Di tengah gempuran air mata langit dan suasana hati kelabu, saya sedang berusaha merampungkan tugas yang teramat memuakan. Setiap hari rutinitas saya hanya bertemu pada kejenuhan yang diselimuti sedikit senang karena disuruh nyemil, nyemil, dan nyemil (si bapak dan ibu di tempatku magang sepertinya semakin ingin mengurangi ruang lengang untuk baju-baju saya). Akhirnya saya memutuskan untuk buka-buka laman saluransebelas.com siapa tahu dapat inspirasi tulisan biar bisa segera menuntaskan kewajiban dari sang maha suruh.
Menilik rubrik demi rubrik, siang itu saya tertarik membuka rubrik Ngasal-usul ini. Cukup aman juga sebenarnya nulis di rubrik ini, pesaingnya belum banyak. Ketertarikan saya terhadap rubrik ini sama kadarnya dengan ketertarikan saya pada hal-hal berbau mahasiswa Fakultas Teknik atau saya sering menyebut mereka “anak teknik”. Tidak tau mengapa dan kenapa, anak teknik selalu mencuri perhatian saya secara personal. Tapi, tidak dengan si maha suruh yang saya maksud di atas, karena kebetulan beliau dari Fakultas Teknik juga bund, xixixi. Saya masih ingat dengan jelas waktu masih menjadi maba UNS dan sedang tidak menerapkan physical distancing alias kumpul-kumpul dengan teman satu kelompok PKKMB. Tiba-tiba teman saya ada yang nyeletuk, “Kamu deket sama anak teknik ya?” Secara random dia bertanya seperti itu. Saya hanya bisa ketawa. Dan sekarang, tawa saya menjadi tawa yang menggelikan, saya benar-benar dekat sama anak teknik. Tapi, ya hanya saya saja, dia tidak.
Membaca tulisan mbak Vera, Celaka Asmara Mahasiswa Teknik yang menjadi inspirasi saya menulis Ngasal-usul ini (walaupun sudah sangat telat, nggakpapa-lah yaa daripada tidak sama sekali kan?), seharusnya sudah bisa membuat saya sadar. Bagaimana rasanya tidak bisa malam mingguan, tidak dibalas dengan cepat chat-nya, atau malah ditinggal “pacaran tugas” sama anak teknik. Tapi, karena saya selalu memikirkan yang indah-indah untuk diri saya sendiri, tidak mungkin lah semua anak teknik seperti pacar mbak Vera. Pasti ada 0.1% dari populasi mahasiswa Fakultas Teknik laki-laki yang santai dengan tugas praktikumnya. Dimana yang saya sadari betul, tugas itu “mungkin” termat menghantui kehidupan perkuliahan mereka. Pasti ada. Gigih saya tak tertandingi, sudah seperti bapak ibu “Wakil Rakyat” yang ngotot mengesahkan Undang-Undang sampai dini hari hanya untuk keberlangsungan sejahteranya rakyat Konoha yang baru saja ditinggal Naruto ke rahmatullah. Ya, mungkin beliau-beliau itu punya rencana jangka panjang yang hanya diketahui sanak familinya atau orang-orang dalam lingkar kuasanya saja. Kalau kata embak-embak yang sering saya lihat saat mereka pamer berantem dengan pacarnya, mereka akan bilang “Kamu enggak akan ngerti!”.
Sebenarnya, angan saya memang begitu jauh. Merasakan yang namanya ditembak cowok saja belum pernah ada kata-katanya di buku diary saya. Apalagi, harus saya yang menunjukkan rasa itu kepada seorang mahasiswa yang maha keren dari fakultas mentereng karena ke-cool-an cowok-cowoknya. Itulah payahnya saya, belum bisa se-feminis mbak Vera dan selalu terjebak dalam mencinta dalam diam. Padahal sudah dapat mata kuliah soal Gender, beberapa kali juga ikut bahkan sempat mengurus webinar Feminisme.
Namun, tekad “Menjemput Celaka Asmara Mahasiswa Teknik” itu cukup kuat saya rasakan. Begitu dangkal dan liar apa yang saya pikirkan saat ini. Situasi pandemi mungkin akan membuat orang bisa saja jatuh cinta lebih mudah. Mereka tidak perlu bertemu, hanya bertukar sapa lewat gawai yang semakin canggih di zaman yang semakin gila ini. Sama gilanya seperti saya yang selalu membicarakannya dalam setiap lamunan diri saya sendiri atau gemar berhalusinasai karena melihat-lihat fotonya melalui instagram pribadinya. Bahkan saya pernah menangkap fotonya diam-diam yang menjadi awal dari semua ini saat sedang asyik-asyiknya mengikuti trend sebagai maba UNS, foto di trotoar jalan menuju Fakultas Teknik untuk mengabadikan momen jatuhnya bunga angsana yang sangat estetik pada zamannya. Sebuah memori yang bagus untuk kelanjutan kisah cinta saya ini.
Betul, kami memang hanya bisa terhubung dengan Instagram. Saya tahu kesehariannya ya dari update-an cerita Instagramnya. Kisah klasik di era modern ini. Saya sudah seperti mencintai Nicholas Saputra. Yang tidak pernah posting wajahnya yang sungguh menyejukkan itu, yang mungkin saja para ukhti bisa keceplosan bilang “rahimnya anget” kalau-kalau NicSap sehari posting satu foto wajahnya. Tapi nyatanya kan, hanya apa yang NicSap lihat yang dia bagikan, bukan apa yang dia punya.
Walau tidak separah NicSap, cowok FT satu ini hanya punya tiga foto yang dia posting. Postingan itu pun, yang pertama adalah foto setengah badannya yang diambil dengan latar belakang matahari atau sering kita kenal dengan foto siluet, sedangkan dua foto lainnya adalah foto kucing yang dia letakkan di pundaknya dan ikan cupang dalam akuarium kecil yang lebih tepat disebut toples, sepertinya itu hewan peliharaannya.
Sebelumnya saya mengira anggapan saya salah dan kisah cinta mbak Vera adalah clue-clue akurat bagi mahasiswi FISIP yang naksir mahasiswa FT. Sehingga, yang bisa saya lakukan kalau-kalau sudah sangat tidak karuan dengan rasa cinta diam-diam ini hanya dengan mengirim Direct Message ke akun instagramnya. Tapi tetap saja, saya belum seberani Will dan Stella yang melanggar peraturan dalam pengobatan mereka untuk tidak berdekatan kurang dari 1.3 meter. Karena pada akhirnya, “Five Feet A Part” tidak seindah kisah cinta para pasangan dalam sinetron Catatan Hati Istri.
Singkat cerita, sebelum pandemi ini saya papasan dengan dia di anak tangga Grha UKM. Saya tidak pernah menyangka ternyata selama ini dia mengikuti salah satu UKM yang cukup ternama di UNS. Aseli! Matanya menatap mata saya dan saya hanya bisa bungkam mematung tak tahu harus apa karena reflek juga menatap matanya. Saat itu saya sedang membawa kurang lebih 50 eksemplar Majalah LPM Kentingan untuk dibawa ke sebuah acara. Karena lemas tak berdaya, jatuhlah semua majalah itu, saya kaget, kembali sadar lalu dengan segera lekas mengambilnya. Berharap seperti film-film romantis yang pernah ada, nyatanya nihil. Boro-boro membantu saya, sekedar melihat tumpukan majalah itu berserakan di lantai anak tangga yang rasanya tak pernah dibersihkan itu saja tidak. Ternyata tatapannya merupakan tatapan risih karena ada cewek culun dan ga fashionable seperti saya di kampus ini, di dunia ini. Sudah bisa saya tebak apa UKM-nya!
Lantas apakah saya berhenti memiliki rasa cinta diam-diam ini? Tentu tidak. Sepengalaman saya, terjebak bodoh dengan memendam rasa pada lawan jenis dari duduk di bangku SMP sampai menjadi mahasiswi yang merasa salah jurusan di tahun pertama kuliah adalah hal yang wajar-wajar saja. Hal itu karena Film NicSap (lagi-lagi) dan Dian Sastrowardoyo “Ada Apa Dengan Cinta” 1 dan 2 masih menjadi panduan dalam kisah cinta saya. Menurut saya, setiap cinta punya ceritanya masing-masing. Ya, sampai sekarang dan entah sampai kapan saya bisa memendam rasa cinta ini. Atau entah sampai kapan juga saya tidak tahu pastinya, saya akan menyatakan atau justru meleburkan perasaan ini. Mau anak Teknik itu susah ditebak, terlalu kaku, atau apapun itu yang melekat, saya masih percaya mereka tidak akan sepenuhnya berkutat pada jiwa yang sering terpendam kritik saran penelitian, tugas-tugas atau apapun itu dari dosennya. Kalau kata penyanyi favorit saya, “Cinta memang mungkin inilah cinta. Apapun lagumu aku jiwai.” Tulus – Mengagumimu dari Jauh. []