Saat ini kamu adalah seorang mahasiswa rantau yang telah menyelesaikan studi dan berencana kembali ke kampung halaman. Kamu memang memutuskan akan istirahat selama beberapa waktu, sebelum kembali bergulat dengan kerasnya dunia kerja. Kamu membayangkan kehidupan sederhana yang indah, menikmati teh di pagi hari dengan atmosfer sejuk, tanpa beban akademis tentunya. Namun, bayangan surgamu itu seketika sirna. Kawasan industri seluas 65 hektar berdiri kokoh tepat sejauh 500 meter dari oase tempat kamu dibesarkan. Langitmu kini dipenuhi goresan tinta hitam, bau busuk merayap dalam mimpi indahmu. Sampai sini, kira-kira apa yang akan kamu lakukan? Akankah kamu siap menghadapi keadaan yang demikian?
Sebab seperti itulah, ini bukan imajinasi atau karangan. Ini merupakan gambaran kasar yang telah lama dirasakan oleh warga Sukoharjo akibat ulah PT Rayon Utama Makmur (RUM). Terhitung sudah 159 hari perang sengit di hadapan meja hijau. Sayangnya, tidak juga membuahkan hasil. PT RUM dinyatakan bebas dari seluruh dakwaan pencemaran lingkungan.
Menyibak tirai hukum sebagai pelindung hak masyarakat
Pernah terbesit di benak saya, mengenai apa arti sebenarnya dari kata ‘adil’. Adil berarti sama rata alias setara. Lalu, apakah keadilan itu benar-benar ada?
Bagi Aristoteles, keadilan sama dengan keseimbangan. Hukum juga begitu, ada prinsip equality before the law, semua manusia dianggap seimbang (kedudukannya) di mata hukum. Namun, bagaimana dengan hukum di Indonesia? Dinamika sistem hukum kita cukup unik, sehingga belum mampu untuk menjadi pelindung bagi beberapa orang. Seringkali ada indikasi mengenai keberpihakan, misalnya atas sengketa yang melibatkan lingkungan hidup. Mungkin yang paling terkenal baru-baru ini adalah konflik Wadas. Bahkan ada yang paling dekat dengan kita, yaitu sengketa warga Sukoharjo melawan PT RUM.
Setiap negara pasti ingin mewujudkan konsep keadilan hukum. Melihat proses peradilan kita yang sudah dari lama menerapkan asas peradilan cepat, yang berarti makin cepat proses peradilan, makin cepat pula kita mendapatkan kepastian hukum. Ini hanya teori, buktinya warga Sukoharjo memerlukan bertahun-tahun lamanya untuk memperoleh kepastian hukum, demi hak hidup mereka.
Hukum negara kita ternyata tidak cukup kuat untuk menjadi pelindung. Masih terlalu mudah untuk dimanipulasi, masih terlalu lemah untuk diandalkan.
Bicara soal ‘Hak’, bicara soal omong kosong
“Indonesia adalah negara hukum”. Kalimat pembuka di hampir seluruh tulisan bertema hukum. Saya rasa, kalimat tersebut hanyalah narasi pemanis memuakkan, yang tidak lagi dimaknai serius. “Indonesia adalah negara hukum”, merupakan lelucon konyol yang masih sering saya baca hingga kini.
Konsep negara hukum seharusnya menjamin kepastian hukum dan melindungi hak asasi setiap warganya. Miris memang, ketika kita tau sejak tahun 2017, warga Sukoharjo yang tergabung dalam Aliansi Sukoharjo Melawan Bau Busuk (SUMBU) harus menelan pil pahit. Mereka tidak lagi bisa menghirup udara segar akibat aktivitas industri PT RUM. Padahal, setiap orang berhak hidup sejahtera, mendapatkan lingkungan hidup yang baik, dan sehat, seperti amanat Pasal 28H Ayat (1) UUD NRI 1945. Sederhananya, keadaan ‘baik’ dan ‘sehat’ merupakan hak dasar yang harus didapatkan oleh setiap orang. Akan tetapi, keadaan yang demikian ini terasa mahal bagi beberapa orang. Nasib mereka menjadi suram karena mempunyai seorang pemimpin yang tidak acuh, yang membiarkan rakyatnya berperang demi ‘hak’ yang seharusnya bisa didapatkan tanpa perlu diperjuangkan. Hanya demi kepentingan segelintir orang yang membesarkan perutnya, atas nama bisnis dan investasi.
Negara, pemerintah, penegak hukum, tidak seharusnya membuat konsensus dengan menggadaikan alam dan lingkungan hidup. Sudah seharusnya para pemangku kebijakan merasa jengah. Warga sudah bosan menjadi korban, dan harus senantiasa bergulat demi mendapatkan haknya.
Negara memang sudah meninggalkan mereka
Idealnya, negara harus ikut mengawal dengan serius dan cermat atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup. Dalam kasus PT RUM, kepolisian bergerak sangat cepat, lebih dari yang kita bayangkan. Dilansir dari tirto.id (9/3/2018), kurang dari satu bulan, polisi telah menangkap 3 orang aktivis yang vokal dalam menyuarakan perlawanan atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Benar, mereka terpaksa harus masuk sel tahanan. Salah satunya dijerat dengan Pasal 406 Ayat (1) KUHP tentang perusakan barang milik orang lain, sehingga dijatuhi hukuman 2 tahun 3 bulan. Is it fair? Ironisnya, mereka (penegak hukum) lebih tertarik memeriksa perkara remeh, tetapi seolah tidak mempunyai waktu untuk menemukan unsur pelanggaran lingkungan hidup, yang telah dilakukan oleh PT RUM. Jika ditarik benang merah, warga Sukoharjo tidak akan semarah ini hingga merusak properti milik PT RUM apabila mereka memang tidak melakukan pelanggaran.
Berdasarkan siaran pers LBH Semarang (10/11/2023), “PT RUM telah melakukan pencemaran udara dari hasil aktivitas produksinya berupa bau busuk yang sangat menyengat seperti bau septic tank, bau telur busuk, dan bau selokan. Bau busuk ini menyebabkan warga mengalami sakit mual, pusing, sakit tenggorokan, hingga sesak napas.”
Sungguh, dampak pencemaran ini sangat nyata dan terasa dalam 6 tahun terakhir. Pemerintah setempat sejauh ini hanya memberikan sanksi administratif kepada PT RUM. Sedangkan warga Sukoharjo bertahun-tahun merasakan sesak napas dan harus berteman akrab dengan masker, bahkan ketika mereka tidur, dan jauh sebelum adanya wabah Covid-19. Jika saja persamaan kedudukan itu benar-benar ada, mungkin tidak akan ada perlawanan ini. Tidak perlu ada pikiran mengenai: persetan Indonesia adalah negara hukum, kami rakyat kecil akan mengambil jalan kami sendiri!
Perlawanan akan terus berlanjut!
Demi bisa menghirup udara bersih, demi anak, dan cucu, warga Sukoharjo akan terus melawan. Walaupun penuh tantangan dan tidak mudah. Tuntutan pidana dijegal. Gugatan Class Action juga ditolak. Realitas ini memperpanjang catatan kelam penegakan hukum negara kita. Sepertinya prinsip equality before the law sudah usang. Hanya ada negara yang sering lalai, seolah memberikan kedudukan penuh pada satu pihak (re: korporasi) dengan merampas hak dasar warganya.
Kini perlawanan akan memasuki babak baru, yaitu kasasi. Saya hanya ingin berpesan, bukan tidak mungkin ketika kita, di masa depan nantinya akan mengalami hal serupa dengan warga Sukoharjo dalam Aliansi SUMBU. Semoga predikat ‘negara hukum’ bukan hanya branding semata. Negara hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan segelintir orang, saatnya hukum melindungi hak asasi warga Sukoharjo yang tidak lagi bisa dikompromi. Mari kita senantiasa mengawal kasus ini hingga final.
Akhir kata, apakah harapan akan kehidupan yang indah akan segera terwujud, atau hanya akan menjadi ilusi bagi mereka?
Penulis: Rossa Putri Juliana
Editor: Aldini Pratiwi