Menepis, terus menepis sambil tertawa datar dan sesekali menyebut sesuatu yang seharusnya aku lupakan sejak lama.
Hanya untuk validasi perasaanku sendiri yang sebenarnya sama sekali tidak mereka butuhkan. Mereka hanya butuh diriku untuk berkata ‘iya’ atau ‘tidak’ tentang rumor yang menyeruak terpampang di grup-grup pergunjingan. Namun, semua akan sama saja jika aku mengatakan iya, pasti kamu akan dicari. Jika aku mengatakan tidak, mereka akan terus mencecarku sampai aku mengatakan ‘iya’. Rumit, manusia dengan segala kehausannya akan gosip yang menurut pikiran mereka benar.
Jika saja aku tidak berada di bulan Mei tahun ini, melainkan bulan Mei tahun lalu ketika aku belum mengenal kamu. Posisiku saat itu masih seorang gadis yang duduk sendirian di bangku pedestrian sambil memblokir nomor ‘kasih tak sampai’ku dan mencari kehidupan bebas setelah dijatuhkan di sebuah tempat bernama Blue Sky Rest-of-run.
Blue Sky Rest-of-run.
Mengingat tempatnya, membuatku kembali menghela napas berat sembari meremas scarf tartanku yang bernoda Americano. Satu tahun dua bulan berlalu, scarf itu masih tergantung di tembok samping tempat tidurku untuk mengingat bagaimana kamu menumpahkan Americano panas yang baru kamu terima dari Akorn –pemilik Blue Sky- saat kakimu sok berputar tanpa melihat aku yang antre menunduk di belakang demi secangkir mapple latte.
Sejenak termangu, bahkan panas Americano hari itu tidak membuatku sadar bahwa punggung tangan kananku melepuh. Karena aku hanya fokus pada mapple latte, sepenggal kisah kasih tak sampai, dan tempat ketika semua berakhir. Setelah kamu membawaku ke meja pojok bernomor 20 dan dengan panik membersihkan tanganku, aku baru sadar jika hari itu, kisah kasih tak sampaiku berhenti begitu saja.
Tergantikan oleh sosokmu yang ceroboh, tukang panik, tetapi happy virus di sisi lain. Dengan kamera profesional tergantung di lehermu, dan jaket jeans biru yang membuat batinku meneriakkan satu nama: Julian Varlone.
Tolong jangan lagi, aku memohon.
Aku bahkan berharap, lebih baik seorang tuna wisma tak berpendidikan saja yang menumpahkan minumannya di scarf–ku, lalu kumaafkan dia dengan segala kecerobohannya, dibandingkan bertemu kamu yang selama ini hanya mendiami deja–vu ku, atau dari unggahan-unggahan teman-temanku. Sontak aku menarik tangan menjauh dari kamu yang menyeka dengan air dingin, kemudian kamu mengernyit saat menatap wajah dinginku.
“Ada apa? aku mencoba bertanggung jawab,” katanya.
Ya, kamu hanya bertanggung jawab pada luka fisikku, bukan luka hati yang membuatku tidak yakin bahwa aku bertemu denganmu. Kamu bukan kasih tak sampai-ku. Kamu lebih dari itu, kamu tidak tersentuh, dan itu membuatku makin tidak mau berkontak denganmu. Kamu terlalu sempurna untuk keluar dari imajinasiku hingga sekarang berlutut memegang tanganku.
Bisakah kamu bertanggung jawab atas segala penolakan dalam hatiku karena kisah yang terpaksa berhenti sebelum selesai?
Bisakah kamu menjelaskan bahwa perasaan yang muncul dalam diriku adalah perasaan bersalah? Karena aku menginginkanmu di saat aku sendiri hanya satu di antara penggemarmu yang berteriak dari baris paling depan. Tentang aku yang terlalu melewati batas hingga meninggalkan yang terbaik demi yang terburuk, tentang aku yang tidak pernah mengenal kata bertahan.
Aku sempat menyebutnya euforia sesaat, tetapi ternyata kamu tidak membiarkan kupu-kupu ini keluar sangkar. Kamu ingin mereka terbang menggelitik perutku untuk waktu yang lama, sampai kamu dengan arogannya mematikan mereka di dalam diriku, menyisakan sebuah kisah yang berakhiran sama dengan aku dan kasih tak sampai-ku. Kamu, tidak pernah tahu bagaimana aku dan gadis-gadis sejenisku mendamba kedatanganmu pada pintu masuk ruang kosong mereka.
Lalu, tiba-tiba aku jatuh hati pada bintang baru, yaitu kamu. Kamu yang selalu bilang jomblo setiap ada orang bertanya tentang status percintaanmu, tetapi itu lebih buruk lagi bagiku. Kamu, yang bahkan kata ‘gorgeous’ masih sulit untuk mengungkapkan bagaimana aku menatapmu, lebih dari sekadar kata ‘charming’, meninggi di atas luar biasa, dan tidak tergambarkan. Lalu, aku bertanya pada diriku sendiri “Bisakah yang ini?” Jawabannya tetap menunjukkan kata “Tidak” sambil mencemoohku, lagi.
“Tidak perlu, terima kasih. Ini hanya luka kecil,” ujarku membalas bujukanmu untuk menyentuh tanganku untuk menolong warna kemerahan ini. Yang kamu tidak tahu, aku sedang menahan tangis untuk segala kata yang tidak terucap.
Tuan yang sempurna, tuan yang tiba-tiba berada di sini, tuan yang kemudian pergi, tuan yang tak tersentuh, terima kasih untuk genggaman tanganmu yang pas melingkupi tanganku yang akan menjadi memori untuk diingat seumur hidup. Meskipun aku tidak bisa mengambil potretmu karena di sini aku harus berpura-pura menjadi satu di antara banyak orang yang tidak mengenalmu.
Menyakitkan, di saat ekspetasiku ingin menyapamu dengan satu kata ‘hai’ tetapi yang terjadi adalah aku harus menjadi orang lain yang tidak peduli dengan dirimu. Bagaimana rasanya, tidak peduli pada orang yang aku cintai? Kukatakan, sangat buruk. Karena apa yang ingin aku teriakkan dari dasar paru-paruku dengan apa yang tersebut di ujung lidah bisa membuat sahabat-sahabatku menjauhiku karena terlalu banyak berbohong.
Kamu tahu, kedatanganmu yang kukira akan membuatku lupa akan kisah sebelumnya, ternyata sama saja. Bahkan, lebih buruk. Membisu, aku tidak bisa menjelaskan kenapa situasinya berubah menjadi suram dan hanya kamu yang duduk di hadapanku sambil merasa bersalah. Ketika Akorn datang dan memberikan dua cup gelas berwarna hijau, aku meneguk salah satunya. Ternyata mapple latte hanya akan dihidangkan saat musim gugur. Kukira aku meminum matcha, tetapi saat lidahku mencecap rasa asing, baru aku sadar ini jus Kale.
Kesukaanmu.
Dan kamu mengernyit dengan rasa manis matcha–ku. Aku tahu, kamu bukan pencinta makanan atau minuman manis. Singkatnya, gelas kita pun tertukar. Jika seharusnya aku tertawa dengan atraksi kebodohan ini, sekarang aku justru cepat-cepat mengemas barang di mejaku. Kamu panik, mencoba menahanku dan mengira mood–ku rusak karena kejadian hari ini. Kamu bahkan menahan bahuku dan menunjukkan tatapan bersalah yang malah membuatku makin merasa bersalah.
Bagaimana bisa aku dengan tidak tahu dirinya membuat seorang superstar merasa bersalah? Mood–ku baik-baik saja, aku bersumpah. Namun, mataku yang tidak baik. Aku tidak mungkin menjual air mata di depanmu karena ribuan kata yang tidak terucap atas pertemuan kita. Harusnya hari ini aku masih bersedih karena masa laluku, tetapi kamu membuatku makin sedih karena pertemuan tak terduga yang menyebabkan ekspetasiku melambung.
Tidak bisa begitu, aku harus bertahan. Terakhir kali aku berharap pada teman dekatku yang terkenal, dia meninggalkanku dengan foto polaroid gadisnya yang dititipkan padaku. Apa yang bisa aku harapkan dari kamu yang jauh lebih terkenal? Aku harus menghindar sebelum ini menjadi kasus bola salju.
Aku pergi, setelah bilang pada Akorn untuk membayar pesananmu juga. Tidak waras, malah aku yang mentraktir seorang superstar dengan uangku yang tidak sebesar miliknya dan kondominium mewahnya. Namun, ini semata agar kamu tidak menyadari bahwa aku adalah salah satu gadis yang meneriakkan namamu saat konser di stadion ibukota negara dua tahun lalu bersama kasih tak sampai-ku.
Aku tersenyum, dengan berbagai makna saat melihatmu berdiri di ambang pintu Blue Sky Rest-of-run. Kamu masih mencerna tentangku, mungkin. Aku hanya menggelengkan kepala sambil terus menapaki pedestrian. Jalur yang sama setelah aku patah hati bulan Mei tahun lalu.
Dan aku bertaruh, setelah ini pasti kamu hanya akan mengendikkan bahu kemudian bergabung dengan teman-teman seusiamu untuk berpesta, mabuk sampai larut, sampai kamu lupa tentangku yang membingkai kisah ini untuk jadi cerita selamanya.
Oh, semoga sukses dengan single barumu, dan aku akan kembali menjadi gadis yang membawa nyanyian itu dalam tidurku.
Penulis: Guireva Gahara
Editor: Rizky Fadilah