Memimpikan Mimpi sang Rektor

 

Estafet mimpi para rektor kampus ini rupanya tak kunjung berujung.

 

REKTOR UNS kelima, Prof. Haris Mudjiman, sudah mangkat dua bulan lalu. Tak sampai empat jam paska ia meninggalkan bumi yang sengkarut ini, media massa ramai-ramai mengabarkan kepergiannya: detik.com, solopos.com, Harian Jawa Pos, tribunsolo.com dan sudah mesthi uns.ac.id, urun bersiar duka. “Beliau itu orang yang sederhana, tidak banyak bicara tapi serius bekerja.” kata Ravik Karsidi, Rektor UNS saat ini lewat tribunsolo.com.

 

Benar atau tidaknya peryataan Ravik itu sudah tak ada lagi yang peduli. Bagi UNS, Haris tetap bukan tokoh yang remeh dan gampang terlupakan. Arsip data tentang dia lumayan lengkap, terpampang di arsip.uns.ac.id.  Berbeda dengan Dr. Prakosa, rektor ketiga UNS, yang data tentang dirinya tak selembarpun dipunyai kampus yang pernah dipimpinnya ini.

 

Tak peduli, meski bagi mahasiswa UNS masa itu Haris dianggap agak menyusahkan pergerakan mahasiswa, karena ikut mengawasi seluruh organisasi mahasiswa termasuk himpunan jurusan di UNS dan pernah sekali membredel koran Saluran Sebelas pada awal 1998.

 

Sebagai rektor yang pertama kali berasal dari kalangan akademis UNS saat itu, Haris seorang yang punya loyalitas tinggi pada UNS. Setidaknya itulah yang diyakini Ravik lewat detik.com. Saat Saluran Sebelas mewawancarai Haris bertahun-tahun lalu, loyalitas itu ada, bahkan sejak dalam mimpi.

 

Suatu kali pada 1997, Saluran Sebelas sempat mewawancarai Haris Mudjiman terkait perguruan tinggi dan seputar kepemimpinannya sebagai rektor UNS. Judulnya, Mimpi SiangMalam Rektor. Liputan ditulis dua lembar utuh Koran Saluran Sebelas edisi kedua th. 1997.

 

Dalam liputan itu, hasrat Haris untuk membangun UNS sebagai kampus yang berkembang dan memiliki kualitas akademis lekat terlihat.

 

“Oh itu impian saya siang malam itu, Dik! Wah, setiap kali saya salat itu saya mohon diberikan bimbingan oleh Tuhan, agar dalam memimpin UNS sedemikian hingga UNS bisa berkembang dengan baik betul”

 

Meski itu hasrat klise tiap rektor, namun Haris terasa lebih nyentrik. Hasrat itu benar-benar ia mimpikan dan coba diwujudkan dengan jalan merayu Tuhan. “Dan waktu Pak Muchlis Hamidi berangkat ke tanah suci dia tanya pada saya mau titip apa…Saya titip supaya didoakan UNS supaya bisa berkembang dengan baik.”

 

Kita tak tahu, apakah Tuhan sudah bosan mendengar doa-doa semacam ini dari para rektor di penjuru bumi. Atau barangkali Tuhan mengerti, bahwa kampus-kampus di negeri ini memang sudah selaiknya didoakan. Ia tumbuh begitu angkuh tanpa merumuskan gairah intelektual penghuninya.

 

Bisa jadi kampus perlu diruqyah karena sudah kerasukan vokasi kelewat banyak. Karena pelajarnya hanya mencari apa yang dia sendiri butuhkan untuk bisa dapat pekerjaan selepas dari kampus. Seperti yang ditulis oleh Salma Prameswari dalam Mimbar Mahasiswa 2 Januari 2018 lalu, banyak mahasiswa yang menyesalkan pilihan jurusannya karena dianggap tak berpeluang kerja. Intelektualitas sudah direduksi ke dalam vokasionalisasi.

 

Universitas cuma dijadikan jembatan kecil untuk menyebrang ke dunia kerja. Akhirnya ilmu yang harusnya buat kepentingan publik jadi kepentingan privat. Seperti yang sejak bertahun lalu diocehkan Zygmunt Bauman, Sosiolog Postmodern, bahwa intelektualitas publik perlu kita angkat karena pendidikan intelektualitas yang kita praktikan mengalami dialokasi: dari kepentingan publik ke kepentingan privat atau lebih persis kepentingan bisnis (1995:235).

 

Ini pun diomongkan Haris dalam pertemuannya dengan Saluran Sebelas saat itu. Sewajarnya pers mahasiswa di zaman Orde Baru, Saluran Sebelas sempat meminta tanggapan Haris tentang pergerakan mahasiswa UNS yang “mandul”. Sebuah ungkapan yang dipakai untuk menyinyiri mahasiswa UNS yang jarang turun ke jalan. Ia justru balik melemparkan tanya sebagai jawaban, “saya justru bertanya,  apakah mahasiswa yang responsif harus disikapi oleh unjuk rasa atau yang lainnya? Menurut saya gerakan mahasiswa yang mandul itu kalau mahasiswa diam saja. Tidak melakukan apa-apa. Tidak memikirkan bahkan tidak mencarikan solusi.”

 

Meski reformasi akademis di UNS tak juga lahir di masa jabatannya sebagai rektor, namun niat Haris untuk menjadikan kampus sebagai tempat studi tanpa direcoki politik berbasis kampus sangat kentara. Sebenarnya ini hal yang lumrah di masa itu, karena kebijakan NKK/BKK besutan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef, yang sempat jadi pedoman birokrat kampus negeri ini.

 

Meski begitu, bisa jadi yang seperti ini adalah sebuah upaya untuk mengakarkan kesadaran intelektual bagi para pembelajar perguruan tinggi.

 

Tapi mimpi diyakini sebagian orang sebagai gambaran terdalam manusia.  Bagi para rektor, apa yang diimpikan Haris bukanlah sekadar mimpi tapi juga tanggungan sekaligus risiko dari jabatannya. Kalau yang berkembang cuma perkara gedung-gedungnya, ranah-ranah yang dikomersilkan saja, sudah pasti itu sebuah mimpi buruk bagi pendidikan kita.

 

Tapi “kembang” seperti apa yang sebenarnya diimpikan Haris? Yang pasti kita tak mengharapkan initerus-terusan jadi “kembang tidurnya” para rektor semata. Eh, dua mata ding. Karena berdua kan lebih bahagia~ []

 

 

Vera Safitri. Penyendiri tangguh. Surel: [email protected]