Menjadi Manusia Seperti Akutagawa

 

Oleh: Stephanie Agatha

 

 

Judul Buku: Rashomon

Penulis: Akutagawa Ryunosuke

Penerbit: akubaca

Alih Bahasa: Suparno

Tahun Terbit: 2003 (cetakan pertama)

Banyak Halaman: 80 halaman

 

 

 

SIFAT DASAR MANUSIA, sebenarnya, hanyalah kumpulan kegilaan yang sangat mudah muncul dikarenakan dorongan-dorongan kecil yang kadang tak masuk akal. Dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Rashomon (2003), Akutagawa Ryunosuke, menggambarkan gejolak batin yang dialami oleh setiap manusia dalam menghadapi pergulatan dalam diri mereka sendiri. Antara akal sehat dengan suatu yang lebih fundamental yaitu naluri bertahan hidup laiknya sifat dasar manusia.

 

 

Kumpulan cerpen ini terdiri dari lima judul cerita dengan latar belakang psikologis manusia yang beragam. Dengan mengangkat ihwal duniawi, simbol-simbol kemanusiaan berupa nafsu, ego, dan prasangka secara apik dikisahkan Akutagawa melalui serangkaian rencana pembunuhan dan angan akan persetubuhan.

 

 

Penokohan pun kerap dibangun melalui pergolakan tiap karakter dalam menghadapi hidup. Baru kemudian menuju cara karakter tersebut menafsirkan kehidupan itu sendiri untuk mencari jati diri. – yang kadang membuat manusia mau menampakkan sifat asli atau dengan malu-malu menutupi.

 

 

Salah satunya alasan untuk mempertahankan eksistensi. Tak jarang manusia mampu-mampu saja mengkambing-hitamkan hal di luar dirinya demi menutupi wajah aslinya. Seperti yang dirasakan oleh seorang Genin tanpa nama, salah satu tokoh yang dibuat Akutagawa. “Sebuah kekuatan asing mendorongnya ke arah yang berlawanan dari dorongan yang dirasakannya ketika ia menangkap perempuan tua itu.” (hlm. 34).

 

 

Birahi dan cinta juga memainkan perannya. Tindakan manusia bisa saja berawal dari dorongan itu, seperti kata Morito dalam Kesa dan Morito, “sekarang ketakutan itu memperoleh cengkeraman kuat dan tetap di dalam diriku.” (hlm. 73) Sebelum akhirnya dia memutuskan untuk membunuh untuk wanita yang bahkan tidak dia cintai.

 

 

Disini lah kekhasan dari Akutagawa. Melalui kumpulan cerpen ini, ia terus memperlihatkan sifat dasar manusia yang kelam. Melanggar nilai-nilai yang sebenarnya diyakini baik oleh manusia itu sendiri. Memunculkan kontradiksi bahwa apa yang selama ini disebut kegilaan, sebenarnya, adalah bentuk asli dari karakter manusia. Padahal oleh masyarakat, individu seperti itu adalah devian atau sekadar dianggap sebagai pencilan dari sebuah kenormalan.

 

 

Ketakutan untuk Hidup

 

 

Hal menarik lain dalam cerpen ini adalah akhir yang selalu mengisahkan tentang sisi kegelapan atau kesepian si tokoh. Terhubung langsung dengan kisah hidup Akutagawa si penderita skizofrenia. Penyakit jiwa yang kerap membuatnya berdelusi mengenai kegagalan hidup. Hal itu terbaca dalam kumpulan cerpennya ini. Seakan ingin menunjukkan apa yang ia rasakan, yakni setiap tokoh utama merupakan perwujudan dari dirinya sebagai manusia yang benar-benar manusia.

 

 

Bahwa inti kehidupan adalah ketakutan. Takut akan kematian seperti yang digambarkan pada cerpen Dalam Semak Belukar dan Rashomon, takut akan jatuhnya harga diri seperti dikisahkan di Jenius Kasmaran dan Kesa dan Morito, ataupun ketakutan akan suatu hal yang aneh dan asing dalam cerpen Buah Jeruk. Sehingga orang yang tidak mengalami rasa ini berarti telah kehilangan yang namanya kemanusiaan.

 

 

Sebagaimana sifat alamiah manusia yang ingin selalu hidup, meskipun akan menemui ribuan ketakutan untuk meneruskannya. Tapi memang demikian yang terjadi di masyarakat kita. Manusia justru melakukan segala cara agar dapat terus disebut sebagai manusia, bahkan ketika apa yang dilakukannya tidak lagi dapat disebut manusiawi. []