Ilustrasi: M. Ilham Al Basyari/ LPM Kentingan

Mencoba Memahami Perilaku Kampusku

Hidangan ini panas sejak dalam pikiran. Diracik tanpa jemu oleh rakyat penghuni ruangan pojok lantai 2 di gedung graha ormawa II. Bagaimana tidak, majalah—hidangan—yang terbit tepat di akhir tahun itu, menyajikan menu yang akhir-akhir ini menjadi santapan sehari-hari penghuni kampus Sebelas Maret. Tepat, bukan lain bukan tidak adalah peralihan status UNS sebagai PTN-BH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum). Sejujurnya, saya menyarankan mereka untuk sesegera mungkin bermuhasabah. Terutama untuk salah satu menu yang mereka tuangkan di fokus utama dengan judul “UNS Tower: Krisis Urgensi di Tengah Pandemi”.

Hei, teman-teman persma, keberadaan tower yang menjulang di dekat bangjo itu bukan krisis urgensi, bukan suatu masalah sampai teman-teman harus repot menampilkannya di fokus utama. Dari hasil pembacaan saya, ternyata banyak juga teman-teman mahasiswa lain yang tidak setuju dan selalu mempertanyakan keberadaan bangunan nan megah itu. Salah satunya ditandai oleh beberapa kali persoalan ini diangkat oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden mahasiswa UNS 2022 saat debat perdana, beberapa waktu lalu. Ck, kadang mahasiswa itu yang ndak sampai pemikirannya. Hawong pembangunan tower itu bukanlah suatu kesia-sian belaka, kok. Apalagi suatu aktivitas menghambur-hamburkan uang, jelas tidak ada niat seperti itu.

Ada rencana mahabesar sebesar bangunannya dan ada kepentingan mahapenting sepenting keberadaannya sampai-sampai ditaruh di muka. Tentu bukan pamer atau sombong, duh kamu itu kok sukanya suudzon sama bapak sendiri. Ya jelas, ini suatu perwujudan dari yang dinamakan sebagai optimalisasi aset. Ingat, optimalisasi aset! Buat yang belum tahu, terutama adik-adik maru yang masih kinyis-kinyis bahkan mungkin belum pernah menjejakkan kaki di kampus Kentingan, sebelum berdirinya bangunan 11 lantai yang dinamai Ki Hajar Dewantara itu, dulunya di sana berdiri sebuah rumah dinas rektor yang sudah lama tidak berpenghuni. Konon katanya sudah 18 tahun kosong. Hiiiii serem. Nah daripada lama-lama disewa buat syuting dunia lain, mending dirobohkan saja toh? Lalu dibangun tower yang lebih banyak mendatangkan keuntungan (rumah dinas yang layak—mewah, misalnya) ketimbang sekadar untuk syuting dunia lain. Ingat, ini optimalisasi aset, kamu pasti setuju dengan saya.

Sebenarnya, saya cukup mengerti kegelisahan teman-teman sekalian. Pembangunan besar ini ditakutkan akan mengerdilkan atau bahkan menihilkan semangat membangun kampus wilayah, ya tho? Wah memang sungguh mulia teman-teman semua. Seperti yang kita tahu, kampus wilayah yang juga merupakan aset kampus kita ini banyak dan memang perlu diakui kondisinya tidak sebaik kampus utama di Kentingan, tapi kalau kata tokoh Kale dalam film yang digandrungi teman-teman itu kan sudah cetha: “Sabar, satu per satu”. Buktinya, coba lihat kampus Sekolah Vokasi (SV), sudah menjelma menjadi bangunan bertipe modern, kan? Tapi, saran saya sih, kalau kalian berkunjung ke sana, sampai parkiran saja. Diam dan rasakan mewahnya cukup dari sana. Saya yakin, berangsur-angsur kampus wilayah lain juga akan seperti itu, kok.

Ah iya, ngomong-ngomong soal sabar dan angsuran tadi. Iya, sabar saja. Rekan-rekan sekalian perlu tahu bapak kita sedang susah payah mencari nafkah sementara angsuran yang mesti dilunasi ada banyak. Perlu diingat, kampus kita ini sudah mandiri, lho, otonom. Sudah mentas dari orang tuanya. Tentulah harus lihai mencari cara untuk menghidupi diri dan—tentu—kita semua, keluarga besarnya. Tetapi, tenang saja, kalian tidak perlu risau, bapak kita itu cerdik luar biasa. Ibarat menjual sembako, bapak kita tahu betul di mana letak kios yang dapat dengan cepat mendatangkan pelanggan. Ah sembako, bahan pokok yang dibutuhkan manusia itu, dijual di gang sempit saja pasti laku, apalagi di tempat ramai seperti di sisi bangjo, sudah pasti laku keras. Tabik! Teman-teman mesti ingat, yang penting kan komoditasnya, kalau dibutuhkan sudah pasti orang-orang akan berbondong mendatangi. Sekali lagi, kamu pasti setuju sama saya.

Loh, kok masih protes? Oh soal sumber dana yang dari sumbangan teman-teman mahasiswa itu ya? Begini teman-teman, kalau boleh saya ingatkan, kalau menyumbang itu mbok ya yang ikhlas. Di detik teman-teman menekan tombol ‘OK’ saat transfer sumbangan, di detik itu pula pengelolaan uang sumbangan sudah menjadi hak penerima. Sini saya ceritakan suatu hal, di suatu saat yang dulu, hiduplah seorang negarawan Republik Romawi yang pandai berorasi, Cicero namanya. Negarawan yang sekaligus filsuf ini pernah berkata, ‘”Jangan tanyakan apa yang negaramu berikan, tapi tanyakan apa yang kamu berikan untuk negara,”. Serangkaian kata ini kian fenomenal kala dibeokan kembali oleh John F. Kennedy pasca Perang Dunia II untuk rakyatnya. Nah, bisa jadi inilah yang kampus harapkan dari rekan-rekan sekalian. Saya rasa sah-sah saja apabila akhirnya kita menyadur kata-kata itu menjadi “Jangan tanyakan apa yang kampusmu berikan, tapi tanyakan apa yang kamu berikan untuk kampus!”. Bukan maen!

Dan saya merasa tambah yakin kata-kata ini benar yang kampus maksudkan saat mendengar ucapan salah satu bapak di debat pemira yang berlangsung biasa-biasa saja itu. Waktu itu, lagi-lagi kedua pasangan calon meributkan soal sumbangan mahasiswa dan sepertinya bapak sudah jengah sampai akhirnya beliau menyampaikan, “Sudah, dibuang saja itu pikirannya (soal sumbangan 0 rupiah dan tentu soal hasil sumbangan yang mengalir ke sembako di bangjo tadi), fokus saja agar bagaimana UNS dapat emas pimnas, emas PON, atau membangun start-up keren,”. Makin bukan maen! Sekarang coba tanyakan! Tanyakan pada diri dan nuranimu wahai pemuda-pemudi UNS sekalian, apa yang sudah kalian berikan untuk kampusmu? Kampusmu ini punya cita-cita mulia menjadi kampus internasyenel, loh. Mbok ya ayo dibantu.

Pada akhirnya, terakhir sekali saya berharap kiranya teman-teman sadar bahwa kita semua ini juga aset yang harus dan perlu dioptimalisasi (hus, ndak sopan kamu bilang ‘dieksploitasi’). Nah, sampai sini sudah mudeng soal optimalisasi aset, kan, guyyyyyssss?

 

Mardhiah N. Lathifah

Penikmat Raos Echo, bisa disapa melalui surel [email protected]

Editor: Sabila Soraya Dewi