Foto: Hasna Farrosah Diwany/ LPM Kentingan

Memperingati International Women’s Day, Girl Up UNS Gelar Movie and Discussion: Jangan Jadi Bystander

Dalam rangka memperingati International Women’s Day, Girl Up UNS menggelar movie and discussion dengan fokus pembahasan mengenai bystander effect and marginalization. Pemutaran short movie berjudul “Please be Quiet” serta diskusi tersebut berlangsung di Hetero Space Solo, pada Selasa (14/3). Girl Up UNS turut menggandeng founder Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS), Luxy N. Farez, S.I.Kom sebagai pembicara. 

Girl Up UNS mengangkat tema “#EmbraceEquity: Youth Against Bystander Effect and Marginalization” pada acara peringatan International Women’s Day tahun ini. Tema tersebut diangkat guna meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bystander effect dan kaum marginal. 

“Kita base-nya emang bergerak di dunia marginalisasi gitu. Kita menyuarakan suara-suara kaum marginal,” ungkap Andin selaku ketua umum pelaksana acara International Women’s Day.

Acara dibuka oleh Tria Yunita selaku pembawa acara. Dilanjutkan sambutan oleh Adelia Rafa Tabina selaku ketua Girl Up UNS dan disambung dengan pemutaran short movie yang dipandu oleh Tesalonika Ajeng Joanida selaku moderator.

Short movie berjudul “Please be Quiet” mengisahkan tentang seorang karyawan wanita bernama Sarah yang menyaksikan sendiri teman sekantornya mendapatkan kekerasan seksual secara verbal oleh bosnya. Namun, pada akhirnya ia bahkan si korban hanya bisa bungkam karena tidak memiliki kuasa sebesar bosnya. 

Bystander effect adalah satu bentuk sikap atau fenomena dimana ketika ada banyak orang dan terjadi suatu kejadian kita cenderung ignorant atau tidak melakukan intervensi terhadap kejadian yang sedang terjadi,” ujar Luxy mengawali sesi diskusi. 

Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya bystander effect adalah lack of awareness atau kurangnya rasa kesadaran. “Kita masih belum tau apa itu bystander effect, bagaimana cara menolong, empatinya masih kurang dari masyarakat sekarang. Akhirnya kita jadi apatis. Jangan sampai ini kita normalisasikan,” lanjut Luxy.

Adapun tindakan yang dilakukan tokoh Sarah di dalam short movie tersebut merupakan bentuk dari bystander effect. Luxy menjelaskan tindakan-tindakan yang harus dilakukan ketika melihat adanya kejadian kekerasan seksual supaya kita tidak menjadi bagian dari bystander itu sendiri. Salah satunya dengan cara menegur, menginterupsi, mengalihkan, atau mendistraksi disela kejadian yang terjadi pada korban.

Selain itu, kita juga dapat melaporkan kejadian tersebut kepada pihak keamanan setempat. Bila perlu, kita dapat mendokumentasikan kejadian tersebut untuk dijadikan bukti. Hal tersebut perlu dibarengi dengan pemahaman kita mengenai etika menolong. Salah satunya dengan tidak menyebarluaskan hasil dokumentasi tersebut tanpa persetujuan korban. 

“Kita tidak boleh memaksakan kehendak kita terhadap korban. Semua harus dari inisiasi korban. Korban yang harus tahu apa yang dibutuhkan. Bukan kita yang mengatur korban,” jelas Luxy memaparkan pentingnya perspektif dan persetujuan korban.

Ada pula hal-hal yang dapat kita lakukan ketika mendapati korban kekerasan seksual antara lain mendengarkan cerita korban dan jangan menyalahkan korban. Kemudian, cari tahu apa saja yang dibutuhkan korban. Lalu, tawarkan bantuan kepada korban tanpa memaksakan pendapat kita. Terakhir, cari bantuan serta memastikan keamanan korban.

Menginjak acara berikutnya, dilakukan sesi tanya jawab yang disambut antusias oleh peserta. Sesi tanya jawab tersebut berlangsung selama kurang lebih 20 menit. 

“Dari isu bystander effect ini jika dinormalisasikan justru akan semakin membuat kuat garis marginalisasi. Dengan kita tidak menjadi bystander kita juga membantu ketidakadilan gender ini bisa dihapuskan,” pungkas Luxy mengakhiri sesi tanya jawab. 

Dengan diselenggarakannya acara ini, Berlin selaku ketua pelaksana movie and discussion berharap agar orang-orang lebih sadar bahwa hal kecil dapat berdampak besar bagi orang-orang di sekitar, dan diharapkan masyarakat mengerti tahapan-tahapan dalam membantu korban pelecehan ataupun kekerasan seksual agar korban merasa aman. 

Harapan lain pun turut disampaikan oleh Andin. Ia berharap para peserta memahami bagaimana terbentuknya bystander effect supaya mereka tidak menjadi bagian dari bystanders itu sendiri. Selanjutnya, Andin berharap para peserta maupun orang-orang di luar sana bisa berani untuk membantu korban dengan cara yang baik. Kemudian yang terakhir, dengan adanya acara ini diharapkan dapat meminimalisir bystander effect, serta dapat menyuarakan hak-hak kaum marginal. 

Penulis : Kayla Salsabila Naqiyya dan Rohmah Tri Nosita

Editor: Revy Anestasia Sulistiyo