Judul : Jagal : The Act Of Killing (2012)
Sutradara : Joshua Oppenheimer
Durasi : 2 : 39 : 41
Produksi : Final Cut For Real, Denmark
Jagal : The Act Of Killing film garapan Joshua Oppenheimer yang dinaungi oleh rumah produksi asal Denmark ini rilis pada 1 November 2012 silam. Jagal : The Act Of Killing atau yang dikenal dengan Jagal merupakan film dokumenter yang menyorot kisah Anwar Congo, seorang preman dibawah organisasi Pemuda Pancasila pada tahun 1965-1966 bertujuan untuk memberantas sisa-sisa PKI pada masa kepemimpinan Soekarno. Anwar Congo dikenal luas oleh masyarakat Sumatera Utara sebagai seorang algojo yang dengan sadis membunuh orang-orang yang diduga menjadi anggota PKI pada tahun 1965 hingga 1966. Bukan hanya PKI, Anwar Congo beserta anak buahnya pada masa itu juga membunuh orang-orang berdarah Etnis Tionghoa yang diisukan ikut menggunakan gerakan komunisme pada tahun tersebut. Beberapa tokoh penting ikut serta dalam film dokumenter yang pada perilisannya sempat dicekal untuk tayang di bioskop Indonesia karena dianggap sebagai upaya asing untuk memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Disamping itu, film ini sempat diartikan sebagai salah satu bentuk upaya dalam mengungkap kebenaran di balik hilangnya korban-korban pembunuhan Anwar Congo yang diduga-duga dilindungi oleh pemerintahan pada saat itu.
Film dokumenter berdurasi 2 jam 39 menit ini dibuka dengan memperlihatkan patung ikan mas yang menjadi salah satu ikon wisata Danau Toba di Sumatera Utara selama beberapa menit dan kemudian 6 orang perempuan terlihat keluar dari mulut ikan sembari menari-nari dengan latar musik “Born Free” yang menjadi soundtrack dari film Jagal. Film ini berfokus pada pengalaman hidup seorang Anwar Congo dan anak buahnya saat melakukan pembantaian terhadap PKI. Dalam film dokumenter ini terdapat beberapa pernyataan serta cerita yang dinyatakan oleh para pelaku aksi pembantaian anggota PKI dan juga Etnis Tionghoa. Alasan mereka melakukan hal-hal tersebut kurang lebih karena mereka menganggap para korban pantas untuk mati dan harus mati demi keberlangsungan tatanan negara. Selain itu, mereka menganggap paham komunisme membuat mata pencaharian para preman meredup. Seperti Halnya diceritakan bahwa Anwar Congo dulunya hanyalah seorang preman yang biasa menjual karcis di bioskop. Film-film laris pada medio dekade itu adalah film keluaran negara Amerika Serikat yang apabila paham komunisme tersebar luas maka film-film garapan luar negeri akan semakin sulit masuk. Pada akhirnya, hal itu akan berimbas pada ladang penghasilan Anwar Congo sebagai penjual karcis yang terhambat.
Film ini juga memberikan gambaran bagaimana para pelaku penghabisan anggota PKI ini menikmati masa-masa saat menyiksa dan membunuh korbannya. Joshua Oppenheimer berhasil mengait tokoh penting yang ikut dalam penghabisan anggota PKI yaitu Adi Zulkadry yang dengan tegas mengatakan bahwa mereka para pemberantas PKI jauh lebih kejam daripada PKI itu sendiri dan Adi juga mengatakan ia ingin seluruh masyarakat tau kebenaran akan kekejaman yang mereka lakukan pada tahun 1965-1966. Dalam film ini juga menampilkan tokoh-tokoh negara seperti Jusuf Kalla yang saat film ini dirilis tengah menjabat sebagai Wakil Presiden, disusul dengan nama Syamsul Arifin Gubernur Sumatera Utara, Japto Soerjosoemarno Pemimpin Pemuda Pancasila dan Ibrahim Sinik pengusaha pers pendiri Medan Pos yang sempat menjadi salah satu informan penting pada tahun 1965-1966 bagi Anwar beserta anak buahnya dalam melancarkan aksi pembantaian, serta Sakhyan Asmara Wakil Menteri Pemuda dan Olahraga.
Semakin lama film ini semakin menunjukan sisi gelap orang-orang pemerintahan yang ikut andil dalam pembantaian PKI. Selain itu, film ini juga mengungkap bisnis ilegal yang mendukung keberlangsungan Pemuda Pancasila serta para tokoh yang ada dibalik keberlangsungan organisasi Pemuda Pancasila. Film ini mencoba menggugat status quo, bahwa “preman-preman” pada saat itu yang tergabung dalam Pemuda Pancasila melakukan sesuatu yang sewajarnya dan sangat membantu negara dalam menumpas paham komunisme adalah salah.
Dalam perjalanan menguak peristiwa yang sebenar-benarnya terjadi pada tahun 1965-1966, Joshua juga membantu Anwar Congo beserta rekan-rekannya dalam merealisasikan pembunuhan yang ia lakukan pada zaman itu yang dikemas dengan tema cerita koboi dan menjadi salah satu inspirasi Anwar Congo dalam menghabisi korban-korbannya. Pengambilan film Jagal yang dilakukan oleh Joshua cukup sederhana dan tidak memainkan banyak teknik dalam menyorot kehidupan seorang Anwar Congo. Eksekusi pengambilan gambar film Jagal : The Act Of Killing terkesan cukup formal seperti tengah mengambil siaran wawancara, hal itu memberi sedikit kesan ketegangan.
Film ini berhasil menyuguhkan pemikiran “gila” para pelaku yang merasa diri mereka tidak salah dan merasa seperti superhero dalam tindakan mereka pada tahun 1965-1966. Saat perilisan film ini, Anwar merasa ditipu oleh Joshua, Anwar mengatakan bahwa pada awal mulanya judul film yang Joshua suguhkan padanya adalah Arsan dan Aminah, akibatnya nama dari para kru yang ikut terlibat dalam pembuatan film Jagal : The Act Of Killing disamarkan agar tidak diburu oleh Anwar Congo dan anak buahnya. Meski mendapat respon negatif oleh pemerintahan, namun film ini berhasil membawa pulang beberapa penghargaan serta masuk kedalam nominasi bergengsi seperti MacArthur Fellowship, Penghargaan Film Eropa, LAGI dan masih banyak lainnya.
Chikara Oca Cahya D. Mahasiswa kimia angkatan 23 yang suka ketiduran.