Salah satu kelompok sedang mementaskan dolanan tradisional dalam Festival Dolanan Tradisional di Auditorium UNS pada Rabu (15/4). (Foto: AN)

Mencegah Punahnya Dolanan Tradisional

Dolanan Tradisional kian terpinggirkan. Gaungnya terdengar, namun hanya lewat dongeng semata.

Beberapa bocah ayu duduk rapi di barisan ketiga. Mereka mengenakan kemben merah muda, dengan tata rias natural, serta rambut diikat sanggul. Asyik bercengkerama sembari memandangi panggung auditorium yang hampir penuh dengan piranti gamelan. Bonang, kendang, saron, hingga gong berbagai ukuran ada di sana. Di belakang mereka, para calon pria gagah – yang masih bocah tentunya – tampak serasi dengan lurik dan blangkon yang mereka kenakan. Karena sedikit terhalang oleh kawannya yang di depan, mereka dengan polosnya bercanda dengan sesama. Tanpa khawatir ada yang terganggu dengan tingkah mereka.

Rupanya, bukan hanya mereka yang ada di sana. Tampak juga sekelompok bocah berpakaian hitam-hitam. Pakaian yang membuat kain batik yang melingkar di pinggang mereka terlihat menyala. Di sisi lain, sekelompok dewi rupanya tersesat di muka bumi. Mereka persis seperti yang ada di kisah dongeng. Mengenakan pakaian serba putih, berwajah bersih, lengkap dengan bunga – yang juga berwarna putih – mekar di telinga dan sanggul mereka.

Masih banyak beragam “wujud” bocah yang terlihat pagi itu. Tapi mereka semua memiliki satu kesamaan. Ya, sama-sama bocah. Masa di mana belum ada beban menumpul di pundak dan kepala.

Rektor UNS, Ravik Karsidi, menghentikan ocehan lugu mereka. Setelah sedikit berkata-kata, keluar sebuah pertanyaan dari mulutnya. “Apa dasar negara kita adik-adik?”tanya Ravik. Dengan kompak para bocah menjawab, “Pancasila!” Ravik lantas menantang para bocah maju ke depan untuk melafalkan Pancasila. Awalnya bocah-bocah yang lugu itu tampak ragu. Namun, setelah para guru pendamping dan orang tua membujuk, mereka berlarian dari berbagai penjuru. Seorang bocah laki-laki beruntung karena menjadi yang tercepat. Microphone dipegangnya, lalu mulai melafalkan. “Pancasila. Satu, Ketuhanan Yang Maha Esa. Dua…” Kalimatnya terhenti, diikuti gelak tawa penonton.

Ravik memintanya kembali, lalu datang lagi seorang bocah. Kali ini ia sukses melafalkan lima sila usulan Soekarno itu. Ravik bertanya, siapa nama bocah itu. “Bagus,” jawab bocah asal SD Purwodinatan 34 itu lirih. Tanpa basa-basi, Ravik mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Mengambil lembaran berwarna merah, bergambar sang pengusul Pancasila, lalu memberikannya pada Bagus. Penonton riuh. Ada yang tertawa, heboh, juga kecewa kenapa bukan dia yang maju. Sementara Bagus, hanya terdiam sembari kembali ke tempat duduknya. Walaupun matanya jelas menyiratkan kegirangan.

Namun ia tak bisa lama-lama bereuforia. Sekolahnya mendapat giliran pertama untuk menampilkan pementasan. Ia dan kawan-kawannya bergegas ke belakang panggung untuk bersiap unjuk gigi.

Alunan musik dimainkan. Melantunkan sebuah tembang karya Ki Narto Sabdo yang legendaris. Penonton, lalu disajikan penampilan seorang bocah yang asyik berjoget. Hanyut dalam irama Gambang Suling. Seorang lagi datang, menemaninya berjoget. Semakin lama, mereka semakin banyak. Mereka sangat mirip dengan bocah-bocah di baris ketiga. Kemben merah muda serta lurik dan blangkon. Bagus juga salah satu dari mereka. Mereka seolah melambangkan kebebasan kanak-kanak. Bermain dan bernyanyi. Beberapa tembang mereka lantunkan. Mulai dari Gundul-Gundul Pacul, Padhang Bulan, Mbangun Kutha Sala, hingga Jaranan.

Seorang bocah berkemben, menantang para “pria” untuk bermain ganongan, tokoh cekatan, cerdik, nan sakti yang sering dimainkan dalam pentas reog. Bertopeng sangar dan berbulu lebat. Bagus dan seorang temannya, terlibat dalam pertarungan, siapa yang akan menjadi ganong. Topeng mereka kenakan, musik juga telah dimainkan. Mereka berdua seperti kerasukan. Menari lincah kesana kemari. Bersalto, bersalto, dan bersalto lagi. Seakan ganong telah menjelma dalam tubuh mereka yang mungil.

Syahdan, Bagus – sang pemenang doorprize dari rektor – terpilih memerankan ganong. Tokoh yang senantiasa ditunggu anak-anak ketika pementasan reog. Tokoh ini bukan hanya terlihat atraktif. Namun, juga merupakan perwujudan Patih Pujangga Anom. Seorang Patih muda, wakil dari Raja Ponorogo. Para bocah gembira. Berkeliling desa dipimpin Bagus sang ganong, sambil menyanyikan lagu Pak Bayan dengan kompak.

Keceriaan seperti ini tergambar dalam aktivitas dolanan anak-anak. Di mana mereka bebas bergerak, bersosialisasi bersama kawan-kawannya, serta menumpahkan kreativitas seluas-luasnya. Meski Bagus dan kawan-kawannya hanya menampilkan sebuah pementasan dolanan tradisional, kepolosan wajah mereka berkata jujur. Seakan mereka jarang lagi menikmati suasana seperti itu. Maka, jangan sampai keceriaan para bocah hanya berlangsung dua hari saja – 14 dan 15 April – namun juga bisa berlangsung tiap hari. Juga tugas kita sebagai yang lebih dewasa, untuk melindungi lahan-lahan tempat mereka bermain. Agar para calon penerus Patih Pujangga Anom, tak lagi terpaksa bermain di auditorium UNS. (Satya)