Atas Dasar Kepedulian, Terbentuklah Aliansi Justice For GE
Kasus diklatsar menwa yang membawa pada meninggalnya salah seorang mahasiswa UNS yaitu GE terus berjalan dengan hasil akhir yang masih samar-samar. Bagi saya, berjuta hal mewah yang ada di dunia takkan pernah bisa menggantikan napas seseorang untuk kembali berembus. Bahkan kesempatan kedua pun tak cukup untuk dijadikan sebagai pengganti. Bayangkan berapa banyak yang harus dibenahi ketika kebiasaan buruk sudah berubah menjadi hal yang wajar. Tak mungkin semudah menjentikkan jari, tentu saja.
GE hanyalah seorang mahasiswa yang memiliki cita, seorang anak yang menjadi mimpi orang tua, dan seorang saudara, serta teman yang masih mendamba akan kebahagiaan di dunia. Kejadian yang terjadi tidak hanya merenggut nyawa seseorang, tetapi juga merenggut senyum dari orang-orang yang ada di sekitar GE. Dari sinilah teman-teman mahasiswa, yang bahkan mungkin belum pernah berbincang dengan GE membentuk Aliansi Justice for GE dengan atas dasar kepedulian dan untuk menuntut keadilan. Mirisnya, perihal keadilan memang sulit untuk ditegakkan. Bahkan untuk sekedar memenuhi tuntutan yang setidaknya akan memberikan beberapa orang yang berduka dapat merasa sedikit lega.
Aksi Damai yang Tak Lekas Selesai
Sudah beberapa kali aliansi mengadakan aksi damai untuk terus mendesak pihak kampus agar tak terkesan menutup mata. Tentu saja dengan harapan agar pihak kampus melakukan tindakan nyata, dengan hasil yang nyata pula. Yuda selaku perwakilan Aliansi Justice For GE pada konferensi pers sebelumnya menyatakan bahwa akan melakukan aksi hingga sikap kesepahaman terpenuhi. Hal ini lantaran nota kesepahaman yang telah ditandatangani pada 17 November 2021 tak kunjung tampak titik terangnya. Nota kesepahaman ini telah ditandatangani oleh perwakilan rektorat, perwakilan mahasiswa, perwakilan orang tua. Berikut isi dari nota kesepahaman tersebut dilansir dari laman saluransebelas.com:
- Rektorat UNS bersikap tegas dan transparan terhadap segala bentuk tindak pidana serta informasi terkait meninggalnya GE dan memberikan keadilan untuk keluarga beserta korban;
- Rektorat UNS dan Korps Mahasiswa Siaga Batalyon 905 Jagal Abilawa untuk bertanggung jawab atas meninggalnya GE pasca mengikuti pendidikan dan latihan dasar Pra Gladi Patria 36 tahun 2021; dan
- Rektorat UNS untuk meninjau ulang relevansi adanya Korps Mahasiswa Siaga (KMS) Batalyon 905 Jagal Abilawa serta akan membubarkan Korps Mahasiswa Siaga Batalyon 905 Jagal Abilawa jika terbukti melanggar Peraturan Rektor No. 26 Tahun 2020.
Menindak nota kesepahaman tersebut, pihak rektorat membentuk tim evaluasi untuk mengusut kasus GE, tetapi sudah selesai pada tanggal 10 Januari 2022 yang lalu. Kemudian hal inilah yang justru membuat anggota aliansi merasa geram, sebab sepertinya tim evaluasi tersebut tak menunjukkan adanya hasil akhir yang memuaskan dari kasus yang ada. Dipertanyakan poin pertama dari nota kesepahaman tersebut. ”Di sini kita menuntut kampus, dari pihak rektorat untuk menindak supaya kejadian ini tidak terjadi lagi,”.
Kebobrokan Sistem Kampus yang Masih Dipertanyakan
Dilansir dari laman saluran sebelas, menurut beberapa saksi pada persidangan kasus menwa ini, ditemukan fakta bahwa menwa masih belum dibubarkan. “Menwa dibekukan sementara,” ucap Kepala Biro Akademik dan Kemahasiswaan, Rohman Agus Supraptomo (16/02/2022). Sesuai dengan Peraturan Rektor No. 26 Tahun 2020, tahapan sanksi atas pelanggarannya adalah peringatan, pembekuan, dan pembubaran. Jadi, bukan tidak mungkin nantinya menwa benar-benar dibubarkan. Hanya saja kita tidak bisa menduga kapan sanksi tersebut akan diungkapkan. Akan tetapi, jika kita menelisik keseriusan yang telah ditimbulkan, saya rasa pengambilan keputusan akan pembubaran bukanlah permintaan yang berlebihan. Bahkan cukup banyak fakta yang mendukungnya.
Kita bisa mengambil contoh fakta yang ada, seperti pengakuan Komandan Menwa atas pemalsuan surat izin perpanjangan kegiatan yang dipalsukan. Lebih tepatnya, pemalsuan tanda tangan oleh Pembina Menwa yaitu Budi Siswanto. Benar sekali, karena hal buruk yang berubah menjadi kebiasaan akan tampak baik-baik saja ketika dilakukan berulang. Kemudian di sini juga dapat dilihat bahwa pembina tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang ada. Pembina cenderung mengabaikan, bahkan sistem kampus ikut terseret pula. Pasalnya salah satu pembina pada tahun 2020 sesuai dengan SK Rektor yang dikeluarkan pada bulan Maret, Muhammad Solihin, tidak pernah menerima SK Rektor yang sampai ke tangannya. Jadi, kurangnya perhatian akan SOP yang ada, akhirnya mencuat juga.
Kericuhan Hingga Ancaman yang Menyelimuti Aksi
Melalui akun instagram aliansi Justice For GE diputuskanlah aksi damai untuk kembali digelar pada hari Senin, 14 Maret 2022. Hari itu sama dengan hari-hari ketika aksi sebelumnya dilaksanakan, penuh dengan kobaran semangat mahasiswa untuk menegakkan keadilan. Berkali-kali dilontarkan orasi yang patut diberikan apresiasi, namun nyatanya di mata rektorat hanya berupa teriakan dan olokan semata seakan tak ada nilainya. Sebenarnya kita perlu memahami bahwa memang benar kasus yang ada telah masuk ranah hukum. Tetapi bukan berarti pihak kampus bisa lepas tangan begitu saja seakan persoalan ini akan hilang termakan waktu.
Ketika aksi damai itu dilaksanakan, para anggota aliansi menunggu hingga beberapa jam lamanya. Kemudian sempat diberikan tawaran dari perwakilan rektorat untuk memutuskan 2-3 orang perwakilan aliansi berdiskusi dengan Ketua Rektor, Prof. Jamal. Namun pihak aliansi menolak dengan alasan kekeluargaan. Mereka berharap seluruh mahasiswa aliansi yang datang dapat ikut berdiskusi di dalam gedung rektorat atau Ketua Rektor yang mendatangi mereka di luar gedung untuk diskusi bersama.
Saya awalnya berpikir bahwa tawaran tersebut seharusnya diterima. Sebab kita tidak harus serta-merta meminta diskusi dengan perbandingan jumlah masing-masing pihak yang sangat jauh. Namun, setelah saya menelaah kembali, penolakan tersebut bisa jadi adalah cara lain yang diambil oleh pihak aliansi. Jika dengan nota kesepahaman yang ditandatangani oleh masing-masing perwakilan saja tidak berhasil, apakah mungkin cara diskusi yang lagi-lagi diwakilkan akan menemui kesepakatan yang menguntungkan kedua belah pihak dan tidak malah merugikan salah satu pihak?
Kemudian saat maghrib, pihak rektorat akhirnya menerima keinginan pihak aliansi dengan memperbolehkan seluruh mahasiswa aliansi untuk ikut berdiskusi dengan Ketua Rektor. Satu per satu mahasiswa memasuki gedung, tetapi tak sampai setengahnya mahasiswa diberhentikan untuk masuk kedalam gedung. Terjadilah kericuhan antara mahasiswa aliansi yang ada di luar gedung dengan satpam yang menjaga. Aksi saling dorong-mendorong pun terjadi. Mahasiswa aliansi merasa bahwa kesepakatan sebelumnya hanya dalih saja. Saya pun setuju dengan hal tersebut. Jika memang tempatnya terbatas, mengapa pihak rektorat masih saja memberikan kesepakatan yang pastinya akan diterima oleh aliansi? Sebenarnya saya tidak ingin mengatakan ini, tetapi hal tersebut justru membuat pandangan orang semakin rancu. Terkesan seperti jebakan yang berujung pada sebuah pembungkaman. Seharusnya jika memang rektorat sudah lelah atas tuntutan yang diminta, keluarkanlah solusi terbaiknya. Bukan semakin menggugurkan kepercayaan mahasiswa atas keadilan di area universitas.
Beberapa mahasiswa aliansi yang sudah masuk ke dalam gedung termasuk beberapa mahasiswa pers yang meliput bercerita bahwa mereka seperti “diancam” oleh pihak kampus. Mereka mengaku terancam akan di D.O, meskipun memang bisa saja hanyalah sebuah kecaman semata. Menurut pada video yang tersebar berisi “diskusi” yang diambil oleh salah satu mahasiswa aliansi, Ketua Rektor berkata bahwa tidak akan menandatangani kesepakatan apa saja karena itu sudah jadi tanggung jawabnya. Memang benar, tapi apakah sudah ada tuntutan mahasiswa yang terpenuhi? Ada baiknya pihak rektorat segera memberikan tindak lanjut daripada hanya sekadar menanggapi tanpa bergerak menuju solusi. Lagipula, tuntutan mahasiswa sudah jelas-jelas disuarakan, apalagi pertimbangan pihak rektorat sebenarnya?
Penulis: Alifia Azizah
Editor: Sabila Soraya Dewi