Oleh: Vera Safitri
“Aku sendiri yang tau nasibku, karena aku sendiri yang menentukan takdirku. Jika ada wangsit yang menyatakan aku menunggu Candi Laron, maka benar apa yang terjadi hari ini. Kau datang membawa cecunguk-cecunguk prajuritmu itu. Ayo, sini! aku akan hadapi,” kata Semar setengah teriak.
“Anakku, Gareng, Petruk, Bagong, bersiaplah kalian!”
“Siappp laksanakaaannn!!”
Lampu berkelap-kelip, lalu gelap. Mereka benar-benar saling serang.
*
HARI ketika Togog dan Bilung mengepung Semar dengan bala tentaranya, seluruh rayap di jagad ini barangkali sedang masyuk dengan pekerjaannya. Rayap-rayap yang matanya bertatap langsung dengan pertarungan mereka sekalipun bakal acuh. Tentu itu karena para rayap tak punya urusan dengan Semar, bahkan tak kenal siapa Semar. Meski Semar kita ini, selalu memikirkan rayap.
Soal rayap ini pula yang membikin anak-anak Semar: Petruk, Gareng dan Bagong saling ribut. Mereka kesal. Semar seharian hanya diam dan melamun saja. Ditinggal Gareng nyolong jemuran, Semar diam. Ditinggal Bagong mbalang asu, Semar masih diam. Sampai ketiga anaknya itu main permainan abc lima dasar pun, Semar tetap saja diam.
Lama setelahnya barulah Semar berbicara. Anak-anaknya lebih banyak terkejut dibandingkan lega, macam menyaksikan batu Malin Kundang yang kembali jadi manusia.
Kelegaan yang mereka rasakan tadi bertambah surut dan malah berganti kesal, saat mengetahui kelakuan Semar yang membisu tadi rupanya karena dia sedang memikirkan mimpi.
“Oalah, Mo…Mo, mosok urusan ngimpi wae nggawe stres anak-anake […] Terus iki romo ngimpi, ngimpekke rayap sisan. Maksud e piye coba?” (Oalah, Pak…Pak, masak urusan mimpi saja sampai bikin anak-anaknya stres. [..] Terus ini bapak mimpi, mimpi rayap pula. Maksudnya bagaimana coba?) ujar Bagong sengak.
Memang dasar Semar, tokoh yang disebut Sindhunata sebagai wujud identitas, kearifan dan pamomong (Kompas, 6 November 2017) ini malah memilih menghabiskan waktunya untuk memikirkan mimpi yang dianggapnya wangsit. Sepertinya ia percaya bahwa lewat mimpi, alam sedang berbicara padanya.
Semar pun bercerita tentang mimpinya. Katanya ia melihat banyak laron dan blanthongan rayap mengerubutinya. Saat bangun, ia benar-benar melihat ada sarang rayap di depan rumah.
“Lalu romo berpikir keras untuk menemukan jawaban, apa yang sebenarnya menjadi alasan para laron keluar dari sarangnya. Apa pula nasib laron ini setelah keluar dari kerajaan rayap, dan bagaimana tanggung jawab para blanthongan yang dengan sengaja membantu mereka keluar dari sarang. Sungguh itu adalah pertanyaan besar yang ada di kepala bapak.” Begitu kata Semar.
Petruk, Gareng dan Bagong pun mendengarkan dengan penuh bosan dan tak mengerti. Tapi Semar ogah peduli dengan tingkah anak-anaknya itu, ia malah terus bercerita tentang mimpi anehnya itu. Tapi Togog dan Bilung keburu datang menyemai emosi.
TENTU saja cerita ini tidak asli terjadi. Semar kita ini adalah tokoh rekaan Paiman Hadi Supadmo, petani tua dari Karanganyar yang sempat menjadi tahanan politik (tapol) dan diasingkan ke Pulau Buru pada masa Orde Baru. Dan dipentaskan oleh Teater Sopo, FISIP UNS.
Tokoh Semar diperankan oleh Alfian Wahyu. Sedangkan Petruk, Gareng dan Bagong diperankan oleh: Asrori Arofat, Bayu Secundtyawan dan Sarah Dhiba. Bilung dan Togog yang selalu bikin riuh penonton diperankan oleh, Ardea Ningtyas dan Novi Hasrianti.
“Sudah, sudah, Mar! Kau tak usah berlagak seperti pendeta. Aku ini pejabat. Ayo berangkat! Karena kalau berangkat kau mati, tidak berangkat juga mati. Sekarang kau sudah dikepung oleh bala tentaraku,” Bilung mengancam Semar dengan penuh angkuh.
Semar yang menolak tawaran Togog dan Bilung untuk berangkat ke Kerajaan Ngastina dan bergabung dengan Kurawa sudah tak bisa menahan jengkel. Anak-anaknya muntab. Peperangan pun terjadi.
Dari jauh, Listiyo Budi menyaksikan peperangan itu dengan mata serius. Tak peduli meski sebenarnya ia sudah menyaksikannya puluhan kali. Listiyo adalah alumni Sosiologi FISIP UNS yang menyutradarai pementasan Teater Sopo kali ini. Sudah sejak Juli lalu, dia dan Teater Sopo berlatih memerankan lakon Semar Nunggu Candi. Dan akhirnya, adegan yang ia tonton Kamis malam kemarin, 9 November 2017 di Gedung Kesenian Balekambang Solo itulah yang jadi ujungnya.
“Aku pikir naskah yang ditulis oleh Mbah Paiman ini menarik buat dipentaskan,” katanya sambil tetap memandangi para pemain di atas panggung.
Rayap, menurutnya menyimbolkan masyarakat yang gotong royong dan rajin. Setiap bagian dari sebuah koloni rayap berbagi tugas agar bisa menghidupi ratu rayap dan memperluas sarang. “Sedangkan Bilung dan Togog itu seperti kerbau, kuat, besar tapi tak bisa mandiri dan tak kenal gotong royong, individualis.” Ujar Tiyo.
Sebelumnya, lakon ini sudah sempat dipentaskan di Desa Pereng, Mojogedang, Karangayar, desa tempat tinggal Paiman, pada 28 Oktober 2017 lalu. “Ini dilakukan karena memang kami tujukan kepada masyarakat pedesaan, para petani. Ya, sesuai dengan harapan Mbah Paiman sendiri bahwa semua yang dia lakukan itu buat masyarakat desanya, jadi kami pentaskan ini di hadapan warga desanya Mbah Paiman,” jelasnya.
TAK LAMA setelah adegan perang itu berlalu, tepuk tangan penonton terdengar riuh. Lampu dihidupkan tanda pementasan sudah usai. Para pemain tampak bungah. Tiyo langsung dikerubungi jabat tangan. Jabat tangan yang sama juga ia berikan pada para pemain teater sebelum naik pentas. Itu dua jam yang lalu.
“Nah, sekarang kita sudah sampai penghujung proses latihan kita yang berbulan-bulan. Semoga penonton terhibur. “ kata Tiyo di depan 19 orang yang terlibat dalam pementasan malam itu.
“Untuk memulai pentas kita ini, mari kita berdoa kepada Tuhan yang Maha Esa agar semuanya berjalan lancar. Berdoa mulai!”
Doa selesai, Tiyo, para pemain dan seluruh anggota Teater Sopo yang ada di situ saling berjabat tangan.[]