Ya walaupun sebenarnya sudah sedikit basi sih. Namun, kalau diingat-ingat juga kurang kerjaan para pejabat di sana. Tanggal 11 November 2020 lalu muncul berita tentang Pembahasan RUU Larangan Minuman Beralkohol oleh Badan Legislasi DPR yang kemudian menimbulkan pro dan kontra berbagai kalangan. Pada awalnya mungkin berita ini kurang saya perhatikan, tapi kalau dipikir-pikir DPR pintar juga memancing amarah anak muda yang suka minum dan mabuk. Walaupun banyak yang mengira bahwa RUU ini pengalihan isu dari RUU Cipta Kerja (Terutama mas-mas yang mendaku aktivis kiri progresif), tapi keliatannya asyik juga kalau membahas tentang barang yang berbau alkohol. Sebenarnya minuman beralkolhol sendiri sudah dekat dengan kehidupan masyarakat zaman dulu terutama dalam masyarakat Jawa Kuno, terbukti dengan ditemukannya beberapa naskah kuno. Misalnya naskah Adiparwa yang menyebut Madya Naranya, sajeng (minuman beralkohol yang bernamanya sajeng). Di mana naskah itu disalin ke dalam bahasa Jawa Kuno pada era Raja Dharmawangsa Teguh yang memerintah di Medang Kahuripan (991-1016). Lalu apa yang sebenarnya dipermasalahkan oleh bapak-bapak berdasi ini?
Jika bapak-bapak berdasi tersebut masih berdalih bahwa budaya minum-minuman beralkohol bukan budaya kita, itu salah besar. Terdapat banyak bukti mengenai budaya meminum minuman beralkohol lokal sejak dahulu. Seperti dalam Naskah Kakawin Ramayana yang dibuat sekitar abad ke-9 disebutkan beberapa jenis madya (sebutan minuman beralkohol dalam bahasa Jawa Kuno), seperti mastawa dan pana. Terdapat pula pada Prasasti Pangumulan A dari 824 Saka (902) juga menyebut jenis-jenis madya: “Demikianlah minuman keras yang diminum ada tuak, siddhu, ada jatirasa dan air kelapa (dun ni nyung).”
Menurut Titi Nastiti ahli Epigraf Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dalam “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno” menyebutkan bahwa dun ni nyung (air kelapa) dalam Prasasti Pangumulan dikategorikan ke dalam salah satu jenis minuman keras. Berbeda dengan Kakawin Ramayana yang disebutkan duh nikan nyu sebagai air kelapa yang belum diolah. “Dengan riang gembira saling berebut monyet-monyet mengunyak dan mematahkan tebu, mereka berjalan di jalan raya sambil mengenyangkan badan dengan meminum air kelapa, mengambil dagingnya jatuh ke dada”, dalam Kakawin Ramayana.
Begitu pula dengan minuman beralkohol khas Solo, ciu atau yang biasanya disebut dengan ciu Bekonang merupakan sebuah minuman dari olahan tetes tebu yang sudah begitu dekat dengan masyarakat bahkan hingga mahasiswa luar kota yang sedang berkuliah di Solo. Dilansir dari Vice Indonesia, Selasa (26/02), “Praktik fermentasi dan penyulingan alkohol di Bekonang tumbuh sesudah berdirinya pabrik gula Tasikmadu dan perkebunan tebu milik Praja Mangkunegaran pada Abad ke 18. Masyarakat setempat memproduksi ciu sesuai permintaan dari keraton, walau tak tersedia arsip detail bagaimana resep ciu ditemukan, minimal warga berpatokan sejak masa itulah Bekonang terkenal sebagai penghasil miras tradisional.”
Permasalahan tak kunjung usai itu dimulai ketika pembahasan RUU Cipta Kerja yang semakin absurd, lalu terbitlah RUU Larangan Minuman Beralkohol. Dalam draft RUU Larangan Minuman Beralkohol yang diunggah di situs resmi DPR RI disebutkan bahwa ada pengecualian yang memungkinkan minuman beralkohol tetap diproduksi atau disajikan. Ini tercantum dalam pasal 8 yang menyebut minuman alkohol mendapat lampu hijau untuk kepentingan adat, ritual keagamaan, wisatawan, farmasi, dan tempat-tempat yang diizinkan oleh Undang-Undang.
Dalam bayangan pengusul RUU ini, wisatawan harus menunjukkan KTP atau kartu identitas yang setara untuk menunjukkan agamanya mengizinkan konsumsi minuman beralkohol. Namun, terdapat pengecualian di pasal 8 yakni untuk acara adat dan acara keagamaan, tetapi bertentangan dengan pasal 4 maupun pasal 19 yang memidanakan penyimpanan segala jenis alkohol termasuk minuman lokal seperti tuak, sopi, atau brem. Terlebih menurut beberapa orang, RUU ini tidak bisa diterapkan di seluruh daerah di Indonesia karena masih ada beberapa wilayah yang mempertahankan budaya minum-minuman beralkohol untuk keperluan upacara adat ataupun keagamaan, misalnya Bali dengan arak Balinya dan NTT dengan arak sopi.
Ada salah satu poin yang begitu kontroversial dalam usulan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini, yaitu pasal yang menyebutkan “Setiap orang yang memeluk agama islam dan agama lainnya dilarang untuk memproduksi, memasukkan, menyimpan, mengedarkan, dan/atau menjual mengonsumsi minuman beralkohol golongan A, golongan B, golongan C, minuman beralkohol tradisional, dan minuman beralkohol campuran atau racikan yang memabukkan.”
Pernyataan salah satu poin tersebut sudah jelas mengindikasikan bahwa yang mengajukan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini dari fraksi PKS, PPP dan Gerindra. Ketiga partai tersebut menggunakan hukum Islam untuk mengatur semua penduduk Indonesia, tidak peduli apa agamanya. Hal itu sesuai dengan salah satu penyataan anggota fraksi PPP Illiza Sa’aduddin Djamal dilansir dari Liputan6.com secara eksplisit menegaskan ada andil keyakinannya pribadi sebagai muslim dalam usulan RUU itu. Ia mengutip surat Al-Maidah ayat 90-91 yang menyarankan muslim menjauhi “perbuatan keji” di mana salah satunya merujuk kepada minuman keras.
Di sisi lain, perlu diingat juga walau konsumsi minuman beralkohol di Indonesia tidak besar, tetapi pemasukan negara dari cukai minuman beralkohol sangat signifikan. Dilansir dari Kontan, Senin (23/12), pemasukan dari cukai minuman beralkohol saja sepanjang 2019 mencapai Rp 7,3 Trilliun.
Justru ketika RUU ini disahkan dan dipaksakan malah merusak nilai kebhinnekaan itu sendiri, entah mengapa dan karena apa. Sepertinya bapak-bapak DPR ini lebih suka untuk mengurusi urusan apa yang boleh diminum oleh warga negaranya daripada mengurus kesejahteraan warga negaranya yang justru begitu penting.
Masalah mau minum atau tidaknya minuman beralkohol tidak seharusnya diperdebatkan, semuanya kembali pada kepercayaan dan tentunya individu masing-masing. Kalau mau minum, ya silakan asalkan tahu resiko yang akan ditanggung dan jangan resek. Bukankah lebih indah ketika kita sama-sama menghormati pilihan hidup setiap manusia selama itu tidak mengganggu kehidupan orang lain? Akhir kata, untuk para peminum yang suka mabuk, minum dan mabuklah dengan bertanggung jawab!
Penulis: Muhammad Achmad Afifuddin
Editor: Aulia Anjani
[email protected]