Ada dua desa yang sedang mengalami kesulitan. Pertama adalah Desa Timur yang mengalami kekeringan air, sedangkan Desa Barat mengalami kekurangan minyak tanah. Sudah hampir mencapai delapan bulan kemarau melanda. Sungai sebagai sumber air satu-satunya mulai mengering. Warga Desa Timur mulai cemas terhadap kekeringan yang tiada akhir. Mereka berharap akan turun hujan dengan mengadakan pembacaan doa-doa suci, zikir, hingga shalat istisqa berulang kali, hujan tidak juga turun-turun. Para warga resah dan mengadu kepada kepala desa untuk mencari solusi. Pak Mahmud selaku kepala desa juga kebingungan harus dengan cara apa lagi, seluruh kegiatan baik sudah dilakukan. Semenjak kemarau datang, hasil kebun dan panen gagal. Para warga semakin kesulitan. Mahmud masih memikirkan solusi di saat warganya mendesak meminta tindakan apa yang harus ia lakukan sebagai kepala desa.
Di tengah keresahan warga dan kemarau tak berakhir, Mahmud memutuskan pergi ke Desa Barat untuk menemui sahabatnya Bagas. Pria itu Kepala Desa Barat, kabarnya di sana terdapat air melimpah. Mahmud berencana akan melakukan perundingan bersama sahabatnya itu, setelah mendengar kabar bahwa di Desa Barat memiliki perairan yang melimpah. Ia tiba di sana setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Lelaki itu disambut baik oleh Bagas, mereka berbincang mengenai masa-masa muda dan kerinduan Bagas terhadap Desa Timur, tempat ia dan Mahmud hidup berdampingan dan tumbuh di lingkungan yang sama, selama lima belas tahun. Karena berbeda tujuan dan cita-cita, keduanya berpisah dan hanya berkabar melalui surat dari Desa Timur ke Barat. Baru kali ini Mahmud bertatap wajah dengan sahabatnya itu setelah sekian lama, karena kemarau membuatnya harus mendatangi Bagas untuk meminta pertolongan. Sedangkan Bagas selaku Kepala Desa Barat juga mengeluh akan keadaan desanya yang kini mengalami krisis minyak tanah. Masyarakatnya semakin gelisah.
“Wahai Mahmud sudah berapa lama kemarau di desamu?”
“Sudah hampir delapan bulan kemarau di Desa Timur”, jawab lelaki itu.
“Di desaku ini juga sudah setengah tahun warga gelisah, karena hasil minyak tanah mulai berkurang, sedangkan sebagian besar warga di sini menggunakannya untuk segala hal,” keluh Bagas sambil membuang abu rokok ke dalam asbak.
“Kita sama-sama memiliki masalah masing-masing, sebenarnya aku ke sini hendak meminta pertolonganmu”, ucap Mahmud membuat Bagas menatapnya dengan saksama.
“Katakan saja, hal apa yang bisa aku bantu buatmu”, balasnya dengan sungguh-sungguh diiringi tatapan cemas pada sahabatnya itu, sepertinya juga memiliki hal yang mendesak.
“Karena masing-masing kita memiliki masalah yang hampir sama, aku rasa bukan hanya kau yang akan membantuku, tapi jika kau setuju aku akan senang hati membantumu juga”, ujar Mahmud memulai dengan hati-hati.
“Tentu, kita akan saling membantu. Katakan dahulu apa yang bisa kami bantu untuk membantu masalah di Desa Timur?” Tanya Bagas penasaran.
Mahmud tidak langsung menjawab, ia meminum segelas kopi, lalu membenarkan posisi duduk.
“Begini, kedatanganku kali ini ingin mengajakmu untuk kerja sama, di desaku sedang memiliki minyak tanah berlimpah dan desamu memiliki air berlimpah.”
Mahmud terdiam sejenak, ia menghisap rokoknya beberapa saat. Lalu melanjutkan pembicaraan.
“Bagaimana kalau air di desamu ditukar dengan minyak di desaku?”
“Bagaimana caranya?” Timpal Bagas sedikit bingung. Mahmud menjelaskan bahwa ia berniat membuat aliran dari Desa Barat menuju Timur agar sungainya tersambung, hingga sungai yang kering akan terisi. Sedangkan minyak tanah dari Desa Timur akan dikirim ke Desa Barat dalam jumlah banyak dan dipasok, persediaan selama kelangkaan minyak. Akhirnya perundingan itu disetujui Bagas dan mulailah dibuat aliran sungai baru, warga Desa Timur dan Desa Barat saling bekerja sama. Akhirnya terisi sungai yang mengering selama delapan bulan itu, sedangkan Desa Timur kini rutin mengirimkan minyak tanah ke Desa Barat.
Karena adanya kerja sama yang saling menguntungkan, dua desa tersebut awalnya lega karena kesusahan yang dialami kini mulai teratasi. Tapi sayangnya di Desa Timur kemarau masih melanda dan hujan tidak kunjung turun, warganya masih menggunakan air sungai dari aliran Desa Barat. Lama kelamaan air dari Desa Barat mulai kering dan minyak di Desa Timur mulai kehabisan stok. Hingga pada akhirnya dua desa tersebut kembali pada titik awal, bahkan kini lebih parah. Kedua desa tersebut kini kehilangan persediaan air dan minyak. Warganya tak bisa lagi bertahan, mereka melakukan migrasi ke berbagai daerah, hingga kedua desa tersebut mulai kosong. Bagas dan Mahmud juga sepertinya tak lagi berkomunikasi dengan baik. Bagas sibuk mengurus keluarganya untuk pindah ke daerah lain, sedangkan Mahmud meratapi dirinya yang merasa bersalah. Karena semua ide berasal darinya. Sebenarnya dua desa itu tidak menyalahkan Mahmud, hanya saja lelaki itu merasa bersalah karena dirinya memulai petaka tersebut. Demi bertahan hidup, ia dan keluarganya pun pindah ke daerah lain. Secara perlahan Desa Barat dan Timur kian sepi, hanya ada beberapa warga yang bertahan dengan setia terus berharap menunggu hujan turun.
Penulis: Riska Wdiana
Editor: Revy Anestasia