Lokakarya ‘menjadi mata’ (8/7) (dari kanan: indah – adi – wahyu) – Jasmine Aura Arinda
Patjarmerah, begitu ia memperkenalkan diri pada masyarakat luas. Sebuah festival dan pasar buku keliling nusantara yang selalu dinanti-nanti kehadirannya. Kolaborasi apik bersama orang-orang menakjubkan dalam sesi lokakarya sudah barang tentu tidak pernah gagal dalam menyihir kita untuk bertepuk tangan dan merangkum kagum. Di dalam perjalanannya yang sudah sampai pada hari ke delapan, ia menggandeng komunitas Difalitera dalam temu karya bertajuk Menjadi Mata. Di sana, para patjarboekoe (sebuah panggilan sayang untuk para pengunjung) diajak untuk belajar melihat, merasakan, dan memahami sesuatu dari sudut pandang kawan-kawan netra.
Titik Awal Lahirnya Sastra Suara
Batu berundak di bagian timur Ndalem Djojokoesoeman yang disulap menjadi tempat duduk untuk singgah para pengunjung merupakan saksi bisu atas obrolan seru antara aku dengan wanita berambut pendek itu. Namanya Indah Darmastuti. Seseorang yang sudah jatuh cinta dengan dunia membaca sejak kecil. Mengaku menuai berbagai pelajaran berharga setelah belajar menanam bermacam arti kehidupan. Ketika dirinya telah menginjakkan kaki pada buana kepenulisan, bertemu dan bergabung dalam komunitas sastra, Indah dan kawan-kawan membuat acara bertemakan “Sastra Disabilitas” pada tahun 2015 di Radio Solopos dengan mengundang dua narasumber yang terdiri dari difabel netra dan wicara. Satu teman netra secara berani menceritakan kesulitannya selama ini sebagai sosok yang juga suka bergulat dengan banyak bahan bacaan.
“Dia itu (tuna) netranya nggak dari kecil, jadi sebelumnya memang sudah memiliki pengalaman dalam membaca. Nah, ketika dirinya kemudian menjadi seorang total blind, ia mengaku kesulitan untuk menemukan bacaan yang asik. Novel-novel dengan huruf braille-kan juga masih sangat sedikit, kalau dibacakan melalui screen reader juga suaranya kurang enak.”
Siapa sangka bahwa curahan hati tersebut mampu berperan sebagai titik awal dari proses pembentukan Difalitera. Memang tidak sesimpel itu. Masih ada hal-hal lain yang menjadi bahan pertimbangan Indah dalam proses panjangnya mewujudkan penciptaan wadah sastra suara ini. Salah satunya datang dari seorang mahasiswa yang meminta izin untuk mengonversikan cerpen-cerpen ciptaan Indah ke dalam bentuk audio. Ia berujar bahwa nantinya berkas itu akan diperdengarkan kepada teman-teman netra. Dari sinilah Indah mendapatkan suatu ide brilian perihal kesetaraan.
“Aku langsung mak cling gitu di pikiran. Oh iya ya, boleh juga. Kalau mengubah menjadi braille-kan butuh waktu yang lama, mending dijadikan sebagai audio saja.”
Dinyalakan oleh api semangat yang membara, akhirnya Indah merilis sebuah audiobook di laman Difalitera pada November 2018. Mulanya yang dibacakan hanya seputar puisi dan cerpen saja, tetapi seiring berjalannya waktu, banyak pesan masuk yang meminta Indah untuk membuatkan versi lain, mulai dari cerita anak sampai dengan kisah-kisah berbahasa Jawa. Hal ini kembali menerbitkan suatu gairah di dalam dirinya untuk mengembangkan Sastra Suara Bahasa Nusantara.
Belajar Bersama Teras Baca
Selayaknya penulis yang menginginkan suatu reaksi dari pembaca atas karyanya yang rampung mereka nikmati, Indah pun merasa perlu untuk mengetahui seberapa jauh produk Difalitera ini diterima oleh kawan-kawan netra. Pikirannya diajak mengembara untuk kembali menilik perihal tujuan utama kenapa Difalitera ini harus hadir sebagai penerang dalam loka gulita. Ia tidak mau buah hasil panennya justru tidak terasa manis bagi yang membutuhkan. Hal itulah yang kemudian membawa Indah untuk melajukan kemudinya berkenalan dan mengakrabkan diri dengan tempat bernama Yayasan Kesejahteraan Anak Buta (YKAB) Surakarta.
Di teras asrama dengan lebar yang cukup untuk menampung sekitar belasan orang, Indah mulai membacakan secara langsung novel-novel kepada para teman netra. Rutinitas setiap minggu yang dilakukan selama dua jam ini kemudian berubah menjadi komunitas literasi bernama Teras Baca yang dipublikasikan secara resmi pada Oktober 2019. Berbagai genre telah diselami bersama, tetapi horor masih menjadi andalan mereka. Di sini, kemampuan narator dalam bercerita juga sangat dibutuhkan. Tidak mungkin kisah menyeramkan dilafalkan dengan intonasi yang datar-datar saja atau terlalu menggebu-gebu.
“Kita nggak ada sesi khusus apapun. Kalau di pertengahan membaca ada pertanyaan, ya langsung ditanyakan aja. Kalau nggak, ya aku yang tanya ke mereka, menurut mereka gimana ceritanya. Atau ketika menemukan suatu kosa kata yang cukup sulit, feodalisme misalnya, mereka pasti langsung bertanya. Ngalir pokoke.”
Endah, salah seorang relawan inti Difalitera, turut memberi gambaran mengenai keadaan kawan-kawan netra ketika Teras Baca berlangsung.
“Terus kalau pas baca itu beberapa ada yang suka sambil main-main, Mbak. Jadi ya kita bacainnya sambil mereka mainan apa gitu. Kadang di luar teras juga.”
Meskipun sudah lama tidak aktif karena pandemi, Indah mengaku masih ingin menghidupkan kembali rutinitas ini. Belum ada waktu pasti kapan Teras Baca akan menjadi kesempatan emas untuk berkumpul, membaca, sekaligus belajar bersama lagi seperti sebelumnya, sebab hal ini tentu membutuhkan pembicaraan lebih lanjut antara dirinya dan kawan Difalitera yang lain. Terlebih lagi saat ini siswa dari YKAB yang menetap di asrama hanya tinggal dua orang saja. Atmosfer yang ditimbulkan untuk menggelar hal serupa tentu jauh berbeda apabila dibandingkan ketika masih tersua banyak orang.
“Karena tinggal dua orang, kadang malas. Anak-anaknya maksudnya. Kalau aku sih santai-santai aja, yang dibacain cuma dua juga nggak papa. Ya nanti itu aku rapatkan dulu sama teman-teman enaknya gimana.”
Satu Hari Menjadi Mata
Bertambah hari, Indah mengaku bahwa keinginannya akan pemenuhan hak atas akses literasi dan kesetaraan bagi teman-teman netra turut bertambah besar pula. Seolah ada letupan kembang api yang menyala warna-warni, seperti itulah niat dan tekad kuatnya dalam mewujudkan sekaligus menyaji segala mimpi. Setelah berhasil merilis sastra suara dan membuat teras baca, menjadikan mereka sebagai orang yang mampu mengekspresikan segala perasaan di dalam diri adalah tujuan selanjutnya. Indah ingin anak-anak ini lebih mengenal aksara melalui satu kegiatan sederhana: menulis.
“Aku ingin mereka terus belajar, berliterasi, dan menjadi sosok yang mandiri. Ketika aku ingin mereka bisa menulis juga, aku berpikir ‘oh, berarti kosakata mereka perlu ditambah’. Itulah kenapa akhirnya aku memutuskan untuk mempertemukan mereka dengan sumber aslinya.”
Salah satu teman netra yang tengah membaca ndalem djojokoesoeman (9/7) – Jasmine Aura Arinda
Di depan tiga puluh orang yang hadir dalam lokakarya sore itu, Indah memperkenalkan sebuah kunci baru untuk membuka pintu paritas edukasi milik para teman netra. Ia menamainya ‘Difalitera Membaca’. Suatu bentuk kegiatan jalan-jalan yang sudah dilakoni sejak 2021. Mereka ‘meminjamkan’ matanya kepada kawan netra untuk berkeliling, meraba, menghapal, hingga memahami ruang publik. Para relawan ini akrab disapa sebagai teman jalan. Menariknya, mereka bukanlah orang-orang dengan latar belakang yang pernah atau paham dengan cara mendampingi teman-teman difabel, terutama netra. Sehingga semuanya benar-benar belajar dari nol. Indah pun mengaku bahwa ia juga sama tidak tahunya dan itu bukanlah suatu masalah.
“Ketika pertama kali menemani jalan, tegaskan bahwa kamu adalah teman jalan. Gimana megangnya? Pokoknya kayak gini. Tapi karena setiap teman netra punya kenyamanannya masing-masing, tanya dulu ‘mau digandeng tangan atau pakai siku aja?’. Pada akhirnya, ya saya yang beradaptasi dengan mereka,” terang Yesita, salah seorang relawan Difalitera yang juga merupakan teman jalan. Penjelasan ini adalah lanjutan dari materi sebelumnya mengenai cara menuntun difabel netra.
Rumah dengan bentuk menyerupai joglo yang terlihat arkais itu dipilih menjadi tempat untuk keberlangsungan sesi temu karya. Di sini Adi Cahyono, anggota Tim Advokasi Disabilitas (TAD) Surakarta yang terkadang juga dijadikan Indah sebagai relawan samplukan teman jalan, mengawalinya dengan memberikan praktik sekaligus pemahaman perihal cara memandu jalan teman-teman netra. Mulai dari bagaimana membuat kontak pertama, memegang, hingga posisi pegangan yang benar agar mereka merasa nyaman. Kemudian ia beranjak ke pemaparan yang banyak berhubungan dengan keadaan riil, seperti jalan sempit, naik tangga, mempersilakan duduk, melangkahi lubang, hingga naik transportasi umum.
“Pokoknya apapun yang ada di depan kalian, sampaikan secara detail. ‘Mas, di depan njenengan ada gronjalan’ atau kalau naik BST (Batik Solo Trans) gitu ya bilang aja ‘Mas, habis ini naik tangga 3 trap’.”
“Jangan sampai kayak temen saya. Dia ini difabel netra juga. Waktu mau naik kereta, kan ada jarak antara tempat berdirinya sama peron. Nah, petugasnya itu nggak ngasih tau bahwa itu njeglong. Jadinya ya udah dia jatuh di situ.”
Ucapan Adi berhasil membuat satu ruangan bergidik ngeri atas imajinasi masing-masing.
Di hari terakhirnya, patjarmerah kemudian mengadakan sesi istimewa bertajuk Membaca Ndalem Djojokoesoeman bersama Difalitera dan komunitas Soerakarta Walking Tour. Beberapa dari patjarboekoe yang hadir kemarin mencoba memberanikan diri untuk menjadi teman jalan yang menyanggamkan mata kepada kawan-kawan netra. Setiap inci bangunan yang telah dijadikan cagar budaya itu diraba—bentuk, tekstur, ukuran—bahkan dijelaskan pula soal warna. Kata Indah, jangan hanya menjadi mata, tetapi juga teman. Dan mereka berhasil melantaskannya. Terdengar dari obrolan yang mengalir deras dan suara tawa yang berkelakar keras. Di balik semburat merahnya yang selalu cantik berpendar di ufuk barat, sang surya turut menenggelamkan diri seraya tersenyum cantik menyaksikan pemandangan sore itu.
Arti Setara Menurut Mereka
Dua hari yang aku gunakan untuk membersamai Difalitera dan teman-teman netra sampai juga di titik puncaknya. Ini bukan akhir, melainkan suatu permulaan yang mampu dijadikan bekal untuk pertemuan-pertemuan menyenangkan lainnya. Suatu prolog yang melatih kita untuk tidak terus berkutat pada kemerataan, tetapi juga harus siap melihat pada sisi kesetaraan. Seperti ucapan Wahyu, salah seorang kawan netra yang turut menjadi narasumber pada sanggar karya Menjadi Mata.
“Aku senang banget dilibatkan dalam hal kayak gini. Karena jujurly,” ucapannya terjeda sejenak sebab satu ruangan dibuat tergelak atas pemilihan diksi laki-laki itu. “Sejak SMP saya senang mengumpulkan relawan untuk membantu teman-teman disabilitas netra. Tapi sayangnya kegiatan tersebut vakum dari 2021. Nah, adanya forum-forum begini membuka cakrawala berpikir kita kalau sebenarnya nggak sulit kalau mau sama-sama memahami. Harapannya forum-forum kayak gini ada banyak lagi biar makin banyak orang yang saling memahami. Nanti kalo udah begitu, kata setara itu akan tercapai tanpa perlu bertele-tele.”
Perkataan tersebut diamini oleh Hermi, seorang wanita tunadaksa yang ikut menjadi penonton kala itu.
“Kalau ngomongin setara, acara Difalitera ini sebenarnya sudah suatu bentuk kesetaraan. ‘Kami berhak menjadi narasumber lho, kami berhak bercerita tentang kesulitan-kesulitan kami lho’. Di sini istilahnya menjadi mata, kalau bagi kami teman daksa, ya kalian ini menjadi kaki kami.”
Kalimatnya kembali membawa ingatan ketika di sesi awal ia menjelaskan mengenai pemasangan paving yang sebenarnya belum cukup inklusif untuk kawan daksa. Hermi pernah beberapa kali tersandung ketika berjalan di sana. Pernah juga terpeleset karena permukaannya yang licin ketika hujan turun. Melewati jalanan ber-paving menggunakan kendaraan roda tiga juga membuatnya tidak nyaman. Ditambah persoalan guiding block untuk para kawan netra yang kerap kali ngawur penempatannya. Sehingga ia berharap hal-hal seperti ini lebih dimatangkan lagi oleh pihak terkait agar ruang publik yang inklusif itu benar-benar tercipta.
Menutup pembicaraan petang ini, Indah Darmastuti membawa suatu harapan yang tidak muluk-muluk perihal kesetaraan. Sebuah kutipan yang akan dan terus ia gaungkan untuk menghidupi Difalitera dan seluruh kawan netra agar hak-hak mereka tidak kehilangan nyawa.
“Setaralah sejak dalam pikiran. Kalau bukan teman awas, siapa lagi yang akan membukakan akses para teman netra atas ruang publik dan pengetahuan? Ingat, kapal akan berfungsi sebagai kapal jika terus berada di lautan dan berlayar.”
Penulis: Jasmine Aura Arinda
Editor: Wahyu Lusi Lestari