Sumber gambar: cadaazz.com
Judul : Merayakan Fana
Rilis : 2023
Produser : Iga Massardi, Gerald Situmorang
Label Rekaman : Hu Shah Records
Dalam pandangan saya, kesan kebanyakan orang terhadap lagu-lagu Barasuara adalah lirik puitis diiringi dengan musik rock yang dipadu dengan irama rancak. Bukan hanya sing along, tetapi mungkin juga bikin pendengarnya jingkrak-jingkrak. Sekarang, ceritanya sedikit berbeda. Menuju album ketiganya, Barasuara menyajikan lirik yang lebih dalam dengan aransemen yang lebih megah. Decak kagum pendengar tidak terhenti pada diksi dan irama, tetapi juga pada tema besar yang diangkat. Perubahan ini akan membawa Barasuara kepada proses kreatif yang lebih ‘dewasa’. Melalui “Merayakan Fana”, grup musik rock asal Jakarta ini memperjelas kisi-kisi evolusi persona mereka di album terbarunya nanti.
“Merayakan Fana” rilis pada 15 Februari 2023 dengan membawa sejumlah kolaborator di dalamnya. Barasuara dibantu oleh komponis kawakan, Erwin Gutawa dalam penulisan aransemen orkestra. Selain itu, ada juga Adra Karim yang menambahkan bagian organ dan synth, grup orkestra Czezh Symphony Orchestra yang produksi aransemen orkestra, serta personil Hondo, Kamga Mohamad yang membantu produksi vokal. Bagian ‘non-musikal’ turut menghadirkan kolaborator, yakni fotografer Yogi Kusuma dalam pembuatan artwork musik.
Kalau boleh mendeskripsikan “Merayakan Fana” dengan dua kata, saya bilang lagu ini magis dan megah. Seperti yang disebut sebelumnya, “Merayakan Fana” dibalut dengan musik orkestra. Kolaborasi bersama Erwin Gutawa menciptakan kesan megah pada lagu terbaru Barasuara ini. Masih dengan tetap identitasnya sebagai band ber-genre rock, Iga Massardi dkk. berhasil menyusun nada dan irama orkestra dengan sangat rapi di tengah musik upbeat khas Barasuara. Tetap dengan cukup distorsi, tetapi kali ini diiringi dengan suara strings, mellotron, dan flute yang cantik. Progresi chord yang tidak klise terkesan cukup gelap dan dramatis. Percampuran aliran yang berbeda ini membuat “Merayakan Fana” terkesan sangat magis. Secara tempo, memang tidak secepat lagu-lagu lainnya seperti “Guna Manusia”, “Api dan Lentera” atau “Bahas Bahasa”. Akan tetapi, ini bisa dimengerti karena tema besar “Merayakan Fana” lebih cocok sebagai bahan kontemplasi daripada pembangkit semangat.
Barasuara mengangkat tema yang cukup gelap menuju rilisan album terbarunya. Sebelumnya, mereka merilis single “Fatalis” yang menceritakan amarah, kebimbangan, dan kekacauan di tengah pandemi. Ketimbang memilih isu-isu sosial duniawi yang kerap dijadikan inspirasi, “Merayakan Fana” membawa tema ukhrawi. Melalui perspektif masing-masing personelnya, Barasuara mengangkat tema kematian dan kehidupan setelahnya. Kembalinya kepada Sang Khalik, penyesalan atas segala perilaku, pengadilan hidup, dan kesendirian manusia di akhirat kelak terangkum lengkap dan cantik dalam lagu ini. Ketimbang membalutnya dengan perasaan sendu, Barasuara memilih untuk ‘merayakannya’ dengan beragam deskripsi kematian yang menarik. Untuk membuatnya ‘meriah’, lagu ini menyuguhkan kematian sebagai pengalaman psikadelik – asing, sulit dipahami, dan di luar nalar. Sebagaimana halusinogen, “Merayakan Fana” melayangkan jiwa-jiwa mereka untuk melihat ‘megahnya’ perjalanan kematian. “Merayakan fana dan psikadelia,” demikian terucap dalam salah satu penggalan liriknya.
Yang menjadi hook di lagu ini adalah bagaimana cara Barasuara dalam menggambarkan kehidupan setelah mati. Kombinasi lirik berima dan aransemen musik yang selaras telah mengaitkan hati saya pada satu bagian lagu yang menarik.
Yang menciptakan hidup dan kematian
Tempat di mana kita dikembalikan
Dalam penghakiman dan kesendirian
Semua kesaksian, kebenaran
Bukti ribuan penyesalan
Kembali kepada Sang Pencipta adalah keniscayaan. Saat manusia kembali, mereka bukan pulang tanpa ‘kabar’. Di hadapan-Nya, manusia harus merasakan penghakiman atas segala tindakannya di dunia. Tidak satupun yang bisa dimintai pertolongan. Mereka semua sendiri meskipun satu saat nanti, manusia akan berkumpul di tempat itu juga. Rekaman kehidupan akan diputar kembali, tentu dengan segala detailnya. Seperti barang bukti, manusia harus memberi kesaksian dan kebenaran atas apa yang terjadi. Karena tidak ada yang bisa diulang, tidak heran jika manusia akan banyak menyesali perbuatannya terdahulu.
Gambaran akhirat ini ditampilkan dengan cantik sekaligus mencekam oleh Barasuara. Suasana musiknya terdengar serasi dengan isi liriknya. Jika Barasuara adalah Avengers, maka bagian ini adalah momen ‘assemble’-nya. Semuanya keluar dan mengeluarkan jurus masing-masing yang paling jitu. Strings pada orkestranya terdengar begitu ciamik. Tabuhan drum yang intens menambah kesan menegangkan. Vokal yang dinyanyikan oleh Iga Massardi terasa sangat emosional, sementara Asteriska dan Puti Chitara memperindahnya dengan harmoni yang menawan pada vokal latar. Dengan gambaran situasi gonjang-ganjing diwakilkan oleh progresi chord yang fluktuatif ala nada-nada dramatis, namun tetap terdengar manis.
Sudah jadi barang umum bahwa Barasuara dikenal sebagai grup musik yang berwarna-warni. Kebanyakan karya mereka memberikan mood yang tidak stagnan. Tidak banyak bagian lagu yang repetitif. Boleh jadi, faktor background personel yang berbeda-beda inilah yang membuat Barasuara dikenal seperti demikian. “Merayakan Fana” bisa menjadi perkenalan Barasuara kepada publik yang lebih luas dengan cara yang lebih ‘dewasa’. Kini, pembagian peran artistik lebih merata ketimbang karya-karya sebelumnya yang lebih sering didominasi oleh Iga Massardi. Mudahnya, kita bisa mendengar ciri khas masing-masing dari Iga, Gerald, Marco, TJ, Puti, dan Icil dalam single “Merayakan Fana” yang super mewah ini.
***
Menuju album barunya, saya sebenarnya tidak berharap yang muluk-muluk. Sebagai bagian dari “Penunggang Badai” (sebutan penggemar Barasuara), saya hanya berdoa semoga produksi album ketiga Barasuara dipermudah dan dilancarkan segala prosesnya. Lebih-lebih, bisa kembali meramaikan musik tanah air dan menciptakan karya-karya yang jujur, membumi, dan apa adanya. “Merayakan Fana” mengobati kerinduan kami sekaligus memberi rasa optimis bahwa Barasuara masih membara dan lantang bersuara. Viva La Barasuara!
Penulis: Raihan Musthafa
Editor: Diah Puspaningrum