjakan?”
Lalu dia menjawab, singkat “Menulis.”
Aku terdiam. Dia, yang lagi-lagi aneh, malah menanyaiku balik “Kau suka menulis?”
“Tidak,” jawabku. “Untuk apa?”
Lalu dia mulai membenarkan posisi duduknya, juga posisi bahunya, seakan dia akan mengatakan suatu yang sangat berat. “Beberapa orang menulis untuk kemanusiaan?” katanya.
“Apakah mereka termasuk kau dan Sarah?” sahutku.
“Dan beberapa orang menulis karena ia adalah budak dari majikannya” jawabnya yang tak menjawab.
“Apa warna kerahmu?” aku mengambil istilah dari seorang Amerika, entah, aku yakin saja dia paham. Namun dia tidak menjawab, “Merah muda” katanya.
Aku mulai memalingkan wajah, diam. Berharap dia mengerti bahwa dia tidak benar-benar menjawab pertanyaanku. Aku menunggu untuk satu babak baru perbincangan. Dan aku berharap dia yang memulainya.
Benar saja, dia aneh, katanya “Yang pasti, kami butuh pengakuan. Itu saja. Orang Indonesia mungkin tidak akan membaca tulisanku, tapi jika ada, kuyakin itu bermanfaat untuk hidupnya”
**
Sarah menghamipiriku di bawah. Sebelumnya aku sedang duduk, mendengarkan radio, dan melihat kendaraan dan orang-orang berlalu lalang; membayangkan kehidupan orang-orang asing yang sekelebat lewat. Aku melihatnya, tapi mungkin tidak dengan dia. Aku memikirkannya, tapi mungkin tidak dengan dia. Dan semua pikiranku hanya dugaan-dugaan tak beralasan. Itu bisa membuatku senang dalam kesendirian.
“Suatu saat kita bisa jalan ke selatan dan berkeliling kota dengan tram bersama Adam” katanya.
“Maksudnya?” aku masih memandangi jalan.
“Ya dia akan datang ke sini suatu saat. Tidak mungkin tidak. Kapan terakhir kalian berbicara?”
Aku diam. Aku hanya membayangkan tentang perbedaan antara berbicara dan bercengkerama. Aku merasa sudah tidak pernah lagi bercengkerama dengannya. Dan ketika Sarah merencanakan sesuatu yang indah, aku hanya merasa sebuah kecanggungan. Masihkah dia berarti setelah hampir tiga musim ini?
“Kau tahu..” Sarah mulai bercerita. Nadanya seperti orang yang akan menceritakan masa lalu. Dan benar saja.
“Dulu kau sempat ingin pulang setelah aku menceritakan sesuatu. Bagaimana jika cerita itu hadir di musim panas yang indah ini?”
“Kau tahu..” katanya, lagi.
“Jika kau pulang musim panas ini, aku akan ada di kabin yang sama denganmu..”
Sementara langit mulai memerah, aku bercengkerama dengan Sarah. Ini tidak sepanas 40 derajat, ini jauh di bawahnya. Tapi ini membawaku pada kegilaan.[]
Baca juga cerpen Seri Melbourne yang lain: