Sumber: google.com

Membatalkan Kematian

 

 

Oleh : Vera Safitri, Pembaca menyedihkan

 

Judul buku    : Laut Bercerita

Penulis    : Leila S. Chudori

Tahun Terbit : 2017

ISBN        : 978-602-424-694-5

 

 

HIDUP diyakini terus bergelimang bayang kematian, Leila S. Chudori, lewat Laut Bercerita (2017) menunjuk hal-hal lain yang lebih sadis ketimbang kematian itu sendiri. Sebuah penghilangan, kenyataan yang spasi. Keadaan dengan ketidakpastian dan ketidaktahuan yang, “kadang-kadang jauh lebih membunuh daripada pembunuhan” (hlm. 256).

 

 

Mudah untuk menebak apa yang dikisahkan oleh Leila dalam garapan teranyarnya yang konon menghabiskan waktu riset selama lima tahun itu.

 

 

Ini kisah getir. Sudah terprediksi tragis sejak dalam sampul. Dalam gambar dominan biru, berlatar laut dan gambar ikan-ikan berseliweran itu, ada sepasang kaki yang terikat rantai di dasar laut. Rantai, meski bagaimanapun selalu jadi tanda pengekang dan kekalahan. Kekalahan itu dikisahkan oleh Leila dalam wujud desaparasidos atau penghilangan paksa yang dialami Biru Laut, seorang aktivis mahasiswa di tahun 1990-an.

 

 

Dalam tuturan novel, Biru Laut terkisah sebagai seorang aktivis mahasiswa pergerakan yang diburu pemerintah. Ia dan teman-temannya dituduh terlibat dalam kerusuhan Juni 1996. Tak sukses dalam persembunyiannya, Biru Laut dan beberapa temannya tertangkap dua tahun sejak itu. Laut menghilang. Bertahun-tahun tak kembali, menyebutnya tewas bukanlah hal yang nyata bagi Ayah-ibunya. Keduanya dirundung kesedihan sekaligus ketidakterimaan yang panjang.

 

 

Dalam keadaan tanpa pengetahuan dan tanpa kepastian, sebuah kehilangan memang membawa imaji pada ketersesatan dan kesakitan yang frontal. Dari keduanya kita dapati yayasan-yayasan dan lembaga-lembaga HAM yang berdiri atas dasar klaim itu, sebuah koalisi pencari orang hilang, serta adanya aksi Kamisan di depan Istana Negara saban Kamis.

 

 

Di awal kisah, pembaca sudah harus dihadapkan pada adegan sekarat sang tokoh utama, Biru Laut. “Tetapi hari ini, aku akan mati. Aku tak tahu apakah aku bisa bangkit. Setelah hampir tiga bulan disekap dalam gelap, mereka membawaku ke sebuah tempat”. Seloroh itu bukan lagi jadi pertanyaan. Apakah ia bisa bangkit atau tidak. Tapi lebih jadi pengakuan kalah: aku tidak bisa bangkit!

 

 

Namun, ada kalanya kematian menciptakan lingkup hidup lain bagi orang-orang yang ditinggalkan. Dalam surat imajiner yang ditulis Asmara Jati untuk Biru Laut, jagat itu terceritakan hadir. “Mereka menciptakan jagat di mana engkau masih ada di dalamnya. Masih hidup, segar dan setiap hari Minggu datang dan masak bersama mendengarkan lagu-lagu The Beatlesatau Louis Amstrong” (hlm. 348). Kedukaan yang tak tersanggupi menghadirkan penyangkalan penting atas kematian. Beberapa orang memilih tetap berada pada garis semula, tak menerima kematian dan tetap berada pada kesehariannya untuk mempertahankan diri dari guncangan psikis yang memilukan.

 

 

Kiat serupa juga dilakoni oleh Charley Benetto, tokoh dalam buku Satu Hari Bersamamu karya sastrawan spesialis “hantu”, Mitch Albom. Charley yang remuk hidupnya oleh kemalangan berkepanjangan, pernikahan yang gagal dan minuman keras, yang membuatnya mencoba bunuh diri batal oleh ingatan kematian ibunya. Pengisahan kabar kematian yang hadir dalam Satu Hari Bersamamusemacam mengandung sebuah harapan yang liris.

 

 

“Ku harap kau tak pernah mendengar kata-kata itu. “Ibumu. Dia meninggal”. Kata-kata itu berbeda dengan kata-kata lain. Kata-kata itu terlalu besar untuk telingamu” (hlm 58).

 

 

Kabar kematian menjadi sebuah hal yang tak tertangani dan menyakitkan. Barangkali itu yang membuat Bapak dan Ibu Biru Laut, juga Asmara Jati dan banyak tokoh dalam Laut Bercerita menolak kematian anak, kakak atau kekasih mereka. Laku Charley yang menganggap bunuh diri terasa lebih mudah ketimbang menerima kematian ibunya, telah memberi sadar bahwa kita terlalu egois untuk menerima kesakitan yang timbul dari kabar kematian. Rasanya tiap-tiap kematian bakal melahirkan kematian yang baru.

 

 

Namun kematian tak melulu haru, novelet Tak Cukup Sedih (1997) garapan Putu Wijaya terasa lebih menegarkan.  Meski aku kecewa karena tak mendapat kelucuan-kelucuan yang biasanya hadir dalam karya-karya Putu Wijaya, namun novelet ini bisa jadi merupakan novel kematian paling jumawa. Wita, seorang wanita yang harus menghadapi kematian suaminya melanjutkan hidup dengan tangguh, meski ketegaran dan ketangguhannya disangsikan oleh orang-orang di sekitarnya. Di novelet ini setidaknya para pembaca bisa tahu, betapa pentingnya kesedihan dalam menghadapi kabar kematan. Kalimat penggoda dalam sampul depannya pun cukup meyakinkan: “Berapa lama seseorang harus bersedih untuk sebuah kematian, dijawab oleh seorang janda begini: Tak Cukup Sedih.”

 

 

Meski dalam Laut Bercerita, kematian dan kehilangan  tampak sebagai puasa bahagia yang susun menyusun. Hasrat menggali keharuan pada pembaca menjadi jalan utama. Laiknya kisah-kisah holocoust, novel dengan latar belakang semacam itu memang memiliki banyak perhitungan dalam menghadirkan kematian dan kesedihan.

 

 

Tapi setidaknya kita patut bersyukur, dari 373 halaman kisah Biru Laut, hanya satu adegan saja yang memperlihatkan Laut dan kawan-kawannya berlaku subversif pada pemerintah. Yakni rencana demonstrasi mereka di Blangguan, Jawa Timur. Atas minimnya adegan patriotik dalam kisah-kisah pergerakan mahasiswa dalam novel Leila itu, kesukaan timbul karena kematian batal muncul sebagai akhir kisah yang heroik. Kematian yang hadir dalam kisah aktivisme mahasiswa merupakan sesuatu yang sudah terlalu unek buat ditelan.

 

 

Kematian-kematian dalam novel terlalu sering dihadirkan sekadar untuk menghidupkan keharuan dalam cerita. Maka kurasa para penulis yang menulis kisah-kisah patriotik dan haru, penulis yang sedang menulis kisah tentang mahasiswa, atau penulis yang terpercik niat untuk menuliskan kisah-kisah serupa itu patut untuk membatalkan kematian-kematian dalam imajinya.[]