MENGHADIRKAN LAPAR TANPA KATA LAPAR

Judul	        : Lapar (Terjemahan dari Sult)
Penulis		: Knut Hamsun
Penerjemah	: Marianne Katoppo
Penerbit	: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan	        : III, November 2019
Tebal		:  284 halaman
ISBN		: 978-979-461-850-9

Sastra selalu istimewa sebab ketidaklangsungan maknanya. Penyampaian maksud yang terkesan ‘malu-malu’ membuat penikmatnya berkelindan terjerat rasa penasaran, sebab yang disampaikan dengan terus terang terkesan membosankan. Ketidaklangsungan ini disebut oleh seorang pakar linguistik nusantara, Henry Guntur Tarigan sebagai bahasa figuratif seorang pengarang. Bagi Tarigan, penggunaan bahasa figuratif menghidupkan ekspresi perasaan pengarang dengan bahasa yang tidak pada umumnya, namun jauh lebih dalam dari makna umum itu sendiri. Satu di antara penulis yang mampu memberdayakan bahasa figuratif dengan cukup baik adalah seorang novelis dari Norwegia yang berhasil mendapatkan anugerah Nobel Sastra pada tahun 1920, Knut Hamsun dalam novelnya yang berjudul Sult (lapar).

Dengan menggunakan sudut pandang orang pertama, Knut Hamsun mendeskripsikan arti yang sesungguhnya dari lapar yang hebatnya tanpa perlu menggunakan kata ‘lapar’ dalam barisan kalimatnya. Kelaparan sebagai bagian dari penderitaan, diungkapkan oleh Knut Hamsun melebihi arti yang dibatasi oleh Buku Maha Tahu ⸻Kamus Besar Bahasa Indonesia yang memaknai ‘kelaparan’ sebatas perasaan ingin makan, namun tidak ada yang dapat dimakan. Agaknya Knut Hamsun seolah ingin membuktikan bahwa mendeskripsikan kelaparan tidak selalu harus terjebak dalam etimologi, tetapi juga bisa dihidupkan dengan makna-makna liyan yang tetap dapat mewakili hakikat kelaparan. Sebut saja seperti saat tokoh Aku terpaksa minum air mentah (halaman 69), mengingini kebahagiaan hanya dengan sepotong roti (halaman 85), mengunyah keping kayu serta masih menyimpan beberapa keping lainnya untuk dinikmati nanti (halaman 107), menggadaikan kancing baju (halaman 114), hingga meminta sebuah tulang dengan tempelan sedikit daging di sela-selanya (halaman 195).

Kelaparan Adalah Penderitaan yang Sungguh Menyakitkan
Bahasa figuratif yang digunakan Knut Hamsun dalam menghadirkan rasa lapar mencoba memberikan ‘pengertian baru’, bahwa lapar tidak hanya sekadar perut yang kosong, tetapi juga bisa berarti perut yang terisi dengan hal-hal yang tidak layak dicerna oleh perut. Sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh Aku yang sedang kelaparan dan memutuskan meminum air mentah dalam kutipan berikut ini,

Aku membelok di dekat air mancur di pojok pasar, dan minum air seteguk, lalu mulai berjalan lagi, menyeret kakiku satu-satu,…… kepalaku terasa dibakar oleh suatu panas dalam, dan pelipisku seakan-akan dipukul-pukul secara aneh sekali, air mentah yang tadi kuminum sekarang membuatku sakit perut, dan aku muntah kecil kiri kanan di jalan (halaman 69-70).

Knut Hamsun memilih penggambaran lapar yang berbeda untuk menceritakan sosok yang kelaparan. Jika umumnya rasa lapar dideskripsikan dengan ungkapan perut yang berbunyi; belum kemasukan makanan berhari-hari; atau berterus terang dengan kata ‘lapar’, maka Knut Hamsun memilih lambang yang lain lewat ungkapan menyeret kakiku satu-satu yang bermakna tubuh lemah tak berdaya serta sikap meminum air mentah yang bermakna keinginan mengisi tubuh yang lemah tak berdaya dengan apapun yang ditemui secara gratis. Akhirnya, perut tokoh Aku memang tidak kosong, tetapi justru diisi dengan hal yang jauh lebih buruk ⸻air mentah. Hasilnya tokoh aku mendapatkan penderitaan ganda, (tetap) lapar sekaligus muntah-muntah.

Tak hanya air mentah yang digunakan oleh Knut Hamsun untuk menggantikan kata ‘lapar’, Knut Hamsun juga menghadirkan keping kayu yang masih bersih untuk dikunyah.
Beberapa orang tukang kayu sedang melicinkan kayu di luar. Kupungut beberapa keping kayu yang bersih, memasukkan satu ke mulut, dan menyembunyikan yang lain di dalam saku, untuk bekal kemudian (halaman 107).

Lagi-lagi Knut Hamsun menyajikan deskripsi tak lazim untuk merepresentasikan kelaparan melalui tokoh Aku yang mengunyah kepingan kayu. Ironisnya, masih menyimpan beberapa keping lagi untuk dinikmati nanti. Tak ada ungkapan tentang rasa lapar dalam kutipan tersebut, namun mengunyah kayu sekaligus menjadikannya bekal tak akan dilakukan oleh orang yang memiliki banyak makanan.

Rasa lapar juga diungkapkan oleh Knut Hamsun melalui harapan terpendam tokoh Aku yang berupa kebahagiaan tertinggi manusia. Menurut sebagian besar manusia kebahagiaan tertinggi adalah rumah mewah; harta berlimpah; hingga anak-anak yang membuat bangga, namun bagi tokoh Aku tidak seperti itu. Kebahagiaan tertinggi tokoh Aku adalah menyeberangi jalan sambil menggigit sekeping roti, sebagaimana yang terdapat dalam kutipan berikut ini,

Betapa bahagianya insan yang memiliki sekeping roti pada waktu itu! Roti rug yang begitu lezat, yang dapat digigit-gigit sambil menyeberang jalan (halaman 85).

Lewat kutipan di atas, tampak jelas bahwa Knut Hamsun memahami hakikat kebahagiaan akan bervariasi karena mengikuti kondisi yang melingkupi. Bagi para manusia yang sedang meniti karir serta berhasil mencukupi kebutuhan primer, kebahagiaan tertinggi mereka cenderung berhubungan dengan yang sekunder hingga tersier. Sementara untuk kelompok manusia lain kebahagiaan tertingginya cukup dengan sekeping roti, maka betapa deskripsi itu sudah cukup untuk mewakili ungkapan kelaparan adalah penderitaan yang sungguh menyakitkan.

Penulis : Akhmad Idris (Kontributor)
Editor : Aulia Anjani