Foto: Vania Serena Amareta/ LPM Kentingan

Menggenggam Angan

Menggenggam Angan

Di bawah gemerlap bintang setelah standar motor aku turunkan, kemudian membuka gawai lalu menuliskan beberapa pesan,

“Aku udah di bawah.”

“Harus pake helm gak?” Katamu sembari menampakkan raut muka sumringah dari balkon depan kamar kosmu.

“Gausah gapapa yang penting pake masker, polisi sekarang sukanya razia masker udah enggak helm lagi.” Gurauku walaupun tidak lucu tapi tetap kau respons dengan senyum tipis di bibirmu.

Malam ini kita berdua saja, membelah keramaian jalan belakang kampus tetangga. Bersahaja, hanya makan di warmindo sederhana.

“Kamu mau pesen apa?”

“Aku magelangan aja sama es teh, kamu?” Tanyamu seperti chat seorang remaja yang baru mengenal cinta.

“Aku sama, tapi yang beda minumnya.”

“Pasti teh tawar hangat, heran kenapa sih suka banget teh tawar anget lagi, cowok mah minimal es teh atau yang manis gitu,”

“Kenapa aku suka tawar karena di depanku udah ada yang manis dan kenapa aku suka hangat karena lagi gaenak badan.”

“Yee, kirain alesan kedua romantis juga,” bibirmu membentuk lengkungan kebawah dengan manyun. Aku tersenyum geli.

Yang aku suka dari malam ini—dan berjuta-juta malam yang akan datang. Tidak ada momen hening di setiap obrolan kita. Aku menikmatinya, bicara tentang betapa sebalnya kau ketika lupa mematikan mikrofon saat sedang ghibah dengan temanmu padahal sedang kuliah daring atau organisasimu yang sebentar lagi akan mengadakan program kerja, dan juga kau bersedih karena ikan di akuarium kecilmu mati satu karena kau lupa mengganti airnya secara berkala. Belum lagi aku yang selalu berpikir kita ini apa.

Selesai makan setelah berbincang ringan kau mengajak pulang. Sama seperti situasi lainya, bahkan di atas kendaraan pun kita tak pernah kehabisan topik obrolan. Berkagum pada seniman truck yang selalu menggelitik sekaligus satir pada setiap karyanya, atau melakukan tindakan konyol dengan menerobos lampu merah karena memang jalanan yang sepi. Malam itu aku seperti bermimpi.

“Makasih ya, mau langsung pulang apa ngobrol dulu di depan?”

“Mau langsungan aja, udah ditunggu sama temen-temen,”

“Yaudah pulangnya ati-ati, kalo udah sampe bilang.”

Di perjalanan pulang ada perasaan mengganjal di benakku, ada sesuatu yang harusnya tadi aku tanyakan. Sesampainya di kamar kos aku merebahkan badan mengambil gawaiku di saku jaket kemudian menulis pesan,

“Aku boleh gak sih suka sama kamu?” Aku menunggu. Menunggu namamu muncul di layar gawaiku.

“Emangnya kenapa gaboleh?” Malam ini syahdu.

*****

Melirik jam sejenak menghembuskan napas, membuyarkan mantik seiring suara detik. Awan pun berkata demikian, membentuk gumpalan uapnya seperti yang aku pikiran. “Oh, langit saja mendukungku untuk memikirkanmu,” batin halusku. Selain bahasa Mandarin atau bahasa Jepang, bahasa perempuan adalah yang paling sulit dimengerti. Kemarin kau mengiyakan ucapanku, hari ini kau berkata dengan sikapmu. Aku delusional. Kamu flutuasional. Rasioku kalah dengan rasiomu. Logikaku mental dengan logikamu. Anganku tertolak oleh anganmu.

“Nanti jadi habis kuliah kita ke tempat biasa?”

“Eh kayanya gak jadi deh aku ternyata ada janji sama Kak Anis.”

“Ada janji apa kok aku gak tau?”

“Yee, bukan urusan kamu juga kali.”

Seketika runtuh semua kepercayaan diriku untuk mendapatkanmu. Hati kecilku mulai menghibur ini, “Mungkin urusan organisasi.” Yang aku tau Kak Anis adalah ketua divisi di organisasi keagamaan Ella. Ikatan Keluarga Mahasiswa Kristen. Ya mau bagaimanapun untuk urusan peribadatannya aku di luar kendali. Hati kecilku senantiasa menyemangati untuk terus tersenyum dan berpikiran positif. Sel-sel darah merahku selalu menyalurkan semangat ke sendi-sendi hidupku. “Kalo bukan aku yang nyemangatin diri sendiri, mau siapa lagi?” gumamku. Hubungan ini memang kalo dipikir dengan logiku cukup rumit. Setelah sekian lama kami bersama tak ada kata sayang terucap, setelah sekian lama bercakap tak ada sedikit pun rasa rindu tersampaikan meskipun pernah beberapa hari aku melalukan ekspedisi buka jalur di salah satu gunung.  Sepulang dari ekspedisi tak ada satupun ucapan rindu yang keluar dari bibirnya. Entah, rasanya ingin sekali aku berteriak, bertanya untuk apa yang ku lakukan selama ini, tak berarti. Hari itu sepulang kuliah dengan motor tuaku langsung meluncur menuju kosan. Merebahkan badan dengan alunan musik folk yang memutarkan lagu dengan nada-nada instrumental. Perlahan tapi pasti badan terasa melayang dan akhirnya tertidur pulas.

*****

“Hey bangun, aku bawain makanan nih pasti kamu belum makan kan? Tidur kok masih pake baju yang tadi dipake kuliah.” Mataku beradaptasi dari dunia mimpi ke dunia nyata. Terbangung karena suara seorang gadis yang baru saja ku temui di alam mimpi. Namun, ini nyata hampir aku tak bisa membedakan keduanya.

“Loh kok kamu disini?”

“Iya aku tau kamu belum makan terus langsung pulang ke kosan. Tadi aku masuk juga dibukain pintu sama Arif. Bangun dulu cuci muka terus ini dimakan.”

“Iya, sebentar.”

Aku sedikit memaksa tubuhku bangun kemudian berjalan ke arah kamar mandi. Membasuh muka dengan air. Setelah agak segar baru tersadar bahwa aku belum menunaikan salat ashar. Salah satu kewajiban yang senantiasa aku lakukan tanpa paksaan. Kemudian aku mengambil air wudhu dan kembali ke kamar.

“Aku salat ashar dulu ya udah mau abis waktunya.”

“Baru aja mau aku tanyain udah salat apa belum, yaudah buruan.”

            Hey perasaan ini benar adanya bukan? Atau aku yang terlalu berimajinasi? Layak ku memperoleh predikat raja delusional apabila benar ini semua fiktif. Namun, kamu tidak. Kamu ada, kita tercipta. Bisa tolong aku? Tolong sampaikan pada Tuhanmu, bolehkah aku yang bukan hambanya mencintai umatnya. Jika tidak, mengapa kita tercipta? Mengapa Tuhan kita seperti sengaja mempertemukan makhluknya hanya dibuat untuk terluka. Aku tidak mau menyaktimu kau pun begitu. Semoga semesta memihak kita.

Aku mendoakan kita di akhir doaku. Meminta keyakinan pada Tuhan tentang rasa ini.

“Yuk dimakan, atau mau aku suapin?” Yang keluar dari mulutmu ada hal yang selalu membuatku senang dan tenang, aku tak perlu lagi cemas apakah kau masih ada di bumi ini atau tidak hanya dari mendengar suaramu di dekatku.

“Tadi ada rapat?”

“Iya bulan depan mau ada retreat ke villa. Aku ditunjuk jadi sie acara coba males banget ya kan pasti nanti sibuk deh.”

“Ya gapapa dong, itung-itung nambah pengalaman juga, nggak jadi sie konsumsi mulu. Tambah lebar nanti.”

“Kamu tuh ya gak sadar diri orang masih lebar kamu seribu kali nih aku cubit.”

“Aaahh tidak ada moster mengamuk.”

Tawa kita pecah tatkala mentari mulai sembunyi kembali ke tidur lelapnya malam ini untuk kembali esok membawa sinarnya sebagai penghangat di bumi. Aku tak perlu cemas lagi setelah mendengar ceritamu. Yang aku sukai darimu, tak ada kebohongan yang pernah terucap. Kau menjaga kejujuranmu seperti kau menjaga senyum semua orang. Aku menyanyangimu mulai hari ini sampai nanti kapan tau.

“Udah malam, kamu tadi kesini naik apa?”

“Aku tadi di anter Aisyah.”

“Yaudah abis ini aku anterin pulang yah.”

“Iya.”

*****

Dering suara alarm gawai mengagetkanku, hampir saja aku jantungan terlebih saat baru ingat bahwa hari ini aku janji mengantarmu ke gereja untuk kebaktian minggu. Semalam di penghujung telepon kau sempat memintaku mengantarkan karena motormu baru masuk bengkel. Setelah mengumpulkan cukup banyak nyawa aku bangkit dari tidurku dan sesaat melirik notifikasi handphone. Ada chat darimu rupanya. Spam chat untuk memastikan apakah aku tidak lupa bangun pagi dan mengantarmu hari ini. Setelah membalas pesan cerewetmu bergegas aku ke kamar mandi untuk ritual pagi serta mandi dan bersiap-siap menjemputmu ke kosan.

“Udah siap?”

“Udah dari tadi kali, sebel hampir aja aku pesen ojek online kalo kamu ga buruan muncul. Udah mau telat nih, yuk.”

“Siap tuan puteri, kita berangkat.”

Dalam hatiku bertanya apakah perasaan ini, keseharian macam apa ini? Terasa masam. Apakah akan seterusnya seperti ini? Berjalan di atas awan yang ringan, meniti pada seutas tali, berenang di lahar gunung merapi. Semesta, apakah kau tega membiarkan semua ini terjadi?

Kata orang rumah adalah bangungan yang kokoh untuk melindungi manusia dari hujan atau panas, tapi bagiku rumah bukan sekadar bangunan, bukan pula sekadar melindungi manusia dari panas atau  hujan. Lebih dari itu, rumah adalah tempat untuk pulang. Sesuatu yang nyaman untuk bersandar saat lelah menghampiri dan menetap. Namun, ketika berada di rumah, tak ada perasaan lain kecuali bahagia. Dan rumah belum tentu hanya sebuah bangunan, bisa saja seseorang, bisa saja suasana yang dirindukan, bisa saja makanan, atau minuman kesukaan, dan bisa saja kamu. Ella.

            Kubersujud tatkala mendoakanmu, kau menggenggam tanganmu tatkala merapalkan namaku. berjalan di atas dua kaki, tertatih, terkikih, tak kokoh. Ini terlalu rumit. Ujung dan pangkal sulit sekali dibedakan. Aku takut, seseorang pernah berkata, “sekuat apapun terikat, sujud dan berlutut tak akan pernah menjadi satu tempat.” Tuhan memang satu, kita yang berbeda.

            Tanggal 30 Juni ku coret seirama dengan lirik “biarkanlah semesta berkerja” dari Kunto Aji sembari menyesap kopi. Mendasari kesedihan akan kehilangan yang berdampak pada kelanjutan hubungan antara kita—maksudku kau dan aku. Karena setelah sore itu kau mengucap kata perpisahan dengan panggilan telfonku yang tidak kau angkat hingga sekarang. Kau anggap aku pelangi, memberikan keindahan setelah hujan berhenti kemudian hilang saat mentari kembali menyinari. Semoga mentarimu tidak lekas membawa badai, karena mungkin aku sudah menjadi pelangi untuk badai yang lain.

 

Penulis: Feriq Nurdiansyah Pramudya Putra

Editor: Rizky Fadilah