Subuh hari itu, Kota Solo sedang diselimuti udara dingin. Kabut tipis memang tampak jelas di sejumlah ruas jalan di Kota Solo. Di tengah hawa dingin yang sedang menyelimuti itu, di salah satu kamar yang terletak di basement Masjid Siti Aisyah yang berada di wilayah Manahan, Ilman terbangun sekitar 40 menit sebelum waktu adzan subuh. Setelah terbangun dari tidurnya, ia menyegerakan makan sahur. Selepas sahur, Ilman bergegas ke kamar mandi untuk bersih-bersih dan berwudhu. Kemudian ia segera beranjak menuju kantor masjid untuk mengambil kunci masjid. Pria umur 20-an yang bertinggi 170-an cm dengan badan berisi ini tak lupa mengenakan baju gamis berwarna biru yang memang menjadi pakaian salat andalannya.
Sesampainya dalam masjid, Ilman langsung menyalakan lampu, AC, dan mempersiapkan peralatan untuk salat Subuh berjamaah. Setelah semuanya siap, Ilman kemudian menunaikan tugasnya untuk mengumandangkan azan Subuh. Lantunan merdu suara azan mengudara dengan indah, menembus dinding bangunan-bangunan di sekitar masjid megah yang terletak di Jl. Menteri Supeno No.17, Manahan, Kecamatan Banjarsari. Satu per satu jamaah masjid mulai datang untuk salat berjamaah, hingga dua barisan terdepan saf terisi penuh. Tiba waktunya salat, Ilman pun mengambil peran sebagai imam salat berjamaah. Setelah selesai, ia kemudian kembali membereskan segala peralatan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Serangkaian kegiatan Ilman tersebut mungkin sudah cukup menggambarkan apa profesi yang dijalaninya. Seorang penjaga masjid, atau kita mungkin lebih mengenalnya dengan istilah marbot. “Untuk jadi imam dan marbot itu dari awal tahun 2022, sekitar Januari akhir, jadi sudah sekitar setahun lebih dua bulan,” ungkap Ilman saat ditanyai sejak kapan dirinya menjadi marbot di Masjid Siti Aisyah. Ilman yang juga merupakan mahasiswa semester delapan di Universitas Sebelas Maret ini juga bercerita bahwa salah satu alasannya memilih untuk menjadi marbot masjid adalah karena mencari lingkungannya. Lingkungan masjid menurutnya masih ‘terjaga’, dan karena waktu itu dirinya memang sedang mencari tempat tinggal berhubung ia sudah pindah dari tempat tinggal sebelumnya. “Nah karena kebetulan di Masjid Siti Aisyah ada tempat, jadi sekalianlah mengabdi pada masjid,” tambah Ilman sembari tersenyum.
Di awal-awal menjadi marbot masjid sendiri, Ilman memang masih punya kesibukan kuliah dan masih aktif menjadi pengurus di BEM FISIP UNS. Membagi waktu antara kuliah, berorganisasi, dan menjalankan tugas sebagai marbot tentunya menjadi tantangan tersendiri yang harus dihadapi olehnya. Meski begitu, tampaknya Ilman dapat melaluinya dengan baik. Di tahun ini, Ilman sudah lepas dari segala kesibukan itu, hanya tinggal mengerjakan skripsi dan laporan KKN. Kini ia bisa fokus menuntaskan pengabdiannya di Masjid Siti Aisyah, setidaknya sampai bulan Ramadan usai. Ilman sendiri mengaku merasa nyaman berada di lingkungan masjid, karena dia memang berlatar belakang siswa pondok (pesantren). “Bukannya aku tidak ingin keluar dari zona nyaman, tetapi ini juga salah satu upaya untuk memotivasi diri agar selalu dikelilingi oleh kebaikan. Walaupun tidak menutup kemungkinan di tempat lain juga banyak kebaikan, tetapi aku memilih tetap di lingkungan ini karena merasa sudah nyaman dan tidak perlu banyak adaptasi lagi,” Jelas Ilman.
Selain pekerjaan utamanya sebagai marbot, Ilman juga punya andil dalam pengembangan akun sosial media Masjid Siti Aisyah. “Jadi aku juga jadi desainer buat konten-konten Instagram masjid. Aku kan emang hobi desain, jadi sekalianlah aku menyalurkan hobiku untuk membantu kegiatan-kegiatan masjid, biar lebih bermanfaat,” ungkap Ilman. Ilman juga menceritakan pengalaman uniknya selama menjadi marbot. “Waktu itu sempat ditegur salah satu jamaah setelah jadi imam salat asar. Beliau manggil terus ngasih beberapa nasehat. Agak kaget sih, tapi ya alhamdulillah dapat masukan buat bisa lebih baik lagi,” ceritanya.
Upaya Ilman dalam mencari kebaikan dari pengabdiannya di Masjid Siti Aisyah selama setahun ini, ia rasa sudah berbuah manis. Selama mengabdi di masjid, ia mengaku telah banyak bertemu orang yang sevisi misi dengannya. Meski ada pandangan di masyarakat yang menganggap lingkungannya ini ‘terlalu suci’, namun nyatanya Ilman merasa orang-orang yang berada di dekatnya tidak sekaku itu, dan masih asyik diajak main dan bercanda. “Bonusnya ya bisa bareng-bareng menginisiasi kebaikan. Aku beberapa kali menang lomba akademik dan non akademik pun berawal dari lingkungan masjid,” ungkap Ilman.
Di zaman sekarang, menjadi marbot masjid seperti Ilman mungkin bukan merupakan opsi favorit bagi para anak muda. Menurut Ilman, setiap orang tentu punya pilihannya masing-masing. Dia tidak ingin mencap orang tidak baik hanya karena tidak ingin menjadi marbot masjid, sebab semua sudah ada tempatnya masing-masing, dan lmasing-masing orang akan menuju ke tempat yang mereka cari. Baginya, menjadi marbot berarti berusaha lebih untuk mengajak orang menuju kebaikan, dalam hal ini adalah menuju rumah Allah untuk beribadah. “Kalau emang cari dunia di sini, ya mungkin belum tentu dapet, tapi InsyaAllah kebaikan dan balasan di akhirat kelak ada untuk orang-orang yang mau mengusahakan kebaikan.”
Penulis : Andi Muh Ahsan Rizal
Editor : Revy Anestasia Sulistiyo